[caption caption="Sumber foto: lagump3baru.net"][/caption]Menseksamai “Penjelasan DPP Partai Keadilan Sejahtera Tentang Pelanggaran Disiplin Partai Yang Dilakukan Oleh Saudara Fahri Hamzah” yang ditayangkan dalam situs resmi PKS, jelas terlihat perilaku ‘bangor’ seorang Fahri Hamzah (FH). Beberapa kali sudah meng-amini arahan partai, tetapi sebanyak itu pula dilanggar. Wajarlah hingga pada akhirnya PKS menceraikan FH, talak empat, dan tanpa harta gono-gini.
Mengamati prestasi PKS dalam sudut pandang organisasi, adalah suatu prestasi besar. PKS memiliki sistem yang sangat baik, hingga mampu melahirkan kader-kader muda dan berkualitas. Apalagi ditambah dengan kemampuan mendulang suara melalui sistem dakwahnya yang menghasilkan parlimentary treshold nyaris hampir 7%, dalam waktu yang relatif singkat. Konstituennya-pun bukan bersifat lemak cair, melainkan otot berisi.
Konflik PKS vs FH pun telah terbuka, dan secara resmi DPP PKS mengumumkan alasan atas gugat cerainya tersebut. Tentunya semua alasan yang digunakan berdasar sudut pandang DPP PKS. Kecerdasan emosi FH sedang diuji, apakah menolak talak ataukah ada cara lain yangg lebih cantik? FH, sebaiknya melakukan kontra atas penjelasan surat gugat cerai tersebut, bukan dengan cara reaktif, yaitu dengan menggugat ke pengadilan. Namun perihal ini biarlah menjadi urusan FH dan sekaligus ukuran atas kecerdasan emosinya dalam melewati ujiannya.
Jika dilihat dari sudut pandang FH sebagai anggota dewan, maka dia mewakili rakyat atau mewakili partai? Jika dia dalam kapasitas mewakili rakyat tentunya berbeda dengan kapasitas mewakili partai. Sekarang begini, anggota dewan itu diantarkan oleh partainya, untuk kemudian dipilih oleh rakyat, melalui dapil, saat pemilihan legislatif. Lantas setelah duduk menjadi anggota dewan, kenapa partai bisa memecatnya? Bukankah yang memilih rakyat?
Artinya, undang-undang sistem pemilu wajib disoroti, ada misleading dimana? Rakyatlah seharusnya yang memiliki hak untuk memutuskan keberadaan wakilnya. Jika terdapat unsur lain yang menjadi penghalang antara rakyat dan wakilnya, dalam hal ini parpol, maka otomatis kedaulatan rakyat menjadi hilang dan yang muncul adalah kedaulatan parpol?
Jika sudah menjadi kedaulatan parpol, beragam alasan subyektif bisa disodorkan guna melakukan pemecatan terhadap wakil rakyat, apalagi ketika menyangkut kegiatan legislasi yang tidak pro-parpol, walaupun pro-rakyat. Sistem pemilu inilah, pada akhirnya membangun budaya wakil rakyat yang tidak merakyat! Melainkan memarpol! Rakyat tidak bisa memecat, parpol sangat bisa memecat! Jadi lebih baik urus kepentingan parpol supaya tidak dipecat. Nah kan? Kepentingan rakyat lalu siapa yang urus?
Terlepas dari ke’bangor’an seorang FH, jika kita ambil salah satu poin gugatan cerai tersebut, yaitu masalah pasang badan untuk tujuh gagasan proyek DPR. Maka aksi FH tersebut sangatlah heroik, team work, dan solid. Sebagai seorang wakil rakyat yang memperjuangkan kepentingan DPR dalam rangka tugas DPR (lepaskan dulu skeptisisme kita semua atas ketujuh proyek yang digagas oleh DPR). Bagaimana jika memang ketujuh gagasan proyek tersebut adalah mutlak menjadi kebutuhan para wakil rakyat untuk meningkatkan kinerja legislasi? Tentunya spirit kerja seperti FH inilah yang dibutuhkan.
Poin gugatan cerai lainnya adalah masalah mengatas namakan DPR untuk membubarkan KPK, tidak sejalan dengan arahan partai. Silahkan lihat link in:
"FPKS Tolak Beri Sanksi Untuk Fahri Hamzah Yang Ingin Bubarkan KPK". Berita PKS, 4 Oktober 2011.
Elvan Dany Sutrisno, "PKS Bela Fahri Hamzah yang Ingin Bubarkan KPK". Detik.com, 4 Oktober 2011.
Baiklah, itu adalah berita tahun 2011, lantas apakah FH saat itu dipecat atau diberikan sanksi? Sebagai seorang prajurit yang membela komandan, terlepas kasus sang komandan saat itu (LHI) yang sangat tidak populer, loyalkah seorang FH? Organisasi mana yang tidak ingin punya kader seperti FH dalam membela komandannya?