Mohon tunggu...
Teguh Wibowo
Teguh Wibowo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

kaya belum tentu bermartabat . .

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Beternak dengan Sistem Gaduh

31 Januari 2014   10:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:17 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sabtu Pahing, 18 Januari 2014, lima ekor kambing itu akhirnya terjual. Pak Ndo, pedagang kambing dari kampung sebelah, mengangkut kambing-kambing itu menggunakan mobil pick-upnya. Semuanya akan diangkut menuju pasar hewan, 6 kilometer dari kampung saya. Esok paginya, sebagian dari kambing itu akan beralih pada peternak lain yang berminat. Sebagian lagi mungkin saja dagingnya akan terhidang di meja-meja warung sate.

Ilustrasi

***

Kambing yang saya jual itu adalah hasil paruh dari beternak sistem gaduh yang saya terapkan. Beternak dengan sistem ini aturan mainnya sederhana saja. Seorang pemilik hewan ternak menyerahkan hewan ternaknya untuk diternakkan oleh peternak. Peternak itu lah yang akan bertugas memelihara hewan ternak itu. Ketika hewan ternak itu menghasilkan anakan, maka anakan itu akan dibagi dua, satu untuk pemilik dan satu untuk peternak. Kambing-kambing yang saya jual itu adalah anakan yang menjadi bagian saya. Beberapa indukannya sebagian telah saya jual, sebagian juga masih dipelihara peternak.

Meski beternak memang menjadi hobi saya, inisiatif melakukan sistem gaduh itu tak datang dari saya. Pak Ngarmin, seorang petani di kampung saya lah yang pertama kali menawari saya sistem itu. Saya langsung setuju.

Di kampung saya, hubungan kekerabatan antarmasyarakat masih sangat kuat. Hal ini menjadi prasyarat dalam menerapkan peternakan sistem gaduh. Ketika satu setengah tahun lalu saya memulai sistem itu, saya tak membutuhkan surat perjanjian apapun dalam menerapkannya. Tak ada hitam di atas putih. Semuanya saya lakukan atas dasar kebiasaan yang umum dilakukan oleh warga kampung. Saya tak menyimpan keraguan apapun kepada Pak Ngarmin. Saya percaya ia akan amanah dalam memelihara kambing-kambing saya.

Beberapa waktu setelah saya menjalin kerja sama dengan Pak Ngarmin, beberapa petani lain juga meminta saya membeli beberapa ekor kambing untuk mereka pelihara. Pak Amin, Pak Boyar, Pak Siju, dan Pak Namin menawari sistem yang serupa. Saya tak bisa menolak. Hingga hari ini, para petani itu masih memelihara beberapa ekor kambing saya. Beberapa sudah beranak pinak, beberapa yang lain belum.

Bagi petani di kampung saya, beternak sesungguhnya bukan pekerjaan utama. Beternak hanya merupakan pekerjaan sampingan. Keseharian mereka yang utama adalah bercocok tanam di sawah atau ladang mereka. Seusai menyibukkan diri di sawah atau ladang, mereka baru mencari rerumputan atau dedaunan sebagai pakan ternak yang mereka pelihara.

Mereka mencari pakan ternak di tanah-tanah mereka sendiri. Biasanya, pakan ternak itu diambil dari rumput yang tumbuh di ladang-ladang mereka, atau dari cabang tanaman yang memang harus dipotong.

Beberapa tanaman seperti sengon atau singkong, memang menjadi favorit kambing. Seringkali dari tanaman-tanaman itu muncul cabang yang tak diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Jika cabang itu dibiarkan, pertumbuhan tanaman justru akan terganggu. Cabang-cabang pengganggu itu lah yang dipotong oleh petani lalu dijadikan sebagai pakan ternak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun