Bagian Keempat dari Empat TulisanÂ
      Menarik hikmah dari puisi tidak berhenti sampai pada merefleksikan dan memahami untuk diri sendiri saja. Puisi yang baik, seharusnya juga mampu mengedukasi kita, mendidik kita untuk menjadi lebih baik. Puisi yang baik dapat mengubah perilaku kita bahkan karakter kita yang mungkin tadinya tidak baik, menjadi baik. Yang tadinya sudah baik, menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Bagaimana caranya? Dengan pembiasaan atau habituasi!
      Samuel Smiles dalam puisinya Law of the Harverst (Hukum Panen) mengatakan demikian : Tanamlah pemikiran, kamu akan menuai tindakan; Tanamlah tindakan, kamu akan menuai kebiasaan; Tanamlah kebiasaan, kamu akan menuai karakter; Tanamlah karakter, kamu akan menuai nasibmu. (Yudel Neno, 2019). Ada versi lain seperti yang termuat dalam Seven Habits -- Stephen R. Covey, namun maknanya sama.
      Jadi seperti ucapan bijak yang sering terdengar bahwa "Tuhan tidak akan megubah nasib suatu bangsa, jika bangsa itu tidak berusaha mengubah nasibnya sendiri". Nasib seseorang atau suatu bangsa ditentukan oleh dirinya sendiri. Hal itu terjadi melalui pembiasaan. Pemikiran atau gagasan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi tindakan. Tindakan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang akan membentuk karakter atau watak, dan karakter yang dilakukan berulang-ulang akan mengantarkannya pada nasib.
      Karakter seseorang atau suatu bangsa itu dibangun dari kebiasaan, pembiasaan atau habituasi. Maxwell Maltz dalam buku berjudul Psycho-Cybernetics pada 1960 menyatakan, manusia hanya perlu 21 hari untuk mengubah kebiasaan dan membentuk kebiasaan baru.
Temuan baru Peneliti dari California Institute of Technology (Caltech), University of Chicago, dan University of Pennsylvania menyatakan, orang membentuk kebiasaan lebih lama, yakni sekitar 4-7 bulan untuk terbiasa rutin berolahraga. Namun, sesuai konteksnya, tenaga kesehatan hanya butuh beberapa minggu untuk terbiasa mencuci tangan. Simpulannya, pembentukan kebiasaan baru tergantung pada tiap orangnya, perilakunya, lama waktu dan besar usaha yang dibutuhkan, serta seperti apa pemicunya. (Trisna Wulandari dalam -- detikEdu, 27 Apr 2023).Â
Merefleksikan pemikiran di atas, kiranya watak atau karakter dapat dikonkretkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai berikut : Di dalam rumah dan lingkungan; ia berwajah kebaikan; Di dalam bisnis; ia berwajah kejujuran; Di dalam masyarakat; ia berwajah kesopanan; Di dalam pekerjaan; ia berwajah kecermatan; Di dalam permainan; ia berwajah sportivitas; Terhadap sial yang beruntun; ia berwajah pemberi selamat; Terhadap yang lemah; ia berwajah penolong; Terhadap yang jahat; ia berwajah bertahan;Â
Terhadap yang kuat; ia berwajah percaya; Terhadap yang menyesal; ia berwajah memaafkan; Terhadap Tuhan; ia berwajah beriman, menghormati dan mengasihi. Di dalam konflik; ia berwajah damai. Di dalam kericuhan; ia berwajah tenang. Di dalam pertarungan ide; ia berwajah kritis. (Yudel Neno dalam Kompasiana.com, 26 Maret 2019).
Pertanyaan yang belum terjawab, "Bagaimana kita mengubah MAJOI (Malu Aku Jadi Orang Indonesia) menjadi BAJOI (Bangga Aku Jadi Orang Indonesia)? Jawabnya dengan pembiasaan atau habituasi. Paling tidak, 12 (dua belas) nilai-nilai karakter yang terkandung dalam MAJOI dapat diujicobakan dalam pembiasaan selama 21 hari. Jika dirasa terlalu berat mungkin dapat diprogram secara bertahap, misalnya tahap pertama 3 atau 4 nilai karakter yang dibisakan untuk dibentuk, kemudian tahap-tahap berikutnya dilakukan nilai-nilai karakter yang lain sampai tuntas.Â
Akan lebih bagus lagi jika ke-18 nilai karakter seperti yang diungkapkan oleh Kemendiknas dapat dijadikan tugas pembiasaan untuk membangun karakter bangsa, pada setiap jenjang pendidikan. Jika hal itu dapat diwujudkan dan menjadi kenyataan, alangkah bagusnya, alangah idealnya. Tentu saja, tidak menunggu terlalu lama, nantinya akan muncul karakter yang berkualitas suatu bangsa yang pantas dibanggakan. Nah, pada saat itulah MAJOI akan berubah menjadi BAJOI.