Hari ini aku ingin membakar hatiku, Din, meraba-raba senyum yang tak kukenali, mengahayati peran pada makna logis yang kadang magis. Inikah rasa cinta yang lugas itu. Akan tetapi, mengapa aku cuma bergerak di tengah badai kerinduaan antara lagu dan barisan foto wajahmu. Hari yang cerah membutakan lagi mataku dengan segumpal rindu tak bertuan. Barangkali, hanya ini pesan yang tersirat secara gamblang yang nampak diantara sederet redam, yang aku pun tak tahu maksud dan itikadnya ?
“ Din, Aku juga tak tahu, mengapa perasaan ini begitu memenjara.”
Masih dikuasai gelisah, sedari pukul 12 tadi, mataku hanya mengintip di balik kaca, memandang hujan di luar sana, kubiarkan kaca mengembun, di hangati nafasku yang beraroma kopi dan rokok garpit, kubiarkan hatiku entaskan kerinduannya, dengan cara menggarisi kaca, menuliskan permintaan, andai kata ada semacam pemilihan di alam ruh, aku ingin dilahirkan bersanding bersamamu, Din. Tak ada yang lain lagi. Karena, yang aku tahu, aku menyangimu, sangat mencintaimu. Percayalah, sebelum mengatakan itu, telah habis tenagaku menahan gempurannya. Din. Namun maafkan jika perasaan ini mengusikmu, karena hanya ini fase yang bermutu dalam hidupku, yang membuat semua gemuruh didadaku luruh dan menisbatkan sgala tabir mimpi kisruh. Di Braga, masih kulihat jejak-jejak kemesraan dulu, Din. Nyaris tiap jengkal dibiarkan masih seperti dulu, yang kalau hujan begini, semakin menambah aksentuasi romantis dan dramatis. Di ujung sana, di trotoar jalan, di depan pelataran toko, kita duduk dengan komposisi segitiga, sesekali berubah meyerupai lingkaran. Kita biarkan asap kendaraan melukisi wajah, kadang hingga mengganggu pernafasan. Kumulai dengan menatap wajahmu yang menakzimkan keindahan, kurasakan dirimu yang tertawa, memandangmu yang tampak manis, terkesan kepolosan itu di manfaatkan untuk menonjolkan citra, sampai aku merasa kenyang dan tak haus. Lebih dari 2 jam kita berbincang. Udara terasa dingin kering, dinginnya menjuntai menyemat dan bertandang, lalu redup oleh hangat. "Apakah aku adalah hangat bagimu, Bang?" tanya Dini. Ya Din, aku menandaimu lewat hangat yang menjalari tubuh. Namun, masih saja kurasakan sepi, dan kosong. Tak kujumpai perasaan yang sama di bilik hatimu. Keindahan yang kubanggakan, tak dapat kusentuh, tak dapat kulihat. Gelisah ini Din, melebarkan kebimbanganku, pecahannya menyakiti tubuhku. Apakah kau ingin aku remuk? Atau mati karena mencintaimu ? Memang, dalam teori fisik, aku banyak sekali kekurangan, tinggi badanku jauhi proporsional, hidung pesek, bibir jontor , wajahku bulat identitas Indo-melayu, sawo matang warna kulitku, apalagi, mata merahku seperti pengidap insomnia. Ditilik dari segi pisikologis; perkataanku logis namun tidak sangat. Dari kecerdasan emosional; aku tidak begitu mengagumkan, ambisi, kaku dan cenderung memuja keegoisan. Lantas dimana letak indah yang bisa dilihat? Membuatku sering bermurung dan menyalahkan.
“ Barangkali, ini yang membuatmu banyak berpikir, Din? “
Kini. darimana aku harus memulai lagi, aku tak tahu, Din. Sepertinya sudah jelas jawabannya, kuresapi ketidakadilan ini membabatku, memanggil kemarau di musim hujan. Kubiarkan perih menebalkan luka yang senyap. Din, jika mengingat penolakan pada kejadian bulan Agustus, semua itu buatku merajam keruhnya hidup, seperti menciprati rengkuhnya tubuh yang termutilasi. Seperti pesanmu malam itu; “ terlalu dini perasaan cinta yang kau punya, buatku ragu, Abang. Namun jujur, engkau harus tahu, ada laki-laki lain mengukir hatiku. Seseorang sebelum kamu, yang mungkin lebih baik dari doamu, lebih dari apa yang kujelaskan saat ini, Abang. Barangkali, aku pilihanmu yang salah, jangan harap cintaku dapat merangkap, bersinggungan, atau cinta yang bisa berjalan di dua takdir. Aku hanyalah wanita yang rentan di makan risau, lemah karena harus memilih, yang kering karena menangis. Jadi, jangan paksa kumemilih, Abang. Karena percayalah, semua ini tak sedikitpun meringankan bebanku."
“Abang, maafkan jika kukatakan satu kalimat yang tak pantas diucapkan Hawa kepada Adam. Yaitu, aku tak mencintaimu…..jangan paksa aku mencintai, karena cinta yang akan memilih cinta, bukan aku”
Sungguh, Din, pedang tajammu menjajali hatiku, menebas kerinduaan yang tanpa arah. Membuat kerasnya sifatku melunak dan ciptakan samudra air mata, wadal mencintaimu. Namun, setelah lama kuberpikir, tidak dengan air mata untuk menghentikannya. Kucari cara lain, yang lebih terhormat, lebih pintar, lebih elegan, yang sanggup berkomplot dengan kemunafikan dan menjadi sobat iblis penghuni jiwaku. Pokoknya, mencari perihal yang mengepakan senyum agar bersemayam didiriku dan sedapatnya mengenyampingkan tentangmu di garis edarku. Sampai ketakutan itu hilang, terbang, dan rindu untuk mati. kini aku insyaf, Din, saat ini kubelajar ikhlaskan engkau pergi, maka pergilah dan berlarilah semampu kau bisa, sebelum kekangenan ini kuasai hatiku, lagi dan lagi. dan maafkan jika kebodohanku ini membuatmu ilfeel. Ketahuilah, semua yang terjadi hanyalah tentang sebuah perasaan laki-laki yang dimakan habis hatinya, yang tercemari cinta membahana, maka maklumilah. Bagaimanapun juga, aku pernah jadi judul dihatimu walau tertulis diatas lembaran kertas sobek yang demikian tak bermutu. (Curhat)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H