[caption id="attachment_346645" align="aligncenter" width="400" caption="www.bubblews.com"][/caption]
Angin berembus melewati celah jendela yang sedikit terbuka, hawa dingin menusuk badanku yang sedang tak memakai baju,berputar bercampur dengan hawa pengap kamar kost kecilku yang penuh dengan tumpukan buku-buku. Dari celah yang hanya selebar 10 centimeter, aku melihat kemeja coklatku berkibar-kibar ditiup angin sore. Bergoyang tak karuan kesana-kemari seperti seorang awak kapal ditengah pelayaran yang menegangkan. Adzan ashar sebentar lagi akan berkumandang, esok lebaran, yang artinya hari ini adalah hari terakhir berpuasa. Aku merapikan tumpukan buku-buku yang berserakan, kertas-kertas putih dengan banyak coretan dan beberapa bercak kopi yang sudah mengering berhari-hari bertumpuk tak karuan di atas meja yang sudah mulai reot. Aku melirik kembali arloji yang kubeli sebulan lalu dari Pasar Senen, masih cukup waktu, gumamku.
Jakarta di H-1 lebaran bukanlah pada wajah yang sebenarnya, jalanan tiba-tiba saja nampak sepi, angkot-angkot yang biasa ngetem sembarangan di hampir setiap persimpangan kini tak nampak. Warung-warung liar di sepanjang jalan nampak seperti gubuk-gubuk tak berpenghuni, semuanya hampir ditinggal mudik oleh si pemilik. Lupakan tentang kemacetan panjang yang biasa terjadi di jam kerja, jalanan nampak lengang, angkot-angkot dan kopaja nampak sepi penumpang. Gemuruh takbir sebentar lagi akan menggema memenuhi setiap sudut Ibu Kota, mulai dari perkampungan kumuh di sepanjang bantaran kali sampai kawasan perumahan elit. Semuanya bersemangat menyambut hari nan fitri. Aku bergegas.
Aku memeluknya ketika tangannya terbuka seperti menagih rasa rindu, bibirnya yang sedikit basah menempel pada pipiku untuk beberapa saat, andai saja aku tak meregangkan pelukan mungkin ciumannya sudah menjalar ke bagian lain beberapa saat kemudian. "I miss you, honey" katanya dengan sedikit berbisik. "I miss you too" aku membalasnya dengan kecupan di keningnya. Jangan dibibir ya, kan belum buka puasa. Kataku sedikit menggoda wajahnya yang kini merona kemerahan. "Kamu jahat!" bibirnya sedikit manyun sambil menggandeng tanganku masuk ke kamar kostnya yang cukup mewah, atau memang mewah kalau harus dibandingkan dengan kamar kost ku yang hanya berukuran 3x3 meter dengan kasur yang sepreinya tak pernah kucuci selama berbulan-bulan, belum lagi tumpukan buku-buku cryptography, computer science, cloud computing atau augmented reality serta print out The Art of Deception-nya Kevin Mitnick. Beberapa roman yang sebagian kisahnya nampak picisan namun toh tetap saja aku lahap dalam beberapa jam. Aku seperti dilahirkan untuk mencintai dua hal yang sama sekali tak memiliki kaitan, atau bahkan cenderung mencintai hal-hal yang berlawanan. Seperti kisahku dengan Carissa yang kini sudah genap di angka 3 tahun. Aku terbiasa hidup dalam dua dunia yang berbeda, dunia yang penuh dengan rumus-rumus dan barisan code, juga dunia yang berisikan rayuan-rayuan dan janji-janji tentang cinta, juga kisah-kisah tentang pengkhianatan.
Carissa adalah sosok wanita sempurna, rambut panjang dengan warna yang hitam legam dan pemilik lekuk tubuh yang sintal karena hampir setiap sore selalu berada di tempat fitness. Kecantikannya tak perlu diragukan lagi oleh setiap mata lelaki yang memandangnya. Tatapan matanya selalu tajam namun menyejukkan, matanya seperti oase di tengah padang pasir. Atau seperti suar yang menyala ditengah samudera yang hening. Dan bibirnya yang semanis madu sudah menjadi candu selama hubunganku dengannya.
Layaknya suasana kost-kostan di Jakarta saat musim lebaran, sebagian besar kamar akan kosong ditinggal oleh penghuninya yang pulang kampung, dari 5 kamar kost mewah yang disewakan, hanya kamar di lantai dua dekat balkon yang kini menjadi tempatku untuk duduk menunggu adzan maghrib yang sayup-sayup akan terdengar dari Masjid yang letaknya cukup jauh. Carissa menyiapkan hidangan untukku berbuka puasa, dua porsi es buah tanpa susu yang kubeli di perjalanan tadi dituangkannya kedalam dua gelas ukuran besar. Aku menikmati caranya ketika menyiapkan makanan untuk berbuka puasa, meskipun Carissa tak pernah berpuasa namun rasa toleransinya yang begitu tinggi selalu berhasil meluluhkan emosiku saat kita berdua terlibat dalam pertengkaran. Tangannya yang bergerak dengan cekatan, apa yang dikerjakannya selalu rapi dan bersih tanpa meninggalkan noda-noda yang berserakan.
Handphoneku bergetar, ternyata Amak yang menelepon, mungkin kangen dengan anaknya yang sudah 4 kali lebaran tak pernah bisa pulang. Aku hanya memohon maaf dan menyampaikan salam pada Apak dan semua keluargaku di Ranah Minang. Aku sempat terdiam sesaat setelah menerima telepon dari Amak, Carissa yang sedikit heran menyikutku sambil bertanya kenapa. Aku menyikutnya balik sambil membalasnya dengan senyuman, namun sayang atau mungkin beruntung, aku tak sengaja menyikut dada kirinya yang setelah beberapa detik aku menyadari bahwa Carissa sedang tak mengenakan bra.
Sentuhan itu memancing reaksi berantai, seperti sebuah butterfly effect. Perlahan Carissa menyenderkan kepalanya di bahuku, genggaman tangannya hangat namun seperti penuh dengan kegelisahan, Ia sedikit berkeringat. "Ini kan sudah buka puasa, udah boleh dong cium bibir?" katanya dengan suara manja khasnya yang cenderung kekanakan. "Demi Tuhan, Carissa esok lebaran dan aku tak mau untuk merusak kesuciannya". Seperti tak mendengarkan apa yang kukatakan, dalam hitungan detik kami sudah saling berhadapan, perlahan Carissa memejamkan mata sambil mendekatkan bibirnya pada bibirku. Aku tak berkutik, antara mau dan berusaha untuk menjaga kesucian bulan suci ramadhan yang baru saja berakhir. Saat hanya berjarak 3 centimeter, Carissa mengucapkan potongan novel yang pernah kami baca bersama di penghujung November tahun lalu. “Dan bibirmu adalah sepotong puisi yang belum selesai. Aku yakin, hanya bibirku yang bisa menyelesaikannya menjadi sebuah puisi yang lengkap”. Kemudian yang kurasakan hanyalah bibirnya yang basah, kami berciuman cukup lama ketika suara takbir sesekali menyelinap masuk melalui kisi-kisi.
Ciuman itu hanya sebatas pemicu untuk efek berantai selanjutnya, seperti dinamit yang sudah kehabisan sumbu, tinggal menunggu hitungan detik untuk meledak. Yang tersisa hanyalah baju yang berserakan, jendela yang terbuka yang menghembuskan angin di malam Idul Fitri, juga beberapa tetes cairan yang masih cukup basah menodai sudut-sudut sprei. Carissa tertidur pulas ketika aku terbangun dengan kepala berat, tepat pukul 3 dini hari. Untuk beberapa saat aku mencoba meraih kesadaran yang tiba-tiba saja seperti mengambang sampai beberapa menit kemudian aku dapat menguasai diri dan beranjak ke kamar mandi. Fajar hampir menampakkan diri ketika aku selesai membereskan semua kekacauan sisa tadi malam, memungut pakaian yang dikenakan Carissa dan melemparnya ke tempat pakaian kotor.
"Selamat pagi, sayang" Aku mengecup keningnya, Carissa masih mengumpulkan kesadaran sampai akhirnya membalas dengan senyuman "Good morning, honey". Ia kembali menguap sambil berusaha untuk bangun dari posisi tidur. "Tolong ambilin pakaianku dong, hon" pintanya. Aku berjalan ke arah lemari pakaiannya dan mengambil kaos serta celana pendek juga bra karena Carissa tertidur dalam kondisi half naked. Aku merasakan pagi yang aneh, suara takbir semakin menggema dari kejauhan, sesekali terdengar suara kembang api dan mercon yang saling bersahutan. Semuanya nampak penuh dengan aura kebahagiaan, namun aku tak dapat merasakannya. Aku mengecek handphone, ada banyak chat dan pesan masuk, semuanya berisi ucapan-ucapan selamat hari raya, hanya ada satu pesan dari Ruly teman kantorku yang mengingatkanku untuk tidak makan sebelum sampai di kantor karena dia sudah menyiapkan rendang daging kiriman dari Amaknya juga opor ayam buatan istrinya. Memang nampak menyedihkan, hari raya yang seharusnya dihabiskan bersama keluarga justru harus kuhabiskan ditengah ruang kerjaku yang dipenuhi dengan barisan monitor dan teknologi-teknologi tinggi yang berkaitan dengan keamanan negara.
Hari ini adalah hari penting untukku dan Carissa, sewajarnya hari raya, tentu amat penting untuk semua umat Islam. Hari ini aku harus melakukan teleconference dengan beberapa team ahli di London. Dan untuk Carissa, hari ini adalah kesempatannya untuk mendapatkan foto-foto Jakarta dalam keadaan lengang untuk salah satu project fotografinya. Kami berjalan beriringan menyusuri jalanan yang nampak sepi, aku tertunduk ketika melewati setengah bagian jalan yang digunakan oleh warga sekitar untuk melaksanakan sholat Ied berjamaah. Aku dapat menangkap mata-mata yang penuh tanya.