Balibo, film besutan sutradara Austarlia, Robert Connolly, memang layak dipertentangkan. Orang ramai mungkin banyak yang mengatakan substansi filmnya terlalu menyudutkan Indonesia khususnya TNI. Tapi saya tidak akan membahas itu. Terlalu politis. Dan politik selalu menyimpan rekayasa. Ada ihwal kecil dalam film itu yang luput dari pengamatan orang banyak. Dari yang kecil itu dapat ditarik sebuah anggapan dasar bahwa memang film itu bukan diabdikan untuk karya seni. Sebab kepentingan Australia tergambar kuat di film Balibo, layaknya film-film Amerika yang mengagung-agungkan dirinya, dan rata-rata yang seperti itu kurang bagus. Balibo, bukan tontonan yang menghibur, dia memerlukan perenungan dan pengamatan yang cermat untuk menikmatinya. Kisah tentang tewasnya 5 jurnalis; Greg Shackleton (27), Tony Steward (21), Gary Cunningham (27), Malcom Rennie (28), serta Brian Peters (29) dikemas dalam alur yang lambat. Ada juga bagian yang kurang pas bahkan terlihat ganjil. Salah satunya, Peran Roger East (Antoni LaPaglia), jurnalis AAP, yang tidak konsisten. Pada satu saat ketika berdialog dengan Jose Ramos Horta dalam kepanikan selepas diberondong peluru dari helicopter, terkesan dia sangat egois. Namun pada scene berikutnya menjadi sangat humanis. Padahal ekspresi paling jujur adalah ketika orang dalam keadaan terdesak. Inilah satu point tentang sebuah upaya rekayasa dan pencintraan untuk kepentingan Austalia. Lebih buruknya lagi, Jose Ramos Horta (Oscar Isaac) dilakonkan dengan gaya koboy slenge'an ala jagoan barat. Figur Horta, yang sesungguhnya seorang idealis dan gerilyawan tak nampak di sini. Bahkan dia dipajang seperti gembel yang mengemis bantuan kepada para jurnalis Australia untuk publikasi perjuangan Fretilin. Gambaran paling tragis adalah Horta dimunculkan sebagai seorang pecundang. Dia diceritakan pergi keluar negeri dan baru kembali setelah Timor Leste merdeka. Perjuangan selama dia di luar negeri tak dimunculkan nyata. Orang yang menonton film ini akan menjadi sangsi di mana letak kepemimpinan dan ikhtiar heroiknya. Kontradiksi dalam film ini juga dapat disimak saat bagian akhir yang bercerita tentang pembantaian warga Timor Leste di dermaga. Juga ketika Roger East di eksekusi. Senapan-senapan orang berpakaian loreng yang disalakkani bukanlan senjata buatan Amerika. Padahal dalam dialog Horta dan East waktu dalam perjalanan ke Balibo, Horta mengatakan bahwa milter Indonesia disuplai persenjataannya oleh Amerika. Senapan-senapan itu mirip seri AK buatan Rusia yang hampir-hampir tak pernah dipakai dalam sejarah militer Indonesia. Jadi sangat wajar jika Lembaga Sensor Film (LSF) melarang film ini, tentu dil uar dampak dan isi cerita. Terlebih jika harus tayang di Jakarta International Film Festival - JiFFest yang memang diselenggarakan untuk pemutaran film idealis dan hampir tanpa cacat. Seni haruslah tetap independen. Tak pantas jika harus diisi materi-materi untuk kepentingan politik tertentu. Meskipun begitu, saya masih bisa menikmati akting dari sebagian aktor dari film Balibo ini. Terutama penokohan pelayan hotel Turismo yang melayani Roger East. Begitu alami dan memikat. Selamat menonton. Oh ya, Kompasioner sekalian jika belum sempat menontonnya di Utan Kayu dan Salihara, sekarang DVD-nya banyak dijual bebas. Kawan saya kemarin sempat membelinya di Depok. gambar dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H