Pemilu 2014 adalah pertaruhan nasib bagi partai politik dan para calegnya, dan para calon presiden tentunya. Kemenangan adalah tujuan manis yang sebisa mungkin harus direngkuh. Segala cara digunakan untuk mencapainya baik dengan cara baik-baik fair play hingga cara-cara busuk mengadu domba dan menggembosi partai atau kontentan yang menjadi rivalnya.
Kompetisi yang fair play tentu tidak perlu pembahasan sebab itu sudah menjadi keharusan dan kode etik politik yang harus dipatuhi bersama, namun cara-cara negatif dalam merebut kekuasaan perlu kita soroti dan waspadai untuk mengawal proses Pemilu 2014. Masyarakat harus menjadi watchdog yang bisa memberikan peringatan dini terhadap ancaman pencederaan demokrasi.
Baru-baru ini ramai diperbincangkan dugaan penyadapan yang dilakukan terhadap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi. Banyak yang menilai hal ini adalah gejala adanya kompetisi politik yang tidak sehat. Ditemukannya tiga alat sadap di rumah dinas Gubernur DKI, Menteng, Jakarta Pusat adalah pertanda dimulainya persaingan yang menghalalkan segala cara.
Salah seorang pembesar Parpol bahkan berpendapat, ada pihak-pihak yang sedang fokus menyerang untuk mengerdilkan partainya. Kesolidan partainya, dianggap mengganggu dan mengancam pihak tertentu. Partainya dikatakan sedang dihancurkan oleh tangan halus.
Takhanya itu, partai lain yang merasa terancam sering kali mengambil jalan pintas dengan membajak kader-kader terbaik Parpol bersangkutan. Namun ini lumrah jika pembajakan dilakukan dengan sukarela, artinya tokoh yang dibajak memang dengan sadar berpindah partai tanpa paksaan.
Yang menghawatirkan adalah praktek penyadapan terhadap tokoh-tokoh. Penyadapan dalam undang-undang hanya boleh dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berwenang dan untuk kepentingan negara dan kepentingan publik. Jika praktek penyadapan dilakukan untuk kepentingan politik atau pribadi tentu ini melanggar hukum. Dalam demokrasi yang menghormati kebebasan dan privasi, penyadapan adalah dosa besar yang mengancam demokrasi itu sendiri.
Penyadapan terhadap tokoh tertentu entah itu siapa pelakunya tentu akan mempengaruhi memengaruhi pelaksanaan dan hasil Pemilu 2014. Hasil dari pesta demokrasi lima tahunan itu tentu akan cacat hukum karena dimenangi dengan cara melanggar hukum. Bagaimana nanti masyrakat akan percaya terhadap wakil dan pemimpinnya jika tokoh yang mereka pilih ternyata figur yang merusak sistem dan menghalalkan segala cara?
Masyarakat harus semakin kritis dan jeli terhadap siapa yang akan bertanding dalam Pemilu 2014. Setelah para Caleg kita dipenuhi kehadiran para artis yang belum teruji kompetensinya, isu penyadapan dalam politik akan semakin menguatkan opini bahwa pelembagaan demokrasi di negeri kita semakin terpuruk dan tidak menggairahkan.
Seharusnya Pemilu 2014 setelah 14 tahun reformasi harus dipadati oleh tokoh-tokoh unggul yang cakap dan bersih. Namun semakin tahun ternyata yang ada dalam peta politik kita hanya sampah-sampah yang merasa paling berhak dipilih rakyat dengan janji semu.
Tidak memilih dalam Pemilu 2014 tentu bukan pilihan karena sikap golput hanya akan mempermudah para sampah ini memperoleh kekuasaan. Yang dapat dilakukan masyarakat adalah memilih yang terbaik dari membanjirnya pilihan buruk. Hal ini lebih baik karena kita telah berusaha ikut menyelematkan negara ini jatuh ke tangan-tangan elit yang tak berhak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H