[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi"][/caption]
Dari pinggiran sebuah kampung di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, mentari kelihatan telah menyingsing di ufuk barat.Hari telah sore namun seorang bapak berusia lima puluhan tahunmasih sibuk berkutat dengan kotoran sapi di kandangnya. Pak Sayudi namanya.
Tiap kali bongkahan kotoran sapi itu dibelah, hawa panas segera mengepul di dalam kandang. Baunya cukup menyengat hingga beberapa meter jauhnya dari kandang itu. Pak Sayudi telah terbiasa dengan aromaitu, indra penciumannya seakan sudah begitu kebal. Kotoran sapi itu dikumpulkan dalam satu lubang yang cukup besar. Kelak kotoran-kotoran itu akan digunakan untuk memupuk tanaman-tanaman di ladangnya.
Di rumah, istri Pak Sayudi tengah sibuk memasak untuk berbuka nanti. Istrinya menggunakan gas elpiji berukuran tiga kilogram sebagai bahan bakarnya. Gas elpiji itu akan habis hanya dalam waktu seminggu saja. Sekali melakukan pengisian, ia harus mengeluarkan uang sebesar lima belas ribu rupiah.
Selain Pak sayudi, di kampung tak jauh dari jalur pantura itu juga ada banyak petani lain yang juga memelihara sapi. Di Kabupaten Batang, masyarakat memang mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama. Dari jumlah petani yang ada, sebagian besar dari mereka juga memelihara hewan ternak. Entah sapi, kambing, atau unggas.
Jumlah sapi yang dimiliki petani berkisar antara dua hingga lima ekor. Sebagaimana istri Pak Sayudi, sebagian besar dari petani menggunakan elpiji sebagai bahan bakar untuk memasak. Beberapa yang lain juga menggunakan kayu bakar atau kombinasi keduanya.
Pak Sayudi nampaknya belum cukup mengetahui mengenai potensi energi biogas dari kotoran sapi yang ia pelihara. Ia tak memahami bahwa kotoran-kotoran yang dihasilkan dari sapi-sapi itu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk memasak. Akibatnya, kotoran-kotoran yang ada lebih banyak dimanfaatkan sebagai pupuk kandang semata, didiamkan dalam waktu yang lama hingga mengering agar ringan untuk dipindahkan ke sawah atau ladang.
“Saya tak tahu banyak tentang biogas. Kalau sekadar mendengar sih pernah. Cuma gak tahu cara masangnya bagaimana”, begitu ujarnya.
****
Ilustrasi di atas mungkin dapat mewakili sebagian besar petani di Indonesia yang belum begitu mengenal biogas. Pamor biogas sebagai sumber energi memang belum cukup menggema di kalangan masyarakat awam.
Sebagai negara agraris, penduduk Indonesia begitu banyak yang bertani. Jumlahnya ada puluhan juta. Sebagian dari mereka tak hanya mengandalkan tanah-tanah mereka sebagai sumber penghasilan. Sembari bertani, mereka juga beternak sapi, kambing, unggas, atau ikan.
Ibarat bisnis, ternak-ternak itu adalah usaha sampingan yang digunakan sebagai sumber pendapatan di kala panen tak memberikan hasil yang diinginkan. Ternak digunakan sebagai pendapatan ekstra untuk menutupi berbagai macam keperluan seperti saat hajatan. Beberapa yang lain bahkan digunakan untuk biaya berangkat ke tanah suci.
Beberapa sapi digunakan untuk membajak sawah-sawah petani. Kotorannya banyak digunakan sebagai pupuk. Sapi itu baru akan dijual kala petani-petani itu benar-benar membutuhkan uang.Sementara ternak seperti unggas sering dikonsumsi sendiri. Namun, mereka yang mengerti bahwa kotoranyang dihasilkan oleh ternak-ternak itu bisa digunakan sebagai bahan bakar untuk mengapikan dapurmasih sangat sedikit.
Pak Sayudi adalah contohnya. Ia belum cukup tahu bahwa manfaat biogas sebagai sumber energi sungguh luar biasa besar. Mungkin pengetahuannya belum cukup menjangkau kesana. Mungkin belum ada orang yang menjelaskan itu kepadanya.
Selain hemat, biogas juga menjadi sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan. Biogas tak akan habis selama ada kotoran dari hewan-hewan ternak sehingga kelak dapat menjadi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Tak ada polutan berbahaya semacam timbal atau gas buangan berbahaya lainnya dihasilkan dari bahan bakar ini.Sisa kotoran yang sudah digunakan bahkan masih bisa dimanfaatkan untuk memupuk tanaman.
Di negara seperti China dan India, biogas telah dimanfaatkan sebagai energi alternatif ramah lingkungan oleh para petani setempat. Bahkandi peternakan-peternakan besar, biogas juga digunakan untuk sumber energi listrik yang digunakan sebagai penerang. Disana, pemanfaatan kotoran ternak ibarat siklus. Kotoran-kotoran itu dijadikan sebagai sumber biogas, sementara ampas lanjutannya akan digunakan sebagai pupuk untuk menyuburkan tanaman-tanaman pakan ternak.
Di Indonesia, sebagian besar petani masih belum mandiri. Faktor minimnya pengetahuan kemungkinan besar menjadi penyebabnya. Pertanian masih dilakukan secara konvensional. Peralatan modern belum sepenuhnya diterapkan. Pemanfaatan teknologi belum banyak dilakukan.
Tapi, pengembangan biogas itu bukannya tidak diupayakan oleh pemerintah. Hanya saja kesannya memang masih belum cukup optimal. Buktinya, petani Indonesia tak banyak yang memiliki reaktor biogas sendiri. Mungkin pemerintah tak bisa bergerak sendiri, membutuhkan peran lebih besar dari swasta atau organisasi nonpemerintah lainnya. Namun dengan melihat potensi yang ada, rasanya bukan mustahil jika kelak biogas akan menjadi salah satu energi alternatif yang utama di Indonesia.
Andai saja orang-orang seperti Pak Sayudi itu mau memanfaatkan biogas dari kotoran sapi yang dipeliharanya, mungkin saja beban hidupnya akan sedikit terkurangi. Paling tidak ketergantungannya terhadap gas elpiji dapat diminimalisasi atau bahkan dihilangkan. Tak terbayangkan jika semua petani di Indonesia sudah memiliki reaktor biogas sendiri, bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang mandiri energi. Bertani pun tak lagi menjadi profesi yang dipandang sebelah mata.
Tapi, memang dibutuhkan kerja keras untuk dapat memanfaatkan semua potensi yang ada itu. Yang perlu dilakukan adalah mencerdaskan petani, mengenalkan biogas kepada mereka, serta membangun keyakinan bahwa biogas itu sungguh besar manfaatnya sehingga mereka mau mendayagunakannya. Tantangan yang tak mudah tapi bukan sesuatu yang tak mungkin.
[caption id="" align="aligncenter" width="612" caption="Prinsip kerja biogas, sumber: http://www.bubblews.com/"][/caption] Energi Hijau
Satu lagi sumber energi yang begitu erat kaitannya dengan dunia pertanian adalah energi hijau. Energi hijau adalah sebutan bagi sumber energi hijau yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Prinsip dalam energi hijau sangat lah sederhana. Tumbuh-tumbuhan merupakan organisme penyimpan energi yang efektif. Tumbuhan mengambil bahan mentah seperti air dari dalam tanah dan karbondioksida dari udara. Zat-zat yang diserap tumbuhan itu akan diubah menjadi oksigen dan cadangan makanan bagi tumbuhan dengan bantuan sinar matahari. Ketika tumbuhan tersebut mengalami kematian, membusuk, atau dimakan oleh manusia atau hewan, energi yang tersimpan dalam tumbuhan akan dilepas. Energi itulah yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi hijau, setelah melalui serangkaian proses tertentu.
Sejarah mengenai penggunaan energi hijau di Indonesia pernah menggema di masa penjajahan. Kala itu, penjajah Jepang memaksa rakyat Indonesia untuk menanam pohon jarak pagar. Jarak pagar itu akan diambil minyaknya dan dijadikan sebagai bahan pelumas kendaraan dan peralatan perang. Hal itu sesungguhnya merupakan salah satu bentuk sederhana dalam pemanfaatan energi hijau.
Sejarah juga mencatat bahwa penemu mesin diesel pertama, Rudolf Diesel, pernah menguji coba mesin diesel ciptaannya dengan menggunakan minyak kacang dan minyak ganja. Tokoh lain, Henry Ford, juga pernah menggunakan alkohol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan untuk menggerakkan sebuah mobil.
Dengan fakta demikian itu, sesungguhnya penggunaan energi hijau dalam kehidupan telah dilakukan sejak dahulu kala. Hanya saja pamornya kemudian seakan meredup terkalahkan energi fosil. Kini, ketika energi fosil telah mengalami kelangkaan, energi hijau sudah semestinya untuk dikembangkan.
Indonesia merupakan negeri yang kaya akan sumber energi hijau. Tanah Indonesia sangat lah subur dan berbagai macam tumbuhan hijau dapat tumbuh di atasnya. Selama bumi Indonesia masih tercurah sinar matahari dan hujan yang cukup, tumbuh-tumbuhan akan tumbuh dengan subur. Dengan begitu, cadangan energi hijau Indonesia pun akan selalu tersedia. Ini lah mengapa energi hijau merupakan sumber energi yang terbarukan.
Asalkan energi hijau itu mampu dikembangkan dengan optimal, sesungguhnya bangsa Indonesia tak perlu terlalu merisaukan berkurangnya cadangan energi fosil. Indonesia memiliki keunggulan komparatif dari hampir negara di seluruh dunia. Indonesia berbeda dengan negara timur tengah yang dianugerahi kandungan minyak yang tinggi namun tidak dianugerahi kesuburan tanah semelimpah bumi pertiwi.
[caption id="" align="aligncenter" width="330" caption="Energi Hijau, http://baltyra.com"]
Lalu, tanaman-tanaman apa saja yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi sumber energi hijau?
Ada puluhan tanaman yang dapat menjadi sumber energi hijau. Diantaranya adalah jarak pagar, tebu, kelapa sawit, kelapa, jagung, singkong, bunga matahari, sorgum, ganggang, sagu, ubi jalar, kelor, wijen, jarak kepyar, kecipir, dan beberapa spesies lainnya. Jumlahnya sangat banyak.
Jarak pagar, misalnya, merupakan sumber bioedesel. Tanaman ini menjadi komoditas wajib sebagian petani Indonesia kala penjajah Jepang datang ke tanah air. Di beberapa negara seperti Mali dan India, tanaman ini telah banyak dikembangkan.
Tebu merupakan sumber bioetanol. Selama ini tebu dikenal sebagai tanaman penghasil gula. Jarang yang telah mengetahui bahwa ampas tebu bisa dimanfaatkan sebagai sumber bahan bakar. Di beberapa perusahaan gula, pemanfaatan ampas tebu sebagai bietanol telah dilakukan. Di Brasil, ampas tebu telah dimanfaatkan dalam jumlah yang sangat besar. Brasil kini tak hanya menjadi salah satu eksportir gula terbesar di dunia, melainkan juga penghasil bioetanol dalam jumlah yang sangat besar.
Sebagaimana jarak pagar, kelapa sawit merupakan sumber biodesel. Selama ini kelapa sawit hanya dikenal sebagai sumber minyak goreng. Namun di berbagai negara, kelapa sawit juga telah dikembangkan menjadi biodesel.
Bukan tidak mungkin kelak sumber energi hijau yang terhampar di bumi pertiwi itu menjadikan Indonesia mandiri akan energi. Karena sekali lagi, Indonesia memiliki keunggulan komparatif atas sumber-sumber energi hijau dibandingkan negara-negara yang lain. Bahkan, tidak berlebihan kiranya jika Indonesia kelak mampu menjadi negara penghasil energi hijau terbesar di dunia. Namun tentu saja hal ini tak akan terwujud apabila tak diiringi dengan kemauan dan kerja keras yang nyata oleh pemerintah dan segenap bangsa Indonesia.
[caption id="" align="aligncenter" width="352" caption="Selain menjadi bahan pembuatan gula, ternyata tebu adalah penghasil bioetanol. http://gula-merah.net"]
Indonesia memiliki keragaman tanaman yang sangat banyak. Hampir setiap daerah memiliki komoditasnya sendiri. Wilayah Jawa, misalnya, unggul dengan tanaman tebu. Madura terkenal dengan jagungnya. Sumatera unggul dengan tanaman karet dan kelapa sawit. Maluku unggul dengan sagu. Kelak apabila konsep mengenai energi hijau itu benar-benar terealisasi, di setiap daerah dapat dibangun mesin pengolah energi hijau dengan tanaman khasnya masing-masing. Kemandirian energi pun akan terjadi di setiap daerah.
Pengembangan energi hijau yang masif juga akan sangat menguntungkan bagi petani. Derajat hidup petani akan semakin terangkat. Jika selama ini petani hanya mengembangkan produk-produk pertanian untuk keperluan pangan, kelak produk-produk itu akan juga menyuplai sektor energi. Nilai tukar produk pertanian pun akan meningkat. Imbasnya, kesejahteraan petani dengan sendirinya akan terangkat.
Andai saja pengembangan energi hijau itu dapat terealisasikan, tentu manfaatnya sungguh luar biasa bagi kehidupan. Bumi Indonesia yang begitu subur dan melimpah sudah menyediakan tanaman-tanaman yang sangat bermanfaat. Kita memang tak hanya dianugerahi minyak bumi sebagai sumber energi, tetapi juga sumber energi lain yang bahkan lebih melimpah.
Peternakan di Indonesia juga banyak jumlahnya. Ada yang berskala besar, ada juga yang berskala kecil. Oleh petani, peternakan juga menjadi sampingan atas usahanya. Di ladang, mereka bertanam jagung, padi-padian, dan berbagai macam tanaman lainnya. Di kandang tak jauh dari rumah petani, diternakkan berbagai macam binatang ternak. Sebagian tanaman di ladang yang tak memiliki nilai ekonomi akan digunakan petani sebagai bahan pakan ternak itu. Sayang, selama ini sektor pertanian dan sektor peternakan hanya dijadikan sebagai penyuplai bahan makanan. Padahal, dari keduanya ternyata dapat juga dikembangkan sebagai sumber energi alternatif.
Biogas dan energi hijau adalah kombinasi yang menarik sebagai sumber energi alternatif yang disumbang oleh sektor pertanian dan peternakan. Keduanya sungguh potensial untuk menjadi energi andalan di masa depan.
*****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H