Genderang perang dalam Pilkada DKI Jakarta putaran kedua semakin memanas. Beragam aksi dan sikap politik mewarnainya. Bahkan hingga menyangkut isu SARA peredaran spanduk dan pelarangan untuk mensholati jenazah pendukung salah satu paslon.Untuk itu di harap semua pihak mampu menahan diri dan mengedepankan kepentingan bangsa.
Demikian di sampaikan KH. Ahmad Zahari, khatib syuriah  PWNU DKI Jakarta, Kamis 30 Maret 2017 saat di temui usai kegiatan diskusi "kepemimpinan dalam islam" yang di gelar oleh komunitas IRMA di posko kemuning, pegangsaan dua, Menteng. Ia mengimbau agar masyarakat memilih pemimpin sesuai dengan keinginan hatinya dan bukan berdasarkan desakan atau anjuran siapapun.
"(PWNU) Mengimbau untuk memilih semua, siapa saja yang disenengin coblos," kata Ahmad Azhari ketika memberikan keterangan.
Sementara itu, terkait persoalan agama yang kerap dimainkan dalam Pilkada DKI Jakarta, ia hanya meyakini bahwa ajaran agama selalu menganjurkan pada kebaikan. Tetapi, harus dipisahkan dengan pilihan pemimpin. Sebab, persoalan pilihan tergantung dari setiap individu masing-masing.
"Tergantung individunya. Kalau agama menganjurkan untuk kebaikan ya ikutilah, kan begitu saja," ungkapnya.
Sedangkan terkait tempat ibadah yang di jadikan sebagai ajang kampanye dan menyerang mereka yang berbeda penafsiran dalam kebolehan memilih pemimpin non muslim, Â ia mengingatkan bahwa rumah ibadah adalah tempat umum sehingga tidak sebaiknya digunakan sebagai sarana melakukan orasi politik, terlebih khutbah keagamaan yang bersifat takfiri dan bernada kebencian,
"Masjid adalah untuk rumah bersama, siapa saja tidak hanya untuk satu pengikut calon gubernur atau cawagub atau presiden atau bupati. Kalau dalam masjid mestinya umum-umum saja (khotbah) karena tidak hanya satu orang, satu kelompok. Khutbah keagamaan jangan jadi alat kampanye kebencian untuk yang berbeda" himbaunya.
Sebagaimana diketahui, permainan politik identitas yang berbau agama mewarnai berjalannya Pilkada DKI. Sebut saja, belum lama ini terpasang spanduk bernada provokatif yang secara tidak langsung membuat masyarakat Jakarta tidak memilih pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur tertentu.
Senada, DR Syafieq Hasyim intelektual muda NU dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa kepemimpinan agama tidak sama dengan kepemimpinan politik.
"Kepemimpimpinan (politik) tidak bisa disamakan dengan kepemimpinan agama. Â Tugas pemimpin adalah menegakkan keadilan sosial. Tidak bisa disandera dengan kepentingan primordial," kata Gus Syafieq yang saat ini menjabat sebagai ketua LPTNU PBNU
Syafieq meminta masyarakat tidak mendasarkan pilihan calon pemimpin dengan dasar agamanya dalam pilkada DKI Jakarta. Yang harus kita junjung, adalah norma keadilan.