Mohon tunggu...
Nur Habibi Teguh Wibowo
Nur Habibi Teguh Wibowo Mohon Tunggu... Lainnya - Hidup hanya membuat sebuah cerita, maka buatlah cerita hidup ini dengan penuh kebaikan dan keindahan agar selalu dikenang selama-lamanya

Hidup hanya membuat sebuah cerita, maka buatlah cerita hidup ini dengan penuh kebaikan dan keindahan agar selalu dikenang selama-lamanya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merealisasikan Pendidikan Karakter Guna Mewujudkan Generasi Pelurus Bangsa

17 Mei 2017   13:21 Diperbarui: 17 Mei 2017   16:14 1289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jumlah kasus korupsi di Indonesia terus meningkat. Kasus korupsi yang telah diputus oleh Mahkamah Agung (MA) dari 2014-2015 sebanyak 803 kasus. Jumlah ini meningkat jauh dibanding tahun sebelumnya. Hasil penelitian Laboratorium Ilmu Ekonomi, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, mengungkap 803 kasus itu menjerat 967 terdakwa korupsi.

Data lain menurut Litbang Kompas 158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011, 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011, 30 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI. Kasus korupsi terjadi diberbagai lembaga seperti KPU, KY, KPPU, Ditjen Pajak, BI, dan BKPM. Kejahatan yang merugikan negara tersebut, anehnya dilakukan “oknum” orang yang berpendidikan tinggi.

Pendidikan yang tinggi seakan dianggap tidak berpengaruh dengan kualitas individu seseorang. Orang yang berpendidikan tinggi tidak ada bedanya dengan orang yang berpendidikan rendah. Bahkan, orang yang berpendidikan tinggi kecerdasannya hanya untuk “membodohi” orang yang kurang berpendidikan, salah satu buktinya dengan kasus-kasus diatas. Padahal idealnya seseorang yang berpendidikan tinggi bisa menjadi panutan dan contoh bagi orang yang pendidikannya rendah, seperti dalam pepatah mengatakan “bagaikan padi, semakin tua semakin merunduk” artinya orang yang semakin berilmu, pendidikannya semakin tinggi, maka sudah seharusnya bisa rendah hati, bisa memilah antara baik dan buruk dan lebih bijaksana dalam berperilaku.

Hal ini menjadi bukti bahwa pendidikan karakter yang direncanakan selama ini tidak berjalan sesuai dengan semestinya sekaligus menjadi tamparan keras bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan yang seharusnya diharapkan mampu merubah individu yang tidak baik menjadi baik, tetapi dalam kenyataannya belum mampu menjawab permasalahan yang ada, khususnya berkenaan dengan karakter seseorang. Pendidikan bukan hanya menggarap kecerdasan pikir seseorang saja, tetapi juga menggarap ketrampilan dan karakter atau perilaku seseorang. Maka dari itu, pendidikan karakter untuk saat ini sudah seharusnya dijalankan melihat kenyataan yang ada saat ini.

Sedangkan pendidikan karakter sendiri menurut Thomas Lickona adalah pendidikan  untuk membentuk  kepribadian  seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tidakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya. Pendidikan  karakter  dalam  konteks  pendidikan  di  Indonesia  adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda. Berdasarkan  grand design yang dikembangkan  Kemendiknas,  secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan fungsi dari   seluruh   potensi   individu   manusia   (kognitif,   afektif,   konatif,   dan psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah, dan  masyarakat)  dan  berlangsung  sepanjang  hayat.  Konfigurasi  karakter  ini dapat dikelompokkan ke dalam: 1. Olah hati (spritual and emotional development),2. Olah  pikir  (intellectual  development),  3.  Olah  raga  dan  kinestetik  (physical  and kinesthetic development),dan 4. Olah rasa dan karsa (affective and creativity development).Keempat hal ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, bahkan saling melengkapi dan saling terkait.

Dengan demikian pendidikan karakter merupakan proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam  dimensi  hati,  pikir,  raga  serta  rasa  dan  karsa.  Karakter  tersebut diharapkan menjadi kepribadian utuh yang mencerminkan keselarasan dan keharmonisan dari olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa/karsa.

Dampak yang dihasilkan pendidikan karakter yang dipraktikkan dengan baik akan menciptakan seseorang yang religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, demokratis dan tertanam dalam dirinya mempunyai rasa cinta pada tanah airnya, sehingga kejahatan seperti kasus narkoba, pembunuhan, penculikan, dan korupsi tidak terjadi lagi di Indonesia dikarenakan ada kesadaran dari diri seseorang yang telah ditanamkan pendidikan karakter dengan baik, dirasakan dengan baik dan akhirnya dipraktikkan dengan baik pula.

Untuk mewujudkan sebuah pendidikan karakter yang diharapkan, tidak bisa dilakukan oleh satu pihak. Tetapi harus melibatkan banyak pihak diantaranya pemerintah, individu, keluarga, dan lingkungan sosial. Serta hal lain yang berpengaruh diantaranya adalah sistem yang digunakan dalam mewujudkan pendidikan karakter tersebut. Inilah diantara komponen-komponen yang diperlukan dalam mewujudkan pendidikan karakter.

Pendidikan karakter juga harus dijalankan mulai sejak dini, berawal dari keluarga yang mendidik dengan metode teladan dan pembiasaan, kemudian ketika masuk pada jenjang pendidikan, seorang guru juga harus mampu menanamkan karakter yang baik pada dirinya sendiri sebelum mengajarkan pendidikan karakter pada peserta didiknya. Dan hal ini harus dilakukan secara kontinyu sampai peserta didik masuk pada jenjang pendidikan yang lebih tingi. Sehingga pendidikan karakter yang ditanamkan pada peserta didik sudah “mendarah daging” dalam dirinya. Ketika ada kesempatan untuk melakukan korupsi atau sebuah kejahatan, secara otomatis dirinya terbentengi dengan pendidikan karakter yang dibangun sejak dini hingga dewasa tersebut.

Penulis berharap pendidikan karakter yang sering digembar gemborkan bukan hanya menjadi sebuah teori dan harapan semata tanpa adanya sebuah aplikasi nyata. Pemerintah memang sudah menempatkan pendidikan karakter pada kurikulum saat ini, yaitu kurikulum 2013 atau yang sering disebut KURTILAS, namun kenyataannya masih kurang dalam aplikasi. Semoga kedepannya pendidikan karakter yang diimpikan akan tercapai dan menciptakan generasi “Pelurus Bangsa” bukan menjadi generasi “Penerus Bangsa” yang dalam artian penerus dalam hal keburukan. Karena kemajuan sebuah bangsa dan baik buruknya sebuah bangsa salah satunya ditentukan oleh manusianya. Jika manusianya berkarakter baik, maka bangsa tersebut juga akan menciptakan sebuah peradaban yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun