Bentuk bentuk kekerasan yang merupakan implikasi dari perlawanan menurut Galtung ada 3 bentuk kekerasan. Â Kekerasan Budaya (cultural violence) dimasna kondisi mental pelaku kekerasan tidakan kekerasan sesuatu yang biasa karena didasarkan pada keyakinan akan kebenaranya sendiri. Kekerasan structural (structural violence) sebuah kekerasan yang secara sengaja dilakukan melalui mekanisme khusus. Dan kekerasan langsung (direct violence)berupa tindakan yang dilakuakn langsung untuk menyerang pihal lain.
Melihat dari realitas konflik pilkada DKI terlihat kedua pihak yg saling menyerang terjadi pada bentuk kekerasan budaya yang diekspresikan dalam kekerasan simbolik. Dalam kacamata semiotika sosial, tindak kekerasan merupakan representasi sebuah teks yang senapas dengan tindak tutur (speech act). Maka, tidak jarang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari ada ungkapan kasar atau halus. Kekerasan teks tersebut selalu memili motif yang melatarbelakangi tindak kekerasan tersebut. Halliday mengistilahkannya motive of text, setiap tuturan dan perilaku sosial senantiasa diiringi dorongan internal pelakunya.
Melihat dari hal tersebut bentuk bentuk perlawan dalam kontestasi Pilkada menunjukka perlawan teks yang di ekspresikan dalam bentuk intimidasi merupakan kekerasan cultural yang tidak mampu dikelola secara cerdik dalam konstruksi nilai nilai kemanusian dan logika public. Kondisi ini dapat dipastikan dalam ruang benar salah. Sementara perlawanan simbolik di balai kota tidak menunjukkan konstruksi kekerasan dalam high Speech, namun di konstruksi dengan cerdas dalam simbolisasi bunga bukan dalam ujaran ujaran kebencian. Kenyataan ini tentu membutuhkan kecerdasan yang hanya bisa dilakukan oleh kaum terpelajar. Sehingga reolusi Bunga pada dasarnya perlawanan simbolik kaum terpelajar. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H