Sebuah pesan singkat saya ketik di ponsel. Isinya tak panjang amat. Sekadar bertanya ihwal kabar. Agak lama menanti, balasan pesan singkat masuk ke ponsel saya. Jawabannya masih terasa formal. Lalu, saya ketikkan pesan singkat berikutnya. Setidaknya, tiga kali kami saling berbalas pesan. Akhirnya, di pesan singkat keempat, barulah saya ungkap lebih jauh soal identitas diri saya, seraya bertanya apakah dia masih mengingat saya.
Maaf, saya harus sedikit memutar memori, mengingat kapan persisnya peristiwa itu terjadi. Jika saya tak keliru, kejadiannya pada medio 2008 silam. Setelah orang tersebut menerima pesan singkat keempat saya, ponsel saya pun berdering. Lalu, terdengarlah suaranya yang seingat saya masih tak berubah dari yang saya kenal sekian tahun silam, ketika kami masih sama-sama sering bertukar gagasan, bahkan beradu argumen. Saat kami masih sama-sama memperjuangkan demokrasi. Saat kami masih berstatus sebagai mahasiswa.
Suaranya yang agak sedikit berat, diiringi tawa yang terdengar renyah, menyapa saya hangat. Dia berkata, tak mengira bisa bertegur sapa dan bertanya kabar dengan cara seperti ini. Saya sampaikan bahwa saya mendapat nomor ponselnya dari seorang kawan.
Pertemanan kami pun terjalin kembali, setelah sempat beberapa tahun tak saling bercakap. Saya hanya tahu bahwa sahabat saya tersebut sudah menjadi seorang petinggi di sebuah perguruan tinggi swasta top di Jakarta. Ya, kawan saya itu adalah Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina.
Pada awal 1990-an, kami saling kenal. Mulanya adalah kunjungan para aktivis Universitas Gajah Mada (UGM) ke Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada masa demokrasi masih dikekap oleh rezim Soeharto, pertukaran gagasan para aktivis kampus terpaksa kami jalani secara sembunyi. Lain waktu, kami dari Bandung yang berkunjung ke Yogya.
Namun, seiring waktu, persahabatan saya dengan Anies Baswedan pun hilang begitu saja. Selintas, saya hanya mendengar kabar bahwa dia menuntut ilmu ke Amerika Serikat. Sedangkan saya, usai menyelesaikan kuliah di ITB, sudah berkutat dengan pekerjaan sebagai jurnalis di Jakarta. Sampai akhirnya pada 2007 saya tahu bahwa Anies Baswedan terpilih menjadi Rektor Universitas Paramadina. Usianya saat itu baru 38 tahun. Dan, Anies adalah rektor termuda di seluruh Indonesia!
Pesan singkatlah yang akhirnya mempertemukan kami kembali. Saya pun berkunjung ke kantornya di Paramadina, bertukar cerita. Anies tak banyak berubah. Masih seperti ketika mahasiswa dulu. Begitu pun pemikiran dan gagasannya tentang kebangsaan. Ketika itu, dia mengatakan kepada saya bahwa jalan hidup menuntunnya menjadi seorang pendidik, ketimbang berkiprah sebagai seorang aktivis pergerakan. Saya tak menyalahi pilihannya. Saya tahu, jika keyakinan yang membimbing langkahnya, maka Anies akan mengambil jalan itu. Meski penuh liku.
Sampai akhirnya tibalah tahun 2009. Bulannya Juni. Komisi Pemilihan Umum mendapuk Anies menjadi moderator debat Calon Presiden. Stasiun televisi tempat saya bekerja ketempuhan yang pertama menyiarkan debat tersebut. Sebelum debat dimulai, Anies mengajak saya berdiskusi ihwal pertanyaan yang sudah dia susun untuk para capres. Bayangkan, saya yang bukan siapa-siapa, masih dia mintakan pendapat. Di sebuah ruangan di lantai 5 gedung tempat saya bekerja, kami mengurung diri, saling bertukar gagasan.
Sebagai moderator, dengan tenang Anies menguasai panggung. Tanpa canggung. Bahkan, ketika seorang tim sukses salah satu capres secara berkelakar bertanya kepada Anies soal pertanyaan berikut usai break, dengan gaya santai Anies berkata, “Wah. Saya bisa dimarahi Teguh kalau membocorkan pertanyaan”.
Begitulah sosok Anies Baswedan yang saya kenal. Untuk melihat Anies, pandanglah dia sebagai sosok yang bersahaja. Sebagai seorang Rektor Universitas Paramadina, kendaraan Anies hanyalah sebuah Kijang Innova. Bahkan, yang saya dengar, sampai kini mobil warna hitam itu masih dia pakai. Saya juga tahu bahwa sampai kini Anies masih mengontrak rumah di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Anies juga seorang yang tak sungkan dikritik. Saya pernah menyampaikan kepadanya agar menggunakan bahasa yang lebih awam bila berkomunikasi, baik secara verbal maupun tulisan. Latar belakangnya sebagai akademisi memang bisa membuat cara komunikasi Anies agak “ketinggian”. Dan, rasanya Anies mengamini saran saya. Buktinya, sebuah artikelnya yang luar biasa di Kompas, 11 September 2011, begitu bernas, jernih, dan berkelas. Judul tulisannya membuat saya tergetar: “Ini Soal Tenun Kebangsaan. Titik!”.
Anies adalah sosok yang sangat menjaga pertemanan. Jika yang memintanya adalah seorang kawan, amat segan dia menolak. Ketika saya masih memegang sebuah program talkshow, saya minta tim saya untuk menghubungi Anies, agar bersedia menjadi narasumber. Kami akan mewawancarainya di Paramadina. Rupanya, Anies saat itu sedang tak berkehendak. Alasannya, dia mau istirahat dulu dari hiruk-pikuk dunia politik, tempat Anies tak pernah bersinggungan langsung, kecuali sebatas menjadi pengamat.
Saya tak punya pilihan selain Anies. Bagi saya, pengamatannya soal politik amat jernih. Banyak pemikiran tak terduga yang muncul dari Anies. Akhirnya, saya putuskan untuk langsung menghubunginya. Dan, sesuai keyakinan saya, jika seorang kawannya yang meminta, Anies sungkan menolak.
Beberapa bulan silam, saya agak terkejut mendengar kabar Anies bersedia mengikuti Konvensi Calon Presiden sebuah parpol. Awalnya, saya agak meragukan pilihan Anies ikut bertarung. Bukan apa-apa. Parpol bersangkutan tengah terpuruk oleh berbagai kasus korupsi. Namun, seperti ketika Anies memutuskan pilihannya untuk menjadi pendidik, akhirnya saya pun bisa mafhum atas pilihannya. Maka, tak ada cara lain bagi saya, kecuali menyampaikan dukungan kepada Anies.
Amat sayang rasanya jika orang sekaliber Anies Baswedan harus tersia-siakan oleh negeri ini. Yang bakal merugi adalah seluruh anak bangsa. Ketika dunia pendidikan karut marut oleh banyak hal, Anies singsingkan lengan bajunya. Dia ajak pemuda turun ke pelosok, menjadi guru. Banyak yang tergerak oleh inisiatif Anies melalui Gerakan Indonesia Mengajar. Bahkan, seorang kawan yang berpenghasilan ribuan dollar Amerika Serikat per bulan dari hasil kerjanya di pengeboran minyak di sebuah negara Timur Tengah, rela meninggalkan kenyamanannya. Kawan tersebut pergi ke sudut sebuah desa di Sulawesi, menjadi seorang guru.
Bertarung pada Konvensi Capres Demokrat, Anies juga mampu menggerakkan banyak orang. Gerakan Turun Tangan yang dia gagas, relawannya kini sudah lebih dari 20 ribu orang. Hebatnya lagi, mereka sepenuh hati mendukung Anies, tanpa dibayar seperak pun.
Rasanya, tak banyak yang mampu menggerakkan orang untuk menyingsingkan lengan baju, demi Indonesia yang lebih baik. Dan, salah seorangnya adalah Anies Baswedan. Kini, dia pun saya yakini sudah siap meninggalkan zona nyamannya. Dia bersedia turun tangan. Dan, keyakinanlah yang niscaya akan membawa Anies rela berkubang: merajut tenun kebangsaan yang sudah mulai terkoyak!***
Catatan:
1. Dengan seizin Anies, judul tulisan saya ini mencuplik judul tulisan Anies pada Kompas, 11 September 2011
2. Tulisan ini sudah pernah dimuat pada Koran Turun Tangan (dedicated newspaper dalam rangka Konvensi Capres Demokrat)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H