DARI rentetan kegelapan dalam dunia hukum negeri ini, kita hanya mengingatkan untuk kembali ke satu titik: introspeksi! Ya, baik yang bersifat perseorangan maupun kelembagaan. Sumber dari segala sumber munculnya masalah adalah mentalitas tamak materi dan kekuasaan, yang mendorong orang — dengan memanfaatkan kekuatan institusinya — untuk berpikir, bertindak, dan menjustifikasi semua perilakunya. Semua bergerak menjauh dari tujuan berhukum, yakni menggali dan memancarkan rasa keadilan rakyat.
Kalau tidak ada ketamakan perseorangan, dengan berbaju kekuasaannya, akankah kemelut hukum dan politik terjadi seperti sekarang ini terjadi? Jika tidak ada kerakusan individu-individu yang bertameng lembaga, beranikah seorang Setya Novanto memainkan perannya? Jika tidak melihat pemanggungan kekuasaan dengan aktor-aktor pemegang peran yang bersikap arogan, akankah rakyat merasa tersinggung, rasa keadilannya tercederai, lalu secara masif bergerak untuk memperjuangkan hak dan aspirasinya?
Titik-titik pemikiran demikian itulah yang mestinya menggiring para pemegang kekuasaan untuk mawas diri. Kita tetap menggarisbawahi statemen Romo Beni Susatyo, janganlah mengabaikan kekuatan pengadilan rakyat. Media sosail telah menjelma menjadi peradaban baru. Jika berani melawan kehendak rakyat, maka peradaban media sosial akan melibas anda. Jadi kita memang butuh kearifan dalam membaca tanda-tanda. Mengapa rakyat marah? Mengapa sampai muncul distrust dan mistrust? Apakah karena opini publik yang dikemas oleh media massa, mobilisasi suara rakyat, media sosial atau apa? Apa boleh buat: karena kita tidak pernah mau berintrospeksi, karena kita tidak mau membuka topeng yang menutupi kebopengan wajah kita sendiri, wajah kita semua.
Maka pergulatan kekuasaan yang dahsyat pun berlangsung. Hampir setiap ekspresi yang tercetus ke publik luas - ide-ide, karya seni - pun mau tak mau terkait, atau mengkaitkan diri, atau dikait-kaitkan, dengan pergulatan
besar itu. Suasana permusuhan begitu pahit dan begitu mencemaskan...
Teringat Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesia—yang tak punya kelas borjuasi yang kuat—revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap ”borjuis” dan ”demokratis”; kedua, baru setelah itu, ”tahap sosialis”.
Bagi Trotsky, di negeri yang ”setengah-feodal dan setengah-kolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, ”tahap sosialis”.
Kekuasaan selalu membutuhkan introspeksi agar tidak bergerak seperti alur tesis visioner Trotsky, ”Power tends to corrupt, absolutely power corrupt absolutely...” Kita mudah mengucap sumpah atas nama Tuhan bahwa semua kita dedikasikan dengan ketulusan dunia-akhirat. Nurani kita sendiri mungkin miris mendengar mulut kita dengan ringan mengucap nama Tuhan.
Sekali lagi, Tuan-tuan, introspeksi merupakan langkah paling bijak untuk menilai seperti apa wajah kita di balik topeng-topeng yang kita kenakan. tabik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H