Mohon tunggu...
telo kaspo
telo kaspo Mohon Tunggu... -

aku adalah aku yang sedang mencari pencerahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yesus: Tuhan?

2 September 2010   15:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:30 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam tulisanku berjudul “Yesus Historis?”, aku sampai pada penemuan bahwa menemukan Yesus historis itu adalah sesuatu yang sangat sulit. Tidak mungkin dibuat sebuah biografi yang sangat tepat sebab yang ada adalah Yesus sebagaimana direkonstruksi oleh ahli sejarah. Selain itu, aku tambahkan, Yesus historis itu tidak terkait dengan penghayatan spiritualitas masa kini, setidaknya penghayatan spiritualku. Aku sempat berandai-andai. Andaikanlah Yesus hanyalah seorang pengkotbah atau guru seperti tokoh-tokoh semasanya atau sebelum dia, mengapa ada agama yang berpijak pada pribadinya dan mengapa tidak berpijak pada pribadai yang lain? Atau mengapa kepercayaan itu tetap bertahan hingga saat sekarang dan sampai kepadaku. Apakah hanya karena ulah Paulus? Waduh... Pertanyaan yang membuatku pusing.

Aku ingin memulai dari sebuah realitas yang lagi anget. Ketika Malaysia mengobok-obok perbatasan Indonesia, masyarakat langsung bereaksi. Salah satu reaksi yang muncul adalah ganyang Malaysia. Secara sepintas, kita akan langsung teringat pada periode yang lalu, dimana bung Karno menyerukan ganyang Malaysia. Apakah Bung Karno memberikan kontribusi untuk kita? Rasaku sama sekali tidak. Mengapa kok tidak? Yang membuat bung Karno relevan untuk kita sekarang ini adalah ide kita sendiri tentang heroisme, nasionalisme, dll. Ide kitalah yang membuat bung Karno tetap relevan.

Lho.. Apa hubungan bung Karno dengan Yesus? Aku ingin menganologikannya untuk Yesus. Yesus historis tidak menambah apa pun untuk imanku. Namun, yang membuat ide Yesus historis punya makna dalam hidupku adalah ide mengenai Kristus: Kristus adalah Firman yang menjadi manusia, mati dan bangkit, kembali ke tempat asalnya. Ini adalah rangkuman singkat mengenai ide Kristus. Apakah ide ini lepas dari historisitas? Tentu tidak. Ide itu muncul dan berangkat dari sebuah pengalaman. Oleh karena itu, ide mengenai Kristus tidak terlepas dari dimensi sejarah, pengalaman inderawi. Ide Kristus tidak semata-mata terpaku pada Yesus historis yang hidup di Palestina dan buta terhadap dunia zaman sekarang. Ide Kristus harus dipahami dalam konteks dulu dan sekarang [dan masa depan]. Jadi persoalannya bukan pertama-tama soal Yesus historis empiris, namun Yesus historis sejauh kita beri makna untuk kehidupan sekarang ini.

Dalam ide mengenai Kristus, atau lebih mudahnya kristologi, Yesus ditempatkan sebagai subyek utama. Salah satu persoalan yang sering kali muncul adalah, “Apakah Yesus itu Tuhan?” YA atau BUKAN? Hehehhehe... pertanyaan yang sulit untuk aku jawab. Kalau dijawab bukan, mengapa mengagungkan Yesus? Mengapa tidak mengagungkan Mother Teresa atau tokoh lain saja? Tapi, kalau mengatakan ya, kok Yesus mati? Mengapa Tuhan menjadi manusia? Dan pertanyaan lain lagi.

Lha terus gimana dong? Sebuah pertanyaan yang dilematis. Dan rasaku, ini disebabkan karena pertanyaannya yang keliru. Dengan pertanyaan seperti itu, ada pemisahan antara Tuhan dan dunia. Pertanyaan itu sama dengan pertanyaan ini, “Apakah sudah makan?” pertanyaan ini disampaikan pada jam 10 ketika kita punya kebiasaan makan pagi pukul 7 dan makan siang pukul 1. Apa jawaban kita? Jika menjawab belum, tentu ada keterangannya belum makan siang. Tapi jika menjawab sudah, tentu juga ada keterangannya sudah makan pagi. Nah, apakah Yesus Tuhan? Rasaku jawaban yang diberikan bisa ya dan tidak. Tapi bukan jawaban Ya dan Tidak itu yang penting. Bagiku, yang penting adalah apa artinya kalau aku mengatakan Yesus itu Tuhan dan apa artinya kalau mengatakan Yesus itu bukan Tuhan.

Maka, pernyataan Yesus itu Tuhan perlu dipahami dalam konteks tertentu. Demikian juga kalau aku mengatakan Yesus itu bukan Tuhan. Mengapa? Nah, ini baru pertanyaan cerdas. Hehhehehhe... Karena bahasa itu adalah bersifat simbolis, terutama jika berkaitan dengan Tuhan. Bahasa adalah simbol yang menunjuk realitas tertentu. Dan untuk memahami realitas juga diperlukan bahasa dan pendekatan yang berbeda pula. Salah satu contohnya adalah ketika aku mengatakan Tuhan itu dekat. Apakah kalau Tuhan itu aku katakan dekat berarti jaraknya hanya sekian milimeter dari ku? Tidak bukan? Juga kalau aku mengatakan Tuhan itu mahatahu, aku tidak bisa memastikan bahwa itu berarti Tuhan mengetahui semua fakta. Contoh: kalau Tuhan maha tahu dan itu aku pandang dalam kerangka literal semata, mengapa Tuhan masih bertanya kepada manusia pertama, “Dimanakah engkau?” [Kej 3:9]. Lho.. katanya Tuhan itu mahatahu, kok bertanya dimana? Nah lho...

Terus bagaimana? Kalau aku mengatakan bahwa Yesus itu Tuhan, maka pernyataan itu aku pahami dengan makna simbolis, bukan makna literal. Demikian juga kalau aku mengatakan Yesus itu bukan Tuhan. Jika aku menempatkan pernyataan seperti itu dalam kerangka makna literal, maka yang ada adalah banyaknya masalah dan krisis religius tidak akan terhindarkan. Ibadat akan menjadi tanpa makna atau malah dipandang sebagai takhayul atau sejenisnya. Jika sudah demikian, orang modern akan merasa peribadatan itu semua belaka. Dan orang menjadi kehilangan imannya.

To be continued

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun