Mohon tunggu...
Sosbud

Menggugat Praktik Penghakiman Masal di Indonesia

27 September 2010   15:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:55 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siang hari yang terik di sebuah stasiun. Serangkaian kereta ekonomi baru saja tiba dari Jakarta. Saat kereta itu berhenti, sontak terjadi keriuhan. Gerbong yang tidak terlalu besar itu seperti medan pertempuran antara penumpang yang ingin cepat turun dan ingin cepat naik. Di tengah keriuhan itu, seorang pria muda yang merasa kantong celana belakangnya dirogoh, berteriak, “copet…copet”.

Teriakan lelaki muda itu menjadi perhatian seluruh orang yang ada di stasiun penghabisan itu. Tampaknya, setelah sadar dompetnya diambil, pria muda lalu mengejar seseorang laki-laki kurus berpakaian lusuh. Saat sang korban itu merasa pasrah karena tertinggal jauh oleh sang pencopet yang lari tunggang-langgang, tiba-tiba segerombolan orang dengan spontan dan tanpa aba-aba mencoba mengejar sang pencopet. Laki-laki malang itu berhasil ditangkap. Ia dihadiahi bogem mentah oleh hampir setiap orang yang ada di stasiun itu, walaupun sudah mengembalikan dompet itu kepada empunya.

Kejadian itu, kalau saya tidak salah ingat, terjadi setahun yang lalu sekitar bulan puasa. Sebagai calon penumpang yang sedang menunggu kereta yang terlambat, saya hanya bisa mengeleng-gelengkan kepala dan sesekali berteriak, “woi ini bulan puasa, tahan nafsu kalian !”. Sayang, teriakan saya tak banyak membantu lelaki pencopet yang babak belur dan bajunya telah menjadi compang-camping itu.

Efek Jera yang Tidak Efektif

Praktik penghakiman masal telah dianggap sebagai hal yang lumrah di negara ini. Ketika seorang pelaku kejahatan tertangkap tangan, hampir pasti massa akan memberikan hukumban, biasanya berupa bogem mentah.Ketika harga BBM belum selangit, tidak jarang korban penghakiman massal itu dibakar hidup dan akhirnya meregang nyawa. Seringkali, pihak yang berwajib pun tak berdaya, bahkan seakan memberikan kesempatan kepada masyarakat sipil untuk menghukum pelaku kejahatan tersebut.

Bagi sebagian masyarakat, penghakiman massal telah menjadi kultur. Praktik main hakim sendiri kerap dilakukan untuk memberikan efek jera pada pelaku dan calon pelaku kejahatan. Akan tetapi, pada kenyataannya, cara ini tidak terlalu efektif. Tindak kejahatan, pencopetan, penjambretan, dan pencurian dari tahun ke tahun semakin meningkat, bahkan metode yang digunakan semakin canggih.Mengapa hal ini terjadi?

Pada dasarnya, para pelaku tindak kejahatan di Indonesia memilih dunia hitam karena memang tidak memiliki pilihan pekerjaan yang lain. Berbeda dengan penjahat di negara-negara Eropa dan Amerika , khususnya yang termasuk kelas kakap, yang bermotif melampiaskan kepuasan batin karena menganggap tindak kejahatan yang dilakukannyaadalah seni, di samping pekerjaan. Namun di Indonesia, motif para pelaku kejahatan adalah untuk memenuhi kepentingan ekonomi, mencari sesuap nasi.

Kesejateraan dan Keadilan

Untuk mengantisipasi masalah ini , pemerintah harus segeramengambil jalan untuk menekan angka kejahatan yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Jalan yang paling kongkrit adalah merealisasikan berbagaikebijakan yang bertujuan meningkatkan kesejateraan rakyat. Pembinaan, pemberian modal usaha, dan penyedian lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang berpendidikan dan berketerampilanrendah menjadi prioritas. Dengan begitu, niscaya angka kejahatanakan dapat ditekan karena kelompok masyarakat yang terpinggirkan itu akan memiliki alternatif pekerjaan lain yang lebih layak dibanding terjun ke dunia hitam.

Selain itu, pemerintah harus pula memikirkan bagaimana memupus kultur penghakiman massal di tengah masyarakat. Langkah awal yang dilakukan haruslah tegas karena kultur ini telah mengurat dan mengakar selama bertahun-tahun. Pemberian sangsi hukum bagi para pelaku tindak main hakim sendiri akan memberikan keenganan pada masyarakat untuk melakukan praktik yang telah memakan banyak korban tersebut. Setelah itu baru dipikirkan kebijakan yang bersifat persuasif agar masyarakat sadar bahwa negara ini diatur oleh hukum positif, bukan hukum rimba.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun