Dalam dua tulisan terdahulu, aku menemukan bahwa atas pertanyaan “Apakah Yesus itu Tuhan?” bisa diberikan jawaban iya dan bukan. Namun yang terpenting bukan iya atau bukan. Yang terpenting adalah apa artinya kalau aku mengatakan Yesus itu Tuhan dan apa artinya kalau aku mengatakan Yesus itu bukan Tuhan. Untuk memahami ini aku mendekatinya dengan makna simbolis. Pernyataan Yesus itu Tuhan atau bukan Tuhan tidak bisa dipahami secara literal, namun simbolis.
Berkaitan dengan simbol, aku teringat dengan tradisi Yunani dalam budaya perjanjian. Mengapa tradisi Yunani? Sebab kata simbol berasal dari tradisi Yunani. Dalam tradisi perjanjian, pihak-pihak yang terkait menggunakan sebongkah batu untuk surat perjanjian. Batu itu dibelah dan masing-masing pihak mendapat satu bagian. Bongkahan batu itu disebut symbolon. Jika kelak terjadi sesuatu, untuk mengujinya kedua bongkahan itu disatukan. Tindakan menggabungkan kembali symbolon itu disebut symballein.
Nah, dari sini aku tahu bahwa simbol merupakan penyatuan antara tanda dan realitas yang ditunjuk oleh tanda tertentu. Ada kaitan erat antara yang simbol dan yang disimbolkan. Untuk memudahkan memahami, aku membedakannya dengan tanda atau sinyal.
[caption id="attachment_251599" align="aligncenter" width="399" caption="signal, meski tidak berfungsi, bukan simbol"][/caption]
Ketika berada di perempatan dan lampu merah menyala, mengapa kendaraan bisa berhenti? Ada jawaban sederhana, karena kendaran itu direm, tapi kita bisa memberikan aneka jawaban: karena takut ditilang atau alasan lain. Warna merah adalah tanda. Orang sepakat bahwa warna merah menandakan bahwa kendaraan harus dihentikan. Tapi, tidak ada kaitan antara warna merah dan orang yang berhenti. Antara warna merah dan pemakai kendaraan dipertemukan dengan aturan bersama.
Dalam simbol, terdapat sebuah paradoks. Dalam simbol dihadirkan realitas lain yang disimbolkan. Realitas itu sudah hadir dalam simbol, tetapi sebenarnya belum hadir. Simbol menunjuk realitas sekaligus bukan relaitas yang ditunjukkan. Contohnya: aku berjabat tangan dengan sampeyan. Dengan berjabat tangan, aku dan sampeyan membangun relasi, tetapi relasi yang terbangun antara aku dan sampeyan bukanlah jabat tangan itu sendiri.
Biasanya suatu tanda memiliki arti yang pasti dan tunggal sehingga akan terhindar dari ambiguitas. Berbeda dengan simbol. Simbol bisa memiliki aneka makna. Simbol tidak memiliki makna yang definitif dan sebegitu jelas. Maka, simbol bisa ditangkap secara keliru karena perbedaan yang dimiliki oleh orang yang melihat simbol itu: perasaan, emosi, tindakan, dan keyakinan.
Dalam pengertian ini, simbol dapat dibedakan menjadi dua jenis: simbol konseptual dan simbol konkret. Simbol konkret bisa berupa benda, peristiwa, atau orang. Jika sebuah merk jamu diterima sebagai simbol keperkasaan, maka keperkasaan itu hadir secara nyata dalam diri merk jamu itu. Ketika melihat atau menggunakan merk jamu itu, orang akan langsung terbawa pada nuansa keperkasaan.
Nah, dengan demikian kemunculan simbol itu tidak bisa semena-mena. Simbol harus terkait dengan apa yang ditunjukkannya. Dalam pengertian seperti inilah mucul pandangan Yesus sebagai simbol Allah. Yesus adalah simbol konkret Allah karena Ia menjadi perantara kehadiran Allah yang nyata di dunia. Mengapa Yesus menjadi simbol Allah? Karena orang lain pada zamannya, juga pada zaman ini [setidaknya aku], bisa berjumpa dengan Allah karena ungkapan dan tindakan Yesus mengefektifkan kehadiran Alah.
Lha Yesus itu kan sudah tidak ada lagi. Dia itu kan hidup ribuan tahun silam. Bagaimana Ia sampai ke aku? Melalui simbol konseptual. Simbol konseptual itu bisa berupa konsep, kata, perumpaan, puisi, atau cerita. Simbol konseptual menghadirkan dan menyatakan seimbol konkret dalam imajinasi dan pikiranku. Aku mengakui kaitan erat antara Yesus dan rencana Allah. Pengakuan ini tidak muncul karena aku memiliki pengetahuan memadai tentang Yesus dan rencana Allah. Sama sekali tidak. Lalu? Pengakuanku ini muncul karena rencana Allah memang terungakap dalam dan melalui perjumpaan dengan Yesus. Aku kan tidak pernah berjumpa dengan Yesus? Betul. Aku memang belum pernah berjumpa dengan-Nya. Perjumpaan itu terekam melalui para murid, rasul, dan pengikut Yesus.Mereka ini menggunakan simbol konseptual untul menunjukkan bawha Yesus adalah Tuhan. Simbol konkret Allah diwartakan dengan kata-kata, perumpamaan, puisi, dan cerita.
Lalu sejauh mana simbol-simbol itu bisa aku terima? Waduh.. kok sulit banget tho? Hmmm.... Rasaku persoalan menerima simbol terkait erat dengan cara atau metode membaca simbol.
Jika ada orang yang tiba-tiba mencium sampeyan, apa yang sampeyan tangkap dari tindakan mencium itu? Apakah sampeyan bisa menyimpulkan bahwa orang yang mencium itu cinta sama sampeyan? Jika Anda tidak percaya bahwa orang itu mencintai sampeyan, maka ciumannya tidak akan sampeyan anggap sebagai simbol cinta. Sebaliknya, meskipun orang itu adalah seorang yang dekil dan urakan tapi sampeyan percaya bahwa orang itu mencintai sampeyan, maka ciuman itu akan sampeyan artikan sebagai sebuah simbol cinta. Jika tidak, jangankan dicium, lha sampeyan dipegang saja sudah merasa risih kok.
Aku hanya akan bisa memahami simbol jika aku bisa membaca tidak hanya yang tersurat, melainkan juga yang tersirat. Aku akan mengalami kesulitan besar jika memahami simbol dalam hidup berimanku jika simbol itu hanya aku tangkap secara literel [harafiah]. Maka aku menggunakan hati untuk menangkap yang tersirat. Untuk memahami Yesus sebagai Tuhan dibutuhkan keterbukaan hati pada Allah sendiri. Dalam arti ini, iman menjadi hati yang memungkinkanku menangkap Yesus sebagai Tuhan.
Dalam menafsirkan simbol, konteks sosial menjadi sangat penting. Faktanya sebuah simbol bisa dimaknai secara beda. Maka dari itu, tidak mengherankan bahwa Yesus tidak selalu diterima sebagai simbol Allah. Kehadiran-Nya tidak selalu setangkap sebagai kehadiran Allah sendiri. Sebagai simbol, Yesus tidak bermakna, secara religius, bagi mereka yang tidak punya iman.
Realitas ini bisa aku gambarkan dengan sebuah ilustrasi. Silahkan menggunakan imajinasi sampeyan untuk memahaminya. Dalam sebuah ruangan, ada seorang anak yang sedang menangis. Di sisi lain, ada seorang ibu. Di tangan kirinya, ibu itu terlihat membawa pisau tajam. Ibu itu tampak menghampiri anak itu. Apa yang ada di benak dan pikiran Anda?
......to be continued
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H