Beberapa hari yang lalu Pak RT sudah woro-woro kalau sebentar lagi bantuan pemerintah daerah akan datang. Berita ini membuat hati Paidi girang alang kepalang. Dibayangkannya seperti berita-berita di TV dia mendapat sekardus paket sembako yang terdiri dari beras, minyak, gula, teh, dan selembar uang seratusan ribu.
Tiba-tiba dari matanya yang kuyu itu muncullah binar-binar pelangi. Walaupun masih dalam angan namun setidaknya bau harum sembako sudah tercium di hidungnya. Hatinya pun ikut mekar seperti bunga mawar yang merona. Tergambar di benaknya perutnya bisa kenyang setelah berhari-hari bahkan berbulan-bulan tidak pernah merasakan kenyang. Bahkan yang sering terdengar justru kemruyuk suara perut yang demo minta diisi.
"Kang, kamu itu kok senyam-senyum sendiri itu kenapa? Apa kamu sudah gila?", kata istrinya Paijah tiba-tiba datang.
"Apa ta bune, wong saya ini kemarin dengar dari orang-orang katanya mau ada bantuan sembako", sahut Paidi.
"Iya ki kang, aku ya krungu saka Yu Tumini bakul dawet", tambah Paijah.
"Wah muga-muga wae bener ya bune, mesakne wong cilik kaya awake dhewe iki, jarang mangan wareg", jawab Paidi.
"Ya kang, lumayan pawone bisa ngebul maneh", cetus Paijah.
Begitulah, senja itu ada sedikit perbincangan antara suami istri di rumahnya. Mereka berharap mendapat bantuan untuk sekedar bisa makan saat sedang lokdon begini. Pikiran mereka melayang mendapat bantuan sekerdus sembako.Â
Hari berganti hari, Paidi dan Paijah sudah lupa akan harapannya mendapat bantuan. Tiba-tiba hari itu Paidi melihat banyak orang tergesa-gesa pergi seperti ada kepentingan mendesak. Paidi pun bertanya.
"Min, ada apa kok keburu-buru?", tanya Paidi.