Integrasi syariat dengan tasawuf melibatkan upaya untuk menyatukan prinsip-prinsip hukum Islam (syariah) dengan aspek spiritualitas dan mistik yang ditemukan dalam tradisi tasawuf. Meskipun syariat menekankan aspek hukum dan etika dalam Islam, tasawuf lebih berfokus pada dimensi spiritual dan hubungan langsung dengan Allah.
Dalam integrasi ini, tujuannya adalah menciptakan keseimbangan antara kewajiban-kewajiban syariat dengan pengembangan spiritualitas dan kesadaran diri yang lebih dalam, sebagaimana diajarkan dalam ajaran tasawuf. Hal ini sering melibatkan praktik-praktik zikir (pengingat Allah), meditasi, dan introspeksi diri untuk mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang kehadiran Allah dan penerapan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya, integrasi ini bertujuan untuk mencapai keselarasan antara ketaatan terhadap hukum Islam (syariat) dengan pencarian makna spiritual dan kesadaran diri yang mendalam yang diajarkan dalam tasawuf. Ini dapat melibatkan praktik-praktik ibadah, meditasi, dan introspeksi untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam terhadap ajaran Islam.
Upaya Memadukan Kembali Fiqih dengan TasawufÂ
Rintisan untuk memadukan fikih dan tasawuf dimulai oleh Imam Malik ibn Anas sebagai seorang faqih, ulama fikih, mujtahid, serta imam mazhab. Beliau berpendapat bahwa siapapun yang mengamalkan tasawuf tanpa landasan pemahaman fikih, maka mereka telah menyimpang. Di samping itu, Imam Malik juga memandang bahwa banyaknya ilmu bukan karena menguasai banyak rujukan, tetapi ilmu itu berdasarkan nur yang disimpan oleh Allah SWT dalam kalbu seseorang. Oleh karena itu, pandangannya dapat memadukan antara ilm al-aql dan ilm al-qalb, yaitu pengetahuan akal dan pengetahuan kalbu dengan dilandaskan tasawuf sunni.
Dimensi Tasawuf dalam Zakat
Dengan mengeluarkan zakat, seorang muslim berarti menyucikan harta yang dimilikinya untuk hak fakir miskin. Di samping itu, zakat juga berarti mengembangkan aset kekayaannya agar bertambah, berkah, serta mendapat Ridha-Nya. Zakat juga berfungsi untuk mengalirkan energi positif kepada pihak yang terkait, seperti muzakki (orang yang berzakat), harta yang dizakatkan, mustahik (penerima zakat), serta narahubung di antaranya. Keberkahan zakat akan terlihat jelas pada dimensi tasawufnya, Pertama, zakat mengikis sifat bakhil, dimana zakat memang bertujuan untuk tazkiyat al-nafs (menyucikan diri) dari sifat bakhil/kikir. Sebab, sifat tersebut merupakan bagian dari penyakit yang bersifat merusak secara kejiwaan. Menurut al Ghazali, kecintaan terhadap harta tidak bisa dihilangkan kecuali dengan memaksakan jiwa untuk berpisah dengan hartanya dan membiasakannya. Tingkat keberhasilan zakat bergantung pada kualitas niat, keikhlasan, serta kelegaan hati dalam menunaikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H