Mohon tunggu...
Telly J. Triyono
Telly J. Triyono Mohon Tunggu... Lainnya - belajar membaca Indonesia

bergabung dalam multiverse maya. Tulisan di blog ini adalah pandangan personal dan tidak mencerminkan atau mewakili lembaga tempat aku bekerja.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Di Banyuwangi, Bangga Berwisata Sekaligus Bangga Buatan Indonesia

14 Juli 2023   15:11 Diperbarui: 14 Juli 2023   15:18 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu lalu, berbekal tiket pesawat tujuan Banyuwangi, saya bersiap  berkemas. Tas Ransel menjadi andalan. Perbekalan untuk wisata di negeri "the sunset of Java", ujung pulau Jawa yang pertama kami disinari matahari, saya siapkan.

Banyak pilihan perjalanan menuju Banyuwangi. Salah satunya adalah Jalan darat. Jika menyetir sendiri membawa mobil melalui Tol Trans Jawa akan memakan waktu tempuh maksimal 18 jam. Istirahat 3 kali di rest area dengan durasi 40 menit. Jika menaiki kereta api, transit di Stasiun Gubeng Surabaya dan ganti kereta api dengan tujuan Stasiun Banyuwangi Baru dengan waktu tempuh 21 jam.

Kali ini saya menggunakan jalur udara. Dengan jarak tembuh 858 km dapat ditempuh 1 jam 50 menit dengan ketinggian rata-rata 35 ribu kaki dengan kecepatan rata-rata 490 km/jam. Start dimulai dari bandara Soeta dan mendarat di bandara Banyuwangi.  Saat ini, perjalanan udara hanya dilayani satu kali sehari oleh maskapai Super Air Jet, milik Lion Air Group.

Karena tiba di Banyuwangi pas jam makan siang. Saya menyempatkan untuk mencicipi nasi tempong. Makanan khas Banyuwangi. Sego Tempong Mbak Har. Sekitar 30 km arah barat kota Banyuwangi. Depan Pasar Benculuk, Dusun Purwosari, Desa Benculuk, Kecamatan Cluring. Melegenda. Keberadaannya sudah ada sejak tahun 1997. Lebih dari 26 tahun. Sego sendiri artinya nasi. Tampong artinya tempeleng atau tampar. Jadi nasi tempong adalah nasi yang salah satu menunya ada sambalnya. Saking pedasnya itu sambal, rasanya seperti ditampar. Saya makan nasi tempong dengan menu ayam goreng kampung plus lalapan yang direbus.

Tak jauh dari situ, tujuan pertama adalah De Djawatan sudah terlihat. Hutan "Lord of the ring" menaungi bumi. Puluhan Pohon trembesi dengan tumbuhan efipit. Pemandangannya terkesan magis. Areanya tidak terlalu luas, sekitar 9 hektar. Dahulunya bekas gudang Perhutani. Meskipun cuaca saat itu hujan gerimis, tidak menyurutkan pengunjung untuk berfoto. Tidak terkecuali saya. Penyanyi Andien pun pernah menjadikan De Djawatan  sebagai lokasi syuting.

Esok hari, tujuan selanjutnya Air terjun Jagir. Dengan menggunakan kendaraan roda empat, saya tiba setelah 1 jam perjalanan meskipun hanya berjarak 13 km dari pusat kota Banyuwangi. Tepatnya di Dusun Kampung Anyar, Desa Taman Suruh, Kecamatan Glagah. Air terjun ini mudah diakses. Saya tinggal menuruni tangga yang ada disebelah kanan jalan. Tangganya agak curam. Tapi jangan khawatir. Di sisi-sisinya ada pegangannya. Air terjun Jagir tidak hanya satu. Totalnya ada 3 buah. Dua buah biasa disebut air terjun kembar dengan sumber air yang sama. Untuk yang satunya berasal dari sumber yang berbeda. Airnya bening. Main air dan foto-foto tidak terlewatkan. Dan saya menikmati ketiga air terjun tersebut. Jika beruntung, dapat menikmati durian lokal. Bukan durian merah yang terkenal itu ya. Enak-enak.

Next, kami menuju Taman Gandrung Terakota. Taman dengan 1000 patung penari gandrung yang terbuat dari tembikar atau terakota. Patung tersebut tersebar di beberapa area. Di taman, terasering persawahan dan kolam. Saya juga berkesempatan untuk menyaksikan tari gandrung yang dibawakan oleh 2 orang penari. Gandrung sendiri bisa diartikan sebagai wujud terima kasih kepada Dewi Sri atas hasil panen pertanian yang melimpah. Meskipun jaman dahulu dibawakan oleh laki-laki, sekarang penarinya adalah perempuan.

Sore hari, saya melanjutkan perjalanan ke pusat kota Banyuwangi. Hari ini ada Festival kostum kontemporer Banyuwangi Ethno Carnival (BEC). Saya bergabung dengan masyarakat Banyuwangi lainnya menyaksikan parade konstum di sepanjang jalan A. Yani. Menjelang malam, Pantai Marina Boom menjadi pilihan untuk menikmati pemandangan matahari tenggelam. Sayangnya, saya tidak terkejar waktunya. Beberapa ruas jalan ditutup sehingga perjalanan kesana menjadi lebih lama dari yang diperkirakan. Untuk menghibur diri, saya akhirnya naik odong-odong. Kendaraan warna-warni berlampu kelap-kelip menemani saya keliling pantai yang dahulunya bekas pelabuhan. Jangan lupa berfoto di salah satu landmark ikonik yang paling populer di pantai Boom adalah jembatan lintas (causeway) yang berbentuk spiral yang dipenuhi dengan sorotan lampu disekitarnya. 

Tak lupa saja membeli oleh-oleh. Beberapa makanan tersedia di toko oleh-oleh. Pisang sale, bolu kuwuk, kue bagiak, rengginang, pia, keripik dan kopi. Semuanya khas Banyuwangi. Dijamin produk lokal Indonesia. UMKM Banyuwangi. Seperti yang sering digaungkan oleh pemerintah Indonesia dan dukungan Bank Indonesia. Di Banyuwangi, Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia dan Gerakan Bangga Berwisata di Indonesia dapat direngkuh sekali jalan. Produk lokal dan wisatanya sungguh membanggakan. Taman Nasional Baluran, Kawah Ijen, Pulau Merah, dan masih banyak lagi. Langkah kecil saya di Banyuwangi mudah-mudahan berarti seperti kata Napoleon Hill, if you cannot do great things, do small things is a great way. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun