Mohon tunggu...
Teguh Alexander
Teguh Alexander Mohon Tunggu... -

Pemerhati Hukum Dan Politik, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sisi Lain dari Kontrovesi Kebijakan Pengetatan Remisi dan Pembebasan Bersyarat

15 Maret 2012   10:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:01 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apabila kita menelaah secara lebih mendalam mengenai kebijakan remisi dan pembebasaan bersyarat (KPRPB) yang diterbitkan oleh Menkumham, maka kita akan memahami bahwa permasalahan tersebut tidaklah segampang celotehan sempit para anggota DPR dan tidak pula sesederhana perseteruan antara Deny dan Yusril. Mengapa demikian, karena KPRPB adalah proses pergeseran paradigma penegakan hukum dalam hal pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana yang dilakukan oleh Menkumham Amir Syamsudin. Paradigma dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai suatu pola atau model yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Paradigma lama yang selama ini dianggap sudah mapan, ternyata tidak bisa menjawab permasalahan hukum yang timbul dan tidak mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Atas dasar itulah, KPRPB lahir sebagai upaya untuk menjawab semuanya. Inilah yang disebut oleh Thomas S.Kuhn sebagai lompatan paradigma (The Concept of Paradigm Shift).

KPRPB adalah kebijakan yang bersifat mengatur melalui instrumennya berupa Keputusan Menkumham Amir Syamsudin yang mencabut keputusan Menkumham sebelumnya Patrialis Akbar mengenai pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana di seluruh Indonesia. Pencabutan ini menimbulkan akibat hukum berupa dibatalkannya hak remisi dan hak pembebasan bersyarat bagi narapidana yang belum melaksanakan keputusan Menkumham Patrialis Akbar.

Keluruhan cita-cita paradigma KPRPB akhirnya bergeser menjadi persoalan hukum, tatkala tujuh orang narapidana membawa Keputusan Pencabutan Pembebasan Bersyarat atas nama mereka ke jalur litigasi melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Alasan mereka didasari pada perspektif bahwa keputusan pencabutan tersebut bertentangan dengan UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah No 32 Tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006.

Setelah melalui protokol pengujian yang ketat terhadap perseteruan paradigma KPRPB vs perspektif berakibat hukum, akhirnya Peradilan Tata Usaha Negara memutuskan untuk menunda daya berlakunya Keputusan Pencabutan Pembebasan Bersyarat atas nama tujuh orang narapidana yang menggugat, dan menyatakan keputusan tersebut batal karena bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Putusan Peradilan Tata Usaha Negara membawa konsekuensi dibebaskannya tujuh orang narapidana yang menggugat oleh Menkumham. Inilah sikap Pejabat yang harus diapresiasi atas ketaatannya melaksanakan putusan peradilan tata usaha Negara. Putusan ini selanjutnya menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bagi mereka yang pro tentunya akan menyalahkan Menkumham, sedangkan yang kontra akan mendukung Menkumham untuk melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan yang lebih tinggi.

Namun di sisi yang lain, perdebatan hukum yang sebelumnya terjadi di antara pihak kuasa hukum tujuh orang narapidana yang bergabung dengan para anggota DPR melawan pihak Kemenkumham, pasca putusan peradilan akhirnya bergeser menjadi tuduhan terhadap lembaga Peradilan Tata Usaha Negara oleh kelompok penekan (pressure group), sebagai lembaga pemutus yang kurang memahami persoalan hukum yang sesungguhnya. Tuduhan ini tentunya tidak berdasar, mengingat Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan yang tidak hanya memeriksa dan memutus saja, melainkan juga menyelesaikan setiap sengketa-sengketa tata usaha Negara yang dihadapkan kepadanya.

Pelaksanaan dari fungsi peradilan Tata Usaha Negara ini tidaklah semudah yang dikira orang yang hanya melihat dari satu perspektif saja. Justru karena adanya pertikaian perspektif tentang penerapan hukum itulah, yang mengharuskan peradilan menjalankan fungsinya secara objektif, dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya untuk menghasilkan suatu putusan yang mencerminkan perasaan keadilan. Dengan demikian, apabila digali, dipelajari dan dikaji putusan Peradilan Tata Usaha Negara itu secara lebih mendalam, maka akan diperoleh suatu pemahaman bahwa putusan itu berisi unsur korektif dan unsur edukatif bagi kedua belah pihak yang bersengketa, temasuk bagi masyarakat dalam kerangka yang lebih luas.

Unsur korektif dari putusan peradilan menunjukkan, bahwa perlu dibangunnya suatu kerangka yuridis yang menjadi landasan KPRPB, sehingga keputusan-keputusan menyangkut pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat memiliki dasar hukum yang jelas. PERPU dapat menjadi salah satu jalan keluar untuk menjadi payung hukum KPRPB. Inilah yang disebut oleh Imre Lakatos sebagai sabuk pengaman (protective belt), dimana yang diubah itu hanya sabuk pengamannya (payung hukumnya) saja, tanpa harus mengganggu pohonnya (KPRPB). Sedangkan Unsur edukatif dari putusan peradilan itu dapat dimaknai sebagai suatu jembatan antara kepastian hukum dan perasaan hukum masyarakat dengan memberi makna baru terhadap hukum yang ada.

Selanjutnya mengenai kekhawatiran terhadap kemungkinan putusan peradilan menjadi yurisprudensi dan akan berdampak sistemik terhadap para narapidana lainnya (yang sebelumnya sudah memperoleh remisi dan pembebasan bersyarat), dapat dipahami sebagai suatu bentuk pertanggung jawaban moral dari seorang Menkumham. Putusan peradilan barulah benar-benar dapat dikatakan sebagai yurisprudensi, apabila putusan tersebut telah melalui tahapan pengujian yang berulang-ulang sampai pada tahapan peradilan kasasi, yang diikuti dengan tahapan pengkajian ilmiah secara ketat. Sedangkan dalam hal akan berdampak sistemik atau tidak kepada narapidana yang lainnya, justru tergantung pada pertimbangan professional yang ketat dari Menkumham berdasarkan diskresi yang melekat pada jabatannya.

Akhirnya, makna yang terpenting dari kontroversi KPRPB ini adalah perlunya pembenahan peraturan perundang-undangan secara menyeluruh dengan melibatkan DPR guna melakukan perbaikan-perbaikan terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan atau dengan membuat peraturan-peraturan yang belum ada. Selain itu, sifat kenegarawanan yang ditunjukkan oleh Kemenkumham dan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menjangkau nasib kedaulatan hukum bangsanya di masa depan, perlu ditiru oleh para anggota DPR. Bukannya malah mengkonsolidasikan kekuatan untuk melakukan hak interpelasi terhadap KPRPB, karena dengan bersikap seperti itu justru akan menunjukkan tindakan para anggota DPR didasari kepentingan yang sempit dan mengabaikan rasa keadilan masyarakat, mengingat permasalahan hukum di hilir justru tidak dapat dilepaskan dari permasalahan di hulu.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun