Pada acara ILC tersebut, saya setuju pernyataan Fadli, bahwa para teman Ahok yang hadir disana mengungkapkan argumen yang tidak elementer. Bahkan saya berani tambahkan pula bahwa mereka, teman Ahok yang hadir sebagai pembicara disitu sangat ‘Baper’ dan jauh dari substansi permasalahan. Sayapun setuju dengan Prof Romli, bahwa tujuan yang baik, tetapi menggunakan cara yang salah, maka akan hal seperti itu tidak diterima secara hukum. Seribu persen saya sepakat.
Mari kita ulas satu demi satu poin diatas:
1. Ya, BPK betul bahwa tanggal 25 Desember itu tanggal tutup buku, tetapi pembayaran atas semua pembelian barang dan jasa melalu mekanisme APBN ataupun APBD, bisa dilakukan sampai dengan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember. Bahwa kemudian dilakukan pada malam hari pukul 19.00, inipun sangat biasa terjadi di Bank DKI sebagai satu-satunya lembaga pembayaran untuk semua aktivitas belanja pemprov DKI. Yang mana tanggal tersebut adalah hari terakhir atas pembayaran semua pembelian yang menggunakan anggaran tahun berjalan. Sementara itu mustahil pembayaran dilakukan melewati tahun berjalan, kecuali dengan melakukan revisi anggaran tahun berikutnya, yaitu tahun 2015. Inipun menuntut birokrasi yang tidak mudah. Aktvitas ini tidak melanggar Keppres No.54.
2. Masalah ketidak-biasaan menggunakan rekening UP, dan bukan rekening SILPA. Ini teknis, bukan berarti yang tidak biasa itu melanggar hukum. Yang manapun sah hukumnya! Sangat wajar saat itu, Ahok memilih menggunakan rekening UP ketimbang SILPA. Menurut saya, bisa jadi dia ingin menunjukkan ditahun tersebut bahwa rekening SILPA terjadi banyak efisiensi, sehingga sisa anggaran ini adalah suatu prestasi (ditahun itu anggaran terserap hanya 39%, terdapat sisa anggaran mencapai 61%).
Apalagi saat itu, adalah masa dimana terjadi ketegangan antara Ahok dengan DPRD. Ahok tidak ingin penyerapan anggaran tinggi tetapi penggarongan-pun tinggi pula. Dia menutup keran ini. Akibat yang terjadi atas lemahnya penyerapan anggaran adalah perkiraan pertumbuhan ekonomi DKI menjadi rendah. Ternyata perkiraan tersebut terbantahkan oleh pernyataan Menteri Kordinator Perekonomian Darmin nasution. https://m.tempo.co/read/news/2016/04/14/090762605/pertumbuhan-dki-lampaui-nasional-menteri-darmin-itu-wajar
3. Pernyataan Fadli, bahwa dua tahun kedepan HGB sudah bisa diambil oleh negara. Mendengar pernyataan ini, terdapat dua hal: pertama, adalah alhamdulillah, artinya Fadli ini orang bersih, dari kekuasaan yang dimiliki tidak pernah membeli tanah ataupun bangunan untuk ditumpuk jadi aset. Jadi beliau tidak mengerti apa itu kedudukan HGB, SHM dan lain-lain. Kedua, innalillahi, wakil anggota dewan tidak paham hal yang substansial dari persoalan kedudukan hukum masalah sertifikasi tanah.
Berbekal ke tiga ulasan diatas, maka mustahil Ahok menggunakan rompi orange. Dari sisi mana indikasi tersebut bisa menyeret Ahok? Memperkaya RS Sumber Waras? Pekerjaan mudah bagi PPATK untuk meneropong semua transaksi Sumber Waras pasca pembelian. Kemudian, yang paling mungkin untuk bisa disalahkan adalah dengan mempertanyakan kebijakan membeli RS Sumber Waras. Sayangnya kebijakan tidak bisa dipidanakan, sebagaimana kasus century.
Namun, seharusnya Ahok bijaksana untuk memisahkan urusannya dengan BPK terhadap kasus tanah kuburan milik masyarakat yang diperjuangkan Efnaldi agar segera dibayarkan oleh pemprov. Jika Efnaldi benar, bahwa tanah tersebut memang belum dibayarkan oleh pemprov semenjak tahun 2004 padahal sudah digunakan sebagai TPU, agar segera dibayarkan. Ahok memiliki kekuasaan untuk menyelesaikan masalah tanah tersebut. Jika Ahok mendiamkan, hanya karena urusan ini dibawa oleh Efnaldi, yang notabene adalah orang BPK, maka Ahok menjadi layak disebut zalim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H