Mohon tunggu...
Teguh Wibowo
Teguh Wibowo Mohon Tunggu... -

makhluk lemah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Amarhaba

10 April 2014   13:25 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:50 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kisah yang kutorehkan ini tak lain hanyalah luapan keprihatinan seorang insan muda mengenai Ilmu Mengesakan Allah yang kian hari kian redup di masyarakat. Semoga lewat kisah yang kutorehkan ini, akan semakin memperteguh dan memperkokoh ketauhidan kita kepada Raja dari segala raja, Allah SWT. Yang akan membawa kita menuju kemuliaan menuju singgasana Surga. Amin...

Amarhaba hampir gila kala terbangun dari tidurnya. Dalam selaman mimpinya ia dikejar pasukan kegelapan yang masih memburu tepat di ujung bulu matanya. Ia berteriak meronta, lari menjauh sejauh lompatan kaki-kakinya. Mencoba menghindar dari bayangan gelap yang mengikutinya. Namun, semakin jauh ia lari, semakin dekat bayangan itu menghampirinya.

Entah berapa ratus meter tanah gersang telah dilewatinya. Kali ini Amarhaba sampai disebuah pekuburan yang ia sendiri tak tahu dimana. Dijumpainya  seorang pemuda bercadar yang berpakaian serba hitam sedang memburu tajam matanya. Amarhaba terdiam sejenak sebelum akhirnya saling berpandangan.

“Siapa kau?” tegur Amarhaba dengan terengah-engah.

“Amarhaba, kaukah itu?” Pemuda bercadar hitam itu balik bertanya.

“Siapa kau sebenarnya? Apa urusannya kau menggangguku?”

Si cadar hitam memperlihatkan matanya yang menyala. Dengan dingin berseru.

“Aku ingin kau menjawab setiap pertanyaan yang aku ajukan untukmu!”

Entah mengapa Amarhaba begitu gemetar mendengar seruan pemuda berpakaian hitam itu. Sampai-sampai Ia berbalik, kemudian lari menjauh dari sosok gelap itu. Baru tujuh langkah Ia berlari, pekuburan itu serasa menyempit. Benar saja. Ujung jalan tanah gersang tak ada lagi. Bumi dan isinya seolah tak terima terinjak kaki Amarhaba yang  berusaha menjauh. Kali ini Ia berhadapan dengan sosok pemuda berpakaian gelap itu lagi. Sekelilingnya adalah tembok besar yang membuatnya semakin terkecam.

“Kau tak akan dapat lari dariku kemanapun kau pergi wahai Amarhaba!”

Getir keringatnya membuat Amarhaba lemas tak berdaya menghadapi himpitan tembok tanah besar yang tampak akan melumat habis tubuhnya.

“Ya fulan, siapapun kau. Malaikat atau jin. Aku hanya bisa pasrah dengan semua ini. Kalau ini memang nasibku untuk mati hari ini. Aku serahkan semua kepada Allah.”

“Allah, Siapa Allah itu ya Amarhaba?” seru pemuda bercadar hitam.

“Tiada Tuhan kecuali Allah.”

Amarhaba sedikit tenang. Nafasnya mulai teratur.

“Amarhaba, Ceritakan padaku tentang Tuhanmu?”

“ Kau bilang Tuhanmu? Apakah ada beda antara Tuhanku dengan Tuhanmu?”

“Tentu beda Amarhaba, kau percaya Tuhan.” Jawab Si cadar hitam.

“Apa kau tidak?”

“Tidak.”

“Kenapa kau tak percaya?”

“Kenapa pula kau percaya ada Tuhan? Apakah kau pernah melihatnya? Aku tak percaya, aku tak pernah melihatNya.” balas Si cadar hitam.

Sungguh, tak ada seseorangpun di dunia ini yang mampu mendengar dan memikul cerita tentang Allah. Bahkan gunung dan lautanpun tak sanggup memikul dan mendapat amanah yang dahsyat ini. Bahkan Ahmad*, manusia yang paling mulia di jagatpun menangis ketika diminta untuk menceritakan tentang perangaiNya. Apalagi sosok tak jelas sepertimu.

Pemuda bercadar itu berkata, “penjelasanmu terlalu abstrak Amarhaba. Ketakjelasanmu membuatku semakin yakin. Kau tak pernah melihat Tuhan dan mungkin sebenarnya kau juga tak percaya Tuhan. Kau hanya menerima dongeng-dongeng dari nenek moyangmu saja. Kau sendiri secara terang-terangan menyatakan ketidaksempurnaanmu, karena tak mampu menjelaskan padaku siapa Tuhanmu. Padahal kau tahu, tak ada pohon baik yang melahirkan buah jelek. Dengan kata lain, kau mengatakan bahwa penciptamu adalah makhluk tidak sempurna pula.”

Logikamu cacat pemuda! Pohon baik melahirkan buah yang baik. Tapi bagaimana kau tahu kalau buah itu baik jika kau sendiri tak punya pembanding. Pada dasarnya buah itu diciptakan baik, tapi buah yang baik itu bukan berarti buah yang sempurna. Karena pohon yang sempurna tidak sama dengan buah yang sempurna. Karena kesempurnaan tetap milik Allah pencipta alam semesta. Tak ada seorangpun yang menyamai kesempurnaannya.

Kau bicara masalah sempurna padahal kau sendiri tak pernah seperti apa sesuatu yang sempurna itu. Kau tak lebih dari seperti seorang anak kecil yang dikasih dongeng sebelum tidur tentang si kancil yang cerdik. Tapi kau sendiri tak tahu apa itu cerdik dan bagaimana kancil itu.

“Kisah-kisah dongeng hanyalah imajinasi yang kadang tak terbuktikan. Tapi kisah tentang Allah adalah kisah pasti dan pasti terbuktikan. Cobalah kau pikir wahai pemuda, bagaimana keagungan ciptaanNya, siapa yang mengatur keharmonisan alam kalau bukan Sang pencipta itu sendiri. Dialah Allah!” Amarhaba semakin tenang menjelaskan.

“Kau mengajakku berpikir. Baiklah, tunjukkan bahwa Tuhan itu ada!” pemuda bercadar hitam menantang.

“Apa yang membuatmu ragu akan keberadaanNya hai pemuda?”

“Aku tak pernah melihatNya”

Amarhaba berkata, “asal kau tahu pemuda, pengetahuanmu tak cukup untuk kuat untuk memikirkan bagaimana Allah ada. Setinggi apapun menara logikamu tak akan mampu menyentuh bayangan bagaimana wujud Allah itu. Tapi kiranya otaku cukup mampu mempelajari tanda-tanda adanya Allah dari ciptaanNya. Karena bukan berarti jika kau tak melihatNya, berarti Dia tak ada. Bukankah aku tak melihat otakmu, tapi apakah berarti kau tak punya otak?”

Pemuda bercadar hitam itu tampak diam. Tertunduk meresapi ucapan yang dilontarkan Amarhaba.

“Apakah kau sudah percaya bahwa Tuhan itu ada?” Amarhaba membuka lagi.

“Belum”

“Syukurlah, artinya satu tahap yang baik telah mengubah ketakpercayaanmu menjadi kebelumpercayaan.”

Pemuda bercadar hitam hanya menggeleng. Tersenyum kecut. Berusaha menangkis dan mempertahankan kewibawaanya. Pada saat yang bersamaan tembok tebal yang menghimpit Amarhaba kini terlihat lebih longgar.

Melihat kediaman si cadar hitam. Amarhaba bertanya pertanyaan yang telah ditanyakannya tadi.

“Siapa sebenarnya kau, darimana asalmu. Mengapa kau bertanya seakan kau ingin menghasutku?”

Si cadar hitam tertawa. Menggenggamkan jemarinya sambil memukul tembok besar yang kini mulai menghimpitnya. Rupanya tembok besar itu kini justru menghimpitnya. Semakin mendekat saja sebelum akhirnya berhenti setelah ia berkata.

“Kau tak perlu tahu siapa aku dan darimana aku berasal. Yang aku mau, kau menjawab pertanyaanku, itu saja. Sekarang kau bertanya padaku menyoal muasalku. Jika aku malaikat, aku berasal dari cahaya. Namun jika aku iblis, jin, atau setan. Tentunya aku berasal dari api. Hanya saja suatu kebodohan dan lelucon belaka, jika neraka itu bikinan Tuhanmu. Apakah api saling memakan api. Pernahkah kau lihat api memadamkan api? Sehingga ancaman Tuhanmu pada setan iblis perkara neraka akan diindahkan oleh golongan mereka. Asal mereka sama.”

Perkataan itu tak cukup pelik untuk dipahami. Amarhaba yang berpendengaran baik telah menyerap dengan hati-hati perkataan si cadar hitam. Malah pendengaran baik itulah yang kini menyerang dirinya. Lidahnya kelu tak mampu bicara. Beribu kemungkinan jawaban membayang di kepala namun tak ada satupun terpikir untuk dikatakannya. Pertanyaan itu bagai petir yang siap menyambar apa saja yang menghalanginya sampai ke bumi. Pertanyaan itu membuatnya diam, berpikir.

Kini tembok raksasa itu meronta lagi. Kembali bergerak mendekat dan menghimpit Amarhaba. Tembok itu tepat di ujung hidung, dan membuatnya sesak. Kegelisahannya semakin menjadi.

“Mengapa kau diam, Amarhaba?”

“Belum, kau belum menang.” Gumam Amarhaba dalam hati. “Pertanyaan itu mudah aku jawab. Aku pasti menemukan jawaban sehingga dapat lepas dari himpitan tembok sialan ini. Aku ingat, dulu aku belajar fisika, secara fisika memang hukumnya demikian. Api tak akan pernah memakan api. Analogi berpikirnya adalah analogi penjumlahan. Jika api ada dua api dan keduanya disatukan. Nyalanya akan semakin besar dan kerusakan yang ditimbulkan akan semakin berat. Apakah Tuhanku tidak memikirkan hal itu? Mengapa pula Dia menciptakan sesuatu yang berasal dari hal yang sama dan kemudian menakdirkan mereka bersatu.” Otaknya terus berpikir. Kebimbangan mulai muncul dibenaknya. “Apakah benar Tuahnku tidak sempurna?”

Giliran Amarhaba berteriak kencang dan meronta. Ini membuat nafasnya semakin tak teratur. Himpitan tembok itu semakin menyesakkan saja. Amarhaba memukul-mukulkan tangannya ke tembok tanah yang hampir meremukkan tubuhnya. Ia berusaha melepas diri dari himpitan itu, ia menahan tembok dengan kepalanya. Akhirnya,

“Prak... crot!!” darah segar mengalir dari dahi Amarhaba. Amarhaba merasakan sakit yang amat sangat. Bersamaan dengan itu ia berteriak.

“Kau belum menang! Aku tahu jawabnya.”

Tembok tanah itu berangsur mereda meremukkan tubuh Amarhaba.

“Apa kau mau bilang Tuhanmu tidak sempurna?’

“Tidak! Ia justru amat sempurna!” Amarhaba mantap menjawab. Himpitan itu benar-benar berkurang sekarang. “Allah Maha Sempurna. Tadinya aku berpikir akan menyerah terbuai hasutan busukmu. Memang ilmu fisik mengatakan dua api yang disatukan akan saling menguatkan. Tapi tidak dengan rahasia Illahi. Allah begitu adil. Dia menciptakan neraka sebagai balasan untuk orang-orang jahat, tapi juga menyediakan surga untuk orang-orang baik. Tentu jahat dan baik menurutNya, bukan menurut manusia. Yang kau permasalahkan sebenarnya adalah bagaimana bisa Tuhan menciptakan neraka dan setan dari zat yang sama. Apakah setan iblis tidak merasakan sakit dibakar api neraka. Jawabannya telah kau saksikan sendiri.”

Amarhaba menunjukkan jari tangannya pada dahinya yang luka.

“Tembok besar ini terbuat dari tanah. Begitupun diriku. Seorang manusia yang asalnya dari tanah. Tapi aku tetap merasakan sakit terhimpit tembok tanah. Aku merasa tersiksa tertekan sesuatu yang asal muasalnya sama, yaitu tanah. Allah Maha Sempurna!” Amarhaba terlihat semakin tenang. Ia merasa menang.

“Apa kini kau percaya bahwa Allah itu ada dan Dia maha Sempurna?” pertanyaan kemenangan Amarhaba. Walau sesungguhnya dalam dirinya masih diliputi rasa gelisah akan pertanyaan yang lebih sukar, yang akan dilontarkan Si cadar hitam.

“Aku tetap tidak percaya.” Si cadar hitam berkata.

Waktu itu tembok tanah raksasa kembali berganti menghimpit Si cadar hitam.

“Aku tetap tak percaya sebelum kau selesai menjawab pertanyaanku.” Tak terlihat sedikitpun parau kalimat yang diucapkan Si cadar hitam.

“Tak apa jika untuk membuatmu percaya.”

“Amarhaba, dengan segenap keyakinanmu. Kau percaya Tuhan ada. Dengan segenap kecerdasanmu, kau sadar Tuhan maha Sempurna. Dan kau tahu aku yang tak percaya apa lagi menganggapNya sempurna. Kiranya kesempurnaan imanmu bisa menjelaskan jawaban pertanyaan yang kuajukan.”

Himpitan itu nampaknya tak membuat Si cadar hitam menciut.

“Semoga keimananmu akan membawamu bertemu Tuhan. Beribadahlah kau dengan tekun. Kiranya ibadahmu akan mengantarkanmu ke pertemuan yang aku katakan tadi. Kata orang, pertemuan seperti dulu ketika engkau masih dikandungan. Atau seperti pertemuan antara Allah dan Muhammad. Katakanlah kepada Tuhanmu, suruhlah Tuhanmu membuat pedang. Pedang yang mampu menembus apapun materi yang diterjangnya.”

“khayalanmu memang sangat tak masuk akal. Allah maha Pencipta, Dia dapat menciptakan apapun sekehendakNya. Ingat, sekehendaknya! Jika Dia tidak berkehendak, Tak ada satupun makhluk di bumi ini yang bisa memaksakan kehendaknya. Yang jelas, jangankan cuma pedang sakti yang bisa menembus apapun. Menghancurkan dunia yang fana inipun tak ada kesulitannya. Tuhan tentu bisa melakukannya. Lalu, apa maumu jika Tuhan telah melakukannya?” tantang Amarhaba.

“Baiklah.” Si cadar hitam menyambut. “Aku tak hendak berbuat apapun dengan pedang itu. Aku hanya akan memintamu kembali menghadap Tuhanmu dan memintaNya kembali membuat sesuatu. Aku ingin kau menyuruh Tuhanmu membuat perisai yang tak tertembus apapun. Ingat, perisai sakti yang tak tertembus apapun.”

Mendengar permintaan tadi, Amarhaba sedikit gelisah. Tak terasa pelipisnya basah oleh keringat. Ia mencoba menenangkan diri.

“Sekali lagi aku tekankan. Allah maha Pencipta. Tak ada kesulitan suatu apa yang akan menghalanginya jika Dia berkehendak.”

“Baiklah.” Kelakar Si cadar hitam

“Tidak!” kata Amarhaba dalam hati. “Jangan... Jangan... Jangan katakan itu!”

Amarhaba pucat. Mukanya pasi bagai mayat. Keringat dingin membasahi tubuhnya.

“Mungkin memang tak ada kesulitan yang berarti bagi Tuhanmu untuk membuat benda-benda yang aku inginkan. Sebuah pedang yang dapat menembus apapun benda yang diterjangnya. Dan sebuah perisai yang tak tertembus benda apapun. Anggap semua telah tersedia. Dan sekarang temuilah kembali Tuhanmu sebagaimana Ahmad* menemui Tuhannya. Mintalah Tuhanmu mempertemukan keduanya!**”

Amarhaba benar-benar ketakutan. Dugaannya benar. Itulah yang akan dikatakan oleh pemuda bercadar hitam yang ia sendiri tak tahu siapa. Ia sendiri belum siap dihujani pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Dalam ketakutannya ia malah ingat masa-masa kecilnya dulu. Ia ingat sewaktu belajar di pondok pesantren Al Bayan di daerah Jawa Tengah. Ia murid berprestasi dan lulusan terbaik pondok pesantren. Setelah lulus, ia mendaftar dan diterima sebagai mahasiswa di universitas terkenal di Bandung.

Belum lagi mengingat jelas memorinya waktu muda dulu. Ia dapati dihadapannya seseorang berperawakan seperti dirinya, terhimpit tembok tanah raksasa yang sejak tadi mengganggunya. Namun kini tak lagi. Pandangannya kembali luas. Tanah gersang itu seakan kembali hijau. Tembok besar itu hilang setelah melumat habis sesosok tubuh bercadar hitam. Amarhaba memberanikan diri mendekat, ia dapati sosok bercadar itu tak bernyawa lagi.

Dengan hati-hati ia membuka cadar hitam yang menutupi wajah orang yang mengganggunya belakangan ini. Betapa tak terkejut ia, mendapati wajahnya dibalik kelambu hitam yang sedari tadi menutupinya. Diambilnya cermin yang ada di dekatnya (entah darimana cermin tersebut berasal), dan lagi-lagi terkejut mendapati gambar wajahnya di cermin adalah wajahnya sepuluh tahun lalu. Wajah saat masa bahagia menjadi murid ustad di pondok pesantren.

***

Amarhaba terbangun dari tidurnya. Terkejut mendapati dirinya tertidur di meja belajar kamarnya. Didapatinya sebuah buku yang belum habis dibacanya, samar-samar matanya membaca judul buku itu; Filsafat Ketuhanan. Bergegas ia mencuci muka, menuju ruang belakang mengambil korek api lalu membakar bukunya.

Bandung, 17 Agustus 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun