Tiga bulan ini, empat orang siswa SMK menjalankan praktek kerja industri (prakerin) di kantor saya. Salah satunya Joko. Anaknya kurus, tinggi, dan terkesan klemar-klemer. Tak ada yang istimewa sebenarnya. Dia masuk kantor, istirahat dan pulang sesuai waktunya. Tugas-tugas dia kerjakan sebatas agenda yang telah ditetapkan untuknya. Kadang juga terlihat facebookan pada jam kantor. Meskipun itu melanggar, tetapi saya mencoba maklum. Ketiga temannya pun tak banyak beda dengannya.
Memasuki minggu ketiga, mulai ada perubahan pada si Joko. Masuk kantor tak lagi pukul 07.30 tetapi lebih mendekati pukul sepuluh. Pulangnya pun lebih cepat dari teman-temannya. Sehari dua hari tak menjadi perhatian bagi saya. Saya hanya meminta kepada staf saya yang menjadi supervisornya untuk menegur. Tapi sepertinya dalam seminggu itu belum ada perubahan.
Sebagai seorang yang ditugaskan menjadi pamong oleh pihak sekolah, tentu tak mungkin ketidakdisiplinan seperti ini dibiarkan. Saya pun memanggilnya.
“Maaf pak, kalau dalam beberapa hari ini saya sering terlambat”, Joko mengambil duduk di hadapanku. Menunduk.
“Ayah saya sedang sakit. Setiap pagi saya harus menggantikan tugas ayah menjadi buruh penyadap karet. Tanpa itu, darimana kami mendapat uang untuk makan dan biaya sekolah saya dan adik-adik”
Sungguh, berbagai nasehat yang sebelumnya telah siap menyembur dari mulut saya, mendadak lenyap. Anak semuda itu, dengan kesadarannya telah mengambil alih tanggung jawab keberlangsungan hidup keluarganya.
Haruskah keterlambatannya dinilai sebagai ketidakdisiplinan? Untuk nilai sekolah, saya memang tidak bisa memberi yang terbaik, karena aturan formal menghendaki demikian. Namun untuk nilai kehidupan, saya memberinya nilai sempurna, karena dia telah lulus dari sekolah kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H