Hak Rakyat Kembali dikebiri
Hancur sudah cita-cita untuk membangun demokrasi di negeri ini. Hasil perjuangan para pahlawan reformasi dihentikan para elit kita, yang menelikung kepercayaan rakyat disebuah Rapat Paripurna DPR-RI. Oleh karena itu, seluruh rakyat Indonesia wajib berkabung karena hak-hak politiknya telah dicabut para elit tadi. Pencabutan itu menodai perjuangan yang telah mengubur dalam-dalam era tirani besi pemerintahan orde baru, yang membatasi hak-hak politik rakyat Indonnesia selama lebih dari 30 tahun.
Pencabutan hak rakyat untuk memilih pemimpin didaerahnya merupakan bentukketidak percayaan para elit terhadap rakyat. Dengan demikian, menjadi wajar jika rakyat balik menggugat untuk tidak lagi mempercayai wakilnya, karena mereka telah menghianati kepercayaan yang telah diberikan pada para elit di DPR-RI.
Bagi kita yang paham berdemokrasi, dalih para elit yang melatar belakangi keputusan untuk mengembalikan hak rakyat ke jaman kegelapan adalah lahir dari orang-orang yang kerdil dan tak bermartabat. Ini dilakukan, bisa jadi akibat ditengarai politik balas dendam setelah dicap menjadi pecundang pada pilpres 2014 yang telah dimenangi pasangan Jokowi-JK.
Yang lebih utama dan perlu diberi sangsi adalah Partai Demokrat. Partai yang dipimpin SBY itu, mengulang scenario masa lalunya yang menelikung Megawati dari belakang. Kita semua masih ingat bagaimana SBY yang waktu itu berada di cabinet Megawati, menjalankan politik pencitraan melalui scenario politik bermuka dua yang tidak pernah diduga oleh Magawati.
Sekarang gerakan menelikung kembali dilakukan SBY disaat PDIP mulai membangun kepercayaan pada Partai Demokrat. Maka tidak aneh jika kemudian muncul banyak cacian pada SBY dan Partai Demokrat yang pandai memainkan politik bermuka dua. Meski demikian, tidaklah perlu disesali karena kita sudah tahu watak dan karakternya, yang tidak pernah beraniterang-terangan untuk bermain politik secara bermartabat. Kini seantero negeri sudah tahu siapa sesungguhnya SBY itu.
Tindakan SBY dan para elit di DPR-RI niscaya akan dibalas. Rakyat akan menghukumnya dalam berbagai pentas politik dimasa datang. Yang paling dekat adalah melalui judicial Revieuw ke Mahkamah Konstitusi untuk membuktikan siapa yang kuat dan benar terkait UU Pilkada ini.
Pengembalian pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi tidak langsung, tentu menjadi sebuah kemunduran. Orang lain ingin maju, ini malah kembali kebelakang. Penilaian bahwa pemilihan langsung banyak mudharatnya, yang antara lain disebut dapat menimbulkan politik uang, membuat pilkada menjadi mahal, dan mengundang terjadinya kerusuhan, adalah alasan yang dicari-cari.
Mengapa? Ada tiga hal, pertama politik uang justru timbul karena datang dari para elit itu sendiri yang selalu mempengaruhi suara rakyat. Kedua, biaya mahal bukan hal yang permanen karena masih bisa dicari solusinya. Mahkamah Konstitusi telah memutuskan Pilpres dan pilkada mulai 2019 akan dilakukan secara serempak, sehingga akan terjadi pemotongan biaya yang cukup signifikan. Tetapi keputusan MK ini seolah dianggap tidak ada, dan kemudian menyatakan adanya biaya yang besar. Ketiga, persoalan kerusuhan tidak pernah datang dari rakyat melainkan dari para elit sendiri yang selalu mengipas-ngipasin rakyat akibat tidak legowo dalam menerima kekalahan pada pertarungan di sebuah pilkada.
Akrobat Politik
Para elit di DPR yang ada dibarisan koalisi merah putih, sebetulnya tengah melakukan acrobat politik yang memandang demokrasi seolah menyeramkan. Padahal seharusnya dimaknai sebaliknya, karena merupakan sebuah kegembiraan politik. Apalagi demokrasi yang sesungguhnya itu telah berjalan cukup lama, yang dijalankan oleh masyarakat Indonesia dalam bentuk pemilihan kepala desa.
Kita semua paham bahwa pemilihan kepala desa adalah cermin peradaban berdemokrasi yang telah berjalan puluhan bahkan mungkin ratusan tahun. Dari pemilihan kepala desa ini, hampir tidak pernah terdengar adanya kerusuhan yang membuat pemerintah terpaksa menghentikannya untuk tidak lagi dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Pemilihan kepala desa yang langsung merupakan tempat rakyat menumpahkan kegembiraannya. Disana ada silaturahmi, ada keriuhan yang dimaknai sebagai ajang kompetisi untuk memilih para pemimpinnya, dan ada wujud nyata sebagai bentuk kedaulatan rakyat.
Setelah lebih dari 30 tahun rakyat dikebiri hak-haknya oleh rezim orde baru, akhirnya tahun 2008 usai melewati masa-masa genting akibat bergulirnya reformasi di tahun 1998, rakyat mulai mendapat kesempatan memilih langsung pemimpinnya. Lima tahun kemudian mendapat kesempatan yang sama, yaitu pada tahun 2014 ini. Tetapi kesempatan untuk memilih langsung itu bukan hal yang baru, karena memang sudah biasa dilakukan melalui pemilihan kepala desa.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, pemilihan langsung telah memperlihatkan wujuddemokrasi yang sesungguhnya. Kesadaran rakyat secara perlahan mulai datang, yaitu ditunjukan dengan bertambahnya jumlah pemilih.
Tetapi sayang sekali, sekarang harus dihentikan akibat munculnya elit-elit berjiwa kerdil. Mereka mengambil hak politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan Negara, hanya gara-gara tidak mau menerima hasil pilpres yang dimenangkan Jokowi-JK. Jika sudah begini, maka jelas bukan rakyat yang tidak siap berdemokrasi melainkan para elit itu sendiri.(teguh m jiwapraja).***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H