Dunia film Indonesia lahir di tengah bisingnya mesin perang di masa perjuangan. Sampai hari ini, saat dunia semakin damai dan tonggak industri film menancap selama 66 tahun, kebisingan itu tidak berkurang.
Peraturan dan undang-undang perfilman (UU No 33 Tahun 2009) untuk menjaga keharmonisan industri dan orang film, menunjukkan betapa tingginya perhatian pemerintah. Tetapi itu tidak ngefek dalam meredakan persoalan orang film.
Persoalan mulai dari urusan pajak, distribusi, kontrak kerja, organisasi, sensor, fasilitasi, produksi, bioskop, festival, hingga penonton, muncul berkelindan tidak putus sepanjang tahun. Apakah ini kutukan bagi dunia film Indonesia?
Jika dibandingkan bidang kreatif lain seperti musik, fashion, kuliner, dan lain-lain, kasus di bidang film Indonesia sering menyentak bagaikan monster. Bisingnya film dalam arti negatif mengalahkan rock underground sekalipun.
Perfilman Indonesia penuh intrik dari yang berskala lokal, regional hingga tingkat internasional. Dari perseteruan antarlembaga  dan organisasi perfilman,  gontok-gontokan antarpengambil kebijakan, hingga aktivis hipokrit aji mumpung yang jadi pahlawan melengserkan pejabat akibat kebijakannya di sebuah festival luar negeri.
Film dianggap sangat strategis hingga dibentuk kepanitiaan khusus di Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahas aneka persoalan yang dihadapi, termasuk membahas Peraturan Pemerintah. Upaya negara untuk melindungi dan mengembangkan perfilman melalui berbagai kebijakan tersebut tidak menyurutkan sikap ‘bawaan orok’ orang film ; senang dipuji dan tipis telinga.
Sebenarnya, dunia film berisi orang-orang revolusioner seperti diungkapkan oleh Presiden Soekarno ketika berkunjung ke Amerika Serikat.  Jiwa dan semangat revolusioner sangatlah dinamis dan penuh gagasan. Apakah lantaran ‘kutukan’ itu, dunia film akan terus bergejolak? Wallahualam bisawab.
Dalam hitungan sepuluh tahun terakhir saja, kita mencatat peristiwa yang menegaskan betapa gaduhnya perfilman Indonesia. Tahun-tahun sebelumnya, tidak jauh berbeda.
Festival Film Indonesia (FFI) dibiayai negara dan jadi lahan adu otot kepentingan dua kubu organisasi dari tahun ke tahun sebelum lahir Badan Perfilman Indonesia (masih bernama Badan Pertimbangan Perfilman Indonesia).
FFI ditolak karena pelaksananya bukan teman dekat. FFI dipersoalkan tetapi sekaligus dinikmati bersama-sama.  Kemudian lahir Apresiasi Film Indonesia (AFI), yang juga menjadi lahan adu otot orang-orang film. Sesama teman ‘sepersusuan’ seharusnya bisa akur.
Persekongkolan di ajang festival film pun terjadi. Kelompok pelaksana kegiatan festival akan merangkul dan jika perlu memenangkan karya dari orang-orang terdekat, yang masih satu paguyuban.