Mohon tunggu...
Teh Totto
Teh Totto Mohon Tunggu... -

banyak hal untuk terus dipelajari (dan dilakukan hehe) dan menyadari bahwa memiliki satu sahabat sejati yg multitalenta, fleksibel dan bisa diandalkan ibarat cukup memiliki satu pisau victorinox : )

Selanjutnya

Tutup

Nature

Burung dalam Puisi

26 April 2011   04:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:23 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika membuka situs pencarian Google hari ini, mata saya tertumbuk pada lukisan berbagai jenis burung yang indah karya John James Audubon (26 April 1785 – 27 Januari 1851), seorang pelukis naturalis asal Amerika Serikat. Pemandangan ini membuat saya berpikir untuk menuangkan ide tulisan mengenai seringnya hewan berbulu dan bersayap ini diikutsertakan dalam membentuk sebuah puisi.

Burung, sering digunakan dalam puisi sebagai suatu ungkapan perbandingan analogis (majas metafora). Banyak bagian dari tubuh, fungsi, keadaan, maupun sifat burung yang dapat dipakai untuk memperindah penciptaan suatu puisi.

Mari kita mulai dengan bagian tubuh burung. Sayap, diidentikkan dengan suatu kemampuan di mana suatu subjek atau objek (dalam puisi) memiliki atau tidak memiliki kebebasan untuk melakukan keinginannya secara bebas merdeka. Bila dituliskan seperti ini, “sayapnya patah”, berarti sesuatu yang digambarkan dalam puisi tersebut dalam keadaan cacat atau dalam keadaan lemah dan tidak mampu untuk berbuat sesuatu dengan baik. Mata, biasanya yang dipakai adalah mata burung elang, diidentikkan dengan suatu kemampuan di mana subjek atau objek (puisi) memiliki atau tidak memiliki ketajaman atau keakuratan pandangan/pikiran tentang sesuatu. Mungkin dapat ditulis seperti ini, “mata elangnya membaca kegelisahanku”.

Demikian juga halnya dengan fungsi/kemampuan. Sebagian jenis burung seperti murai, kenari, menghasilkan bunyi yang merdu bila bersuara, sehingga ketika ia berkicau dapat dianggap bahwa burung itu sedang bernyanyi. Kalimat puitisnya dapat berbunyi seperti ini, “rindu kicauanmu di atas panggung ini”.

Jika dikaitkan dengan keadaan, yang saya maksud dalam tulisan ini adalah dua macam keadaan hidup burung secara kontradiktif, yaitu keadaan burung yang hidup bebas di alam dan kebalikannya, yang hidup terkekang dalam sangkar. Mungkin pernah kita temukan puisi yang mengandung kalimat seperti misalnya, “ekspresinya terbelenggu dalam sangkar”.

Adapun sifat burung yang ingin saya kemukakan adalah jinak dan setia, yang ditemui pada karakter burung merpati. Burung merpati terkenal akan kesetiaan pada pasangannya dan kejinakannya pada manusia sehingga banyak pengagum burung menjadikan jenis burung yang satu ini menjadi koleksi mereka. Apabila dituliskan dalam kalimat puitis, kalimat itu dapat berbunyi demikian, “tak lelah menangkapmu, wahai si jinak merpati”.

Dengan uraian saya di atas, maka saya ingin berterima kasih pada makhluk Tuhan yang indah-indah dan beragam itu, yang telah sukses menjadi inspirasi terciptanya berbagai puisi. Yang saya kuatirkan adalah habitat mereka yang semakin sempit.

sumber foto: google

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun