Mendapat kabar yang kurang menyenangkan dari adik saya tentang hasil SNMPTN 2015, ada perasaan kecewa pada diri saya. Sebagai kakak seharusnya saya bisa membantu dan memberi masukan lebih sering. Namun apa daya, terpaut jarak 12 ribu kilometer saya hanya bisa menghubunginya lewat skype atau line. Itupun jika tidak sibuk. Kekecewaan ini juga membawa saya kembali ke masa lalu, dimana saya juga mengalami hal yang sama pada jalur masuk (yang dulu masih bernama) SNMPTN Undangan 2012. Tahun itu merupakan tahun kedua diselenggarakannya penerimaan mahasiswa baru melalui jalur undangan, setelah sebelumnya diperkenalkan pada tahun 2011. SNMPTN Undangan atau yang sekarang berganti nama menjadi SNMPTN merupakan sistem penjaringan berdasarkan prestasi akademis. Sistem ini hanya menggunakan nilai rapor, nilai UN dan piagam prestasi yang dimiliki oleh siswa tanpa ujian tertulis dan/atau keterampilan. [caption id="" align="aligncenter" width="400" caption="SNMPTN 2015"][/caption] 3 tahun yang lalu saya mencoba mendaftarkan diri ke salah satu prodi di kampus negeri ternama di Bandung, Institut Teknologi Bandung. Dengan nilai rapor dan UN seadanya ditambah prestasi yang tidak berhubungan dengan jurusan tersebut, saya ditolak. Kecewa bercampur senang saya rasakan kala itu. Kecewa karena perjuangan saya selama 3 tahun tidak sesuai standar ITB. Senang karena sebelumnya saya sudah mempersiapkan banyak hal untuk melanjutkan kuliah di Jerman. Yang mana jika saya diterima di ITB dan saya tidak saya ambil, tentu adik-adik dari sekolah saya akan di blacklist, begitulah menurut isu-isu yang beredar. Dengan berbekal nilai yang pernah gagal dalam ajang penerimaan mahasiswa baru di Indonesia dan tekad untuk menjadi lebih baik, saya pun mengadu nasib ke negeri Panzer. Yang menarik, setelah di konversi berdasarkan standar nilai Jerman, nilai yang saya bawa dari Indonesia adalah 1,3 (Jerman menggunakan skala penilaian 1 sampai 4, yang mana 1 adalah sangat bagus, dan 4 mencukupi). Setelah melalui kuliah penyetaraan Studienkolleg atau semacam foundation selama setahun sebagai syarat awal untuk melanjutkan studi di Jerman, nilai saya meningkat 1 poin menjadi 1,2. Nilai yang dibutuhkan untuk melamar universitas adalah 50% dari nilai yang didapat di negara asal dan 50% dari nilai yang didapat saat ujian akhir Studienkolleg. Ketika itu saya berjuang habis-habisan untuk meningkatkan nilai yang saya dapatkan, karena saya tidak mau gagal untuk kedua kalinya. Dan bersyukur sekali usaha saya terbayarkan. Saya berhasil di terima di salah satu Universitas ternama di Jerman yang berhasil pula menghasilkan jebolan sekaliber Mantan Presiden kita, B. J. Habibie. Awalnya saya berpikir, diterimanya saya dikarenakan nilai yang mendekati sempurna tersebut. Setelah saya memulai perkuliahan dan bertanya pada teman-teman, barulah saya tahu bahwa orang yang mendapatkan nilai lebih besar dari 2 (range 2 - 3) pun dapat diterima. Bahkan teman dekat saya yang hanya bermodalkan nilai 3 pun mendapatkan kesempatan yang sama, menghadapi kerasnya bangku perkuliahan. Tentu ada alasan dibalik semua itu. Penerimaan terbatas dan tidak terbatas Di Jerman terdapat 2 jenis penerimaan mahasiswa yaitu penerimaan terbatas dan tidak terbatas. Sistem ini tergantung Universitas dan jurusan yang diambil. Misalnya, jurusan teknik mesin di RWTH Aachen memberikan batasan jumlah penerimaan mahasiswa baru, tapi tidak pada TU Dresden. Tetapi RWTH Aachen juga menawarkan beberapa jurusan yang bisa didapatkan tanpa melalui proses seleksi, contohnya elektro teknik. Untuk lolos dalam seleksi penerimaan terbatas, mahasiswa harus dapat melampaui standar nilai yang dikenal dengan nama Numerus Clausus (NC). NC adalah nilai rata-rata pelamar yang sudah mendapatkan kursi. NC selalu berubah-ubah setiap tahunnya tergantung dari kualitas pelamar pada tahun tersebut. Dengan kata lain, yang dibatasi sebenarnya adalah jumlah kursinya. Pada umumnya sistem ini di terapkan jika jumlah pelamar melampaui kapasitas yang disediakan Universitas, sehingga tidak ada lagi mahasiswa yang duduk di tangga dan mengurangi kenyamanan berkuliah. [caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="Suasana Sesak Auditoriom "]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H