Ahad siang, Â biasanya saya sudah berangkat ke tempat kerja. Â Di luar kota. Perlu empat jam untuk sampai ke sana. Sengaja berangkat hari Ahad biar sempat istirahat. Senin bisa fresh. Tidak terkena sindrom I Hate Monday.
Namun hari ini terpaksa saya berangkat bakda Magrib. Ada keperluan yang tak mungkin saya tinggalkan. Tak apalah. Kondisi mobil oke. Minggu lalu baru ganti oli. Ban pun baru. Maka saya stel yakin aja untuk berangkat malam. Bukan gelap yang membuat takut. Namun ada ruas jalan membelah hutan lindung, yang pasti sepi, yang pasti tak ada rumah di kanan kiri, yang pasti akan kesulitan mencari bantuan ketika mobil mengalami permasalahan, bahkan semisal pecah ban.
Dengan bismillah, gelap malam mulai saya tembus. Dari jalan perumahan, berbelok ke jalan raya  Mengarus bersama kendaraan lain yang searah. Tiba di batas kota, meluncur memasuki jalan negara yang lebar dan mulus, sebelum nantinya masuk ke jalan kolektor yang melewati desa demi desa hingga perbatasan hutan lindung. Setelah itu, yang ada hanya gelap, sepi, menanjak, menikung, Sekali dua masih berpapasan dengan kendaraan. Dan itu membuat lega. Menunjukkan bahwa di depan sana situasi aman, tidak ada longsor atau gangguan lain.
Selagi pikiran saya kosong akibat sepi, tiba-tiba pandangan saya dikejutkan dengan adanya sesosok anak kecil seperti terjatuh dari sepeda. Mungkin umur 7 atau 8 tahun. Jelas tersorot lampu mobil saya. Sekitar sepuluh limabelas meter didepan. Anak itu terduduk memegangi lutut. Sepedanya tergeletak di samping. Spontan saya menghentikan mobil. Mendekati dan menanyakan keadaannya.
"Kamu kenapa, Nak ?"
"Gak apa-apa, Om. Â Capek, Â mau pulang. Jadi duduk dulu"
"Rumah kamu di mana?"
Ia menyebutkan nama suatu desa.Â
"Jauh benar kamu main sepedanya. Emang gak dicari orang tuamu sampai malam-malam gini. Â Gak takut segelap ini ?" saya menyerocos nanya.
"Dari rumah tadi, jalan menurun terus Om, jadi gak terasa. Â Pas pulang menanjak, saya gak kuat".
Benar juga. Kebetulan desa yang dia sebutkan tadi akan saya lewati.
"Ya, udah. Kamu naik mobil Om, aja. Â Om antar pulang. Sepedanya naikkan dari belakang"
Saya membuka pintu belakang mobil, menggeser barang bawaan, dan melipat jok tengah dan belakang agar muat untuk memasukkan sepeda anak itu.
Si anak saya suruh duduk di depan.
"Nama kamu siapa?"
Ia menyebutkan nama.
Mobil melaju. Si anak lebih banyak diam. Kepalanya disandarkan di pintu. Melihat dia kelihatan capek, saya tidak bertanya tentang dirinya. Saya pun kembali menyetir dalam sepi. Radio mobil tak bunyi. Tak ada siaran yang tertangkap disini.
Memasuki desanya dia terbangun. Dekat sebuah jalan kecil, dia meminta turun. Rumahnya masuk gang situ, katanya. Karena tak mungkin mobil masuk gang, saya menuruti permintannya. Sepeda saya turunkan. Si anak berjalan menuntun sepeda masuk gang.
Beberapa hari kemudian, saya kembali berkendara melewati desa si anak pesepeda. Awalnya tak berniat singgah, namun tiba-tiba ada rasa ingin buang air kecil. Saya putuskan mampir ke masjid.Â
Keluar dari toilet masjid, saya melihat ada jalan kecil di sebelah masjid. Di seberangnya adalah kompleks pemakaman. Saya ingat-ingat ini adalah gang tempat si anak pesepeda minta turun. Rasa ingin tahu dan ingin mengenal si anak timbul. Saya berjalan menyusuri gang. Di rumah pertama saya bertanya alamat si anak. Â Si empunya rumah terkejut.
"Bapak bertemu di mana?" tanyanya.
Saya bercerita singkat saat saya menolongnya tempo hari.
Si empunya rumah mengangguk angguk. Wajahnya keheranan.
"Anak pesepeda yang bapak sebutkan itu, sudah meninggal Pak. Sekitar  tiga bulan lalu.  Di situ makamnya," si empunya rumah menunjuk arah pemakaman. Â
"Dia meninggal waktu bersepeda. Tertabrak truk di lintas jalan hutan lindung", jelasnya.
Seketika lututku gemetar.
Tubei, 01072020
(Jelang tengah malam)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H