Saya masih ingat di tahun 2013 ketika saya menginjakkan kaki pertama kali di kampus kami. Waktu itu, belum ada mall besar dan disekeliling kampus masih sepi. Hanya ada bangunan vihara, kampus tetangga dan kost2-an mahasiswa. Rumput-rumput dibiarkan tumbuh liar di lahan kampus kami.
Ketika saya masuk ke kampus saya, saya mendapatkan kesan aneh terhadap gerbang kanopi yang dibiarkan setengah jadi. "Kok dibiarin gitu aja sih?" ujarku. Harusnya dengan duit bayaran yang tak bisa dibilang murah, bangunan itu seharusnya selesai dalam hitungan bulan. Namun, saya tak terlalu memikirkan itu akibat kesibukan saya kuliah. Tanpa saya sadari, gerbang yang dibiarkan terbengkalai itu merupakan sebuah tanda dari masalah yang dibiarkan terpendam.
3 tahun kemudian, kami yang sudah mencapai tingkat akhir sedang bersiap2 menyusun skripsi dan mempersiapkan diri untuk Ujian lisan, teman kami mahasiswa semester 5 sedang bersiap2 untuk pergi ke luar negeri sebagai bagian dari kurikulum, sedangkan mahasiswa semester 3 dan 1 sedang asyik berliburan. Lalu datanglah foto itu.
"Sebuah foto dimana kampus kami dibeton."
Kami sebagai mahasiswa sangat shock melihat foto itu. Sebagian dari kami merasa panik, takut bahwa kami tak akan bisa menyusun skripsi. Sebagian dari kami bingung karena mereka yang menempuh studi bidang sains membutuhkan laboratorium untuk penyusunan skripsi. Beberapa dari kami bahkan mendatangi kampus kami, tak percaya bahwa kampus kami ditutup begitu saja.
Lalu berita mulai tersebar di media: Kampus kami tidak bisa bayar utang selama bertahun - tahun, maka dari itu kampusnya ditutup. Lalu dikemanakan duit bayaran kami? Begitu pertanyaan dari berbagai pihak. Ada gosip yang muncul kalau duit bayaran kami habis untuk keperluan pribadi. Ada juga berita bahwa pihak developer akan memberikan kesempatan bagi mahasiswa kampus kami untuk pindah kampus. Hingga akhirnya semua hal itu terbukti hoax belaka.
Teman2 saya dari perguruan tinggi lain bertanya mengapa hal itu bisa terjadi. Dan saya mencoba menjelaskan berbekal penjelasan dari teman saya anak BEM dan hasil diskusi dengan teman2 saya mengenai hal ini. Kami sebagai mahasiswa begitu hati2 dalam menjelaskan hal ini. Kami tidak mau salah ucap. Malahan kami memilih tutup mulut saking lelahnya ditanyakan mengenai hal itu.
Para orang tua begitu khawatir, khususnya orang tua saya. Bapak saya kerap mempertanyakan apakah saya bisa lulus meskipun gedung saya ditutup. Saya meyakinkan bapak saya bahwa saya bisa lulus karena saya tidak meragukan integritas pengajar2 kampus kami yang akan berjuang untuk kami. Walau jumlahnya bisa dihitung jari, tetapi pengajar2 Kampus kami telah mencurahkan segenap jiwa raga mereka untuk mengajar kami. Mereka rela jika kami ganggu saat tengah malam hanya untuk bertanya mengenai judul atau materi skripsi. Walau terkadang mereka membuat kami mengelus dada, tapi kami mengerti bahwa mereka hanya ingin mendidik kami untuk menjadi orang yang berguna di masyarakat. Salah satu dari mereka rela datang jauh2 ke kampus ini disela kesibukannya sebagai Assistant Director sebuah perusahaan bonafide hanya untuk mengajar kami 1 hari saja. Bahkan, jadwal pengumpulan skripsi tidak diundur meskipun kampus kami dirundung masalah.
Terus, yang benar itu siapa sih? kampus kamu atau Pihak Developer? Â Terus hubungannya sama judul kamu apa?
Tidak ada yang benar atau salah dalam hal ini. Semua begitu abu2. Semua punya proporsi masing2. Proporsi yang hanya bisa diketahui ketika hal ini diperjuangkan dan diadili di atas meja hijau. Selama hal itu diperjuangkan, Kami menghormati kedua belah pihak baik dari almamater kami dan kampus kami. Karena kami adalah mahasiswa, kami tidak mau terhasut oleh berita hoax. Kami tidak mau gegabah berbicara dan bertindak membabi buta. Kami harus berpikir kritis dan disaat yang sama memperjuangkan hak kami sebagai mahasiswa, yaitu mendapatkan pengajaran.
Saya lebih peduli terhadap dosen2, pegawai kantin bahkan office boy. Dosen kami tak punya ruangan tetap untuk mengajar, pegawai kantin kehilangan mata pencahariannya, dan pegawai office boy begitu kelimpungan memindahkan barang2 dari kampus kami yang lama ke gedung sementara. Saya merasa sedih karena hal ini menghambat proses pengajaran kami.