Tokoh-tokoh politik dan pengamat serta orang yang dianggap "paling benar" di Surabaya,Walikota Risma pun habis di bully oleh orang-orang yang 'mengaku" para pendukung Ahok ; Lihatlah komentar-komentar para pendukung Ahok yang bahasa kalimatnya sudah mirip dengan bahasa sehari-hari idolanya tersebut,di masyarakat sudah mulai dikenal dengan sebutan "ahokmania syndrome" . Apapun yang dikatakan oleh orang-orang terkait dengan Ahok,kalau itu tidak mengandung "pujian" atau bertentangan dengan sikap politik Ahok saat ini,maka semuanya dianggap sebagai pihak yang salah,mau menjegal Ahok,iri-hati,korup,dll.
Akibatnya sekarang ini,semua tokoh-tokoh yang selama ini akan bersaing dengan Ahok berusaha menjaga sikap untuk "tenang" tidak menyerang Ahok. Mereka berupaya untuk tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang dapat merugikan dirinya sendiri akibat diserang oleh para pendukung Ahok di media dan media sosial. Tetapi sikap "diam" tersebut ternyata tidak membuat para pendukung Ahok terus kehilangan akal,demikian pula dengan pribadi Ahok sendiri.Â
Di dalam setiap pertemuan,sebagaimana yang diberitakan oleh media,Ahok terus membuat cerita seolah-olah dirinya adalah orang yang terus menerus di 'dzolimi" oleh lawan-lawannya,menguak keburukan pejabat-pejabat negara yang korup,dsb. Puji-pujian Ahok terhadap relawan @TemanAhok dan donatur yang ingin menyumbang juga diberitakan sebagai upaya untuk "pamer" kehebatan dukungan terhadap Ahok. Media pun dengan senang terus memprovokasi apa saja yang diceritakan oleh Ahok ke masyarakat,tujuannya tentu saja supaya #LawanAhok terus terpancing dan reaktif merespon apa yang diceritakan oleh Ahok. Semakin meruncing pro-kontra,tentu saja mengundang minat baca dalam mengakses media tersebut.
Para pendukung Ahok pun disinyalir juga terus mencoba memprovokatif massa dengan menyebarkan berita atau foto-foto kegiatan antusiasme masyarakat yang antri mau menyerahkan fotocopy KTP dan mengisi formulir dukungan kepada pasangan Ahok & Heru. Mereka tidak lagi bekerja "silent but sure" tetapi sudah sangat provokatif dengan penampilan,booth dan material promosi yang berisi dukungan kepada Ahok secara terbuka.
#LawanAhok pun tak tinggal diam,mereka ganti menggunakan taktik perang gerilya untuk melawan kekuatan massa medsos yang secara luas mendukung Ahok. Sikap santun dan keinginan untuk mengajak dialog kepada Ahok disampaikan secara terbuka. Walau juga di bully oleh para pendukung Ahok,namun justru inilah yang mulai menarik simpati masyarakat luas. Para pendukung Ahok sudah mulai tidak disukai,karena etiket (tata kesopanan) berbahasanya sudah menjurus "kurang ajar" ; Ciri khas "ahokmania syndrome" mulai menghinggapi para pendukung Ahok.Â
Parpol pun juga melakukan "operasi senyap" dengan melakukan konsolidasi-konsolidasi di internal mereka. Mereka sadar Ahok dan para pendukungnya tidak bisa "diserang" secara terbuka. Oleh karena itu #LawanAhok pun mulai menggunakan taktik menguras energi @TemanAhok ; Hasilnya dalam beberapa hari ini mulai nampak,tidak ada lagi terlihat pancingan-pancingan para pendukung Ahok yang di respon oleh #LawanAhok.
Tentu saja hari-hari kedepan akan semakin panas persaingan #LawanAhok vs @TemanAhok,sebab mereka berupaya bermain dalam ranah opini. Perang urat syaraf tidak lagi dilancarkan di media sosial,sebab hal itu akan merugikan #LawanAhok. Kekuatan opini media sosial adalah juga titik kelemahannya,sebab yang bermain di ranah media sosial bisa saja #LawanAhok yang menyamar sebagai @TemanAhok,demikian pula sebaliknya. Inilah yang terus dipelajari oleh pakar-pakar Marketing Politics supaya tidak terjebak dalam satu permainan media sosial saja.Â
Konsolidasi internal partai politik dalam menggerakkan mesin partainya,melalui pendekatan-pendekatan etnis,budaya,kesamaan visi dan misi menjadi salah satu strategi mengalahkan kekuatan media sosial yang lebih bersifat individualistis. Relawan independen @TemanAhok pun berupaya melakukan hal yang sama,tetapi karena akar rumputnya lebih bersifat individualistis,maka kemampuan saling mempengaruhi tidak cukup sekuat kekuatan kader partai politik yang sudah dibina cukup lama.
Persepsi yang tercipta di media sosial seringkali tidak seindah warna aslinya,inilah yang kemudian tidak bisa dijadikan patokan bahwa apa yang terlihat di media sosial otomatis akan "booming" selamanya. Kalau sudah dicicipi dan dilihat,ternyata tidak sesuai kan bisa malah bikin "failed" ...! Contohnya seperti yang sudah mulai dikeluhkan oleh banyak orang,bahwa para pendukung Ahok kebanyakan orang-orang muda yang tidak ber-etiket atau menjaga tata kesopanan berbicara secara benar. Ada banyak campuran fitnah mengiringi sikap defensif mereka yang membela Ahok. Kalau itu disampaikan,maka yang terlontar dari mulut mereka pun tidak cukup simpatik,"...yang mulai kan sono duluan...!" ; Nah,inilah campuran fitnah yang sering mengiringi mereka. Tanpa sadar,mereka berasumsi sendiri dan membuat pernyataan-pernyataan yang salah terhadap #LawanAhok. Inilah etiket yang perlu dibereskan pada diri para pendukung Ahok.
Persaingan perebutan DKI-1 mulai terasa panas dan menegangkan. Berbagai unsur ikut bermain di perebutan kekuasaan DKI-1 ini. Ada SARA,konglomerat di belakang Ahok,rakyat kecil yang sakit hati,orang kaya yang diuntungkan,dan banyak hal yang dapat memicu konflik horisontal. Bersaing secara sehat saja,adu strategi tanpa harus provokatif yang mengundang "okol" ikut bermain....! Sebab kalau "okol" mulai bermain,maka "akal" tak lagi berguna...!
Maka berhati-hatilah....!Â