Senja ini ketika mentari mulai condong tergelincir di tempat persembunyiannya. Ketika cahaya yang terang itu mulai pudar meredup. Semua yang putih tampak mulai memerah..
Ku tapaki langkah kali gontai menyusuri lorong jalan di desaku. Senja ini tak tampak seperti senja kemarin. Ada nuansa sepi yang aku rasakan.Â
Hiruk pikuk penjual, orang-orang yang lewat, dan anak-anak kecil yang biasanya hilir mudik berlarian mengejar waktu kini lengang.
Hilang seperti ditelan bumi. Semuanya sepi. Hanya hembusan angin yang berbisik lembut membuat daun-daun menari. Namun tarian itu tampak hampa dari biasanya.
Seringai senyum kumbang penghisap madu dari bunga-bunga yang adabdi halaman rumahku tak seramah kemarin.
Semua tersirat beban yang mendalam. Menggelayut dalam sanubarinya, dan bertopang dengan gemerisik pepohonan yang sedang gundah gulana.
Hari ini jalanan sepi, sepi seakan tanpa kehidupan. Seperti kota mati yang tanpa berpenghuni.Â
Bukankah semua penghuninya sedang takut? Takut akan wabah yang sedang mendera. Berputar setiap 100 tahun. Wabah yang hingga kini belum juga ada obatnya.Â
Semua mata hanya melihat dari jendela. Bukankah itu jendela untuk melihat dunia? Walau dari sudut pandang yang terbatas. Tapi tatapan mata itu menuju jalan. Jalan tempatku berdiri saat ini.
Dari jalan yang sepi ini kuhantarkan seribu harapan, seribu asa dari lelaki yang gamang menatap dunia.Â
Entah sampai kapan ini akan berakhir. Mungkin menunggu keajaiban dari yang Maha kuasa. Maha segala-galanya.Â