Mohon tunggu...
Teguh puryanto
Teguh puryanto Mohon Tunggu... -

Jurnalis, penyuka sejarah

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Ki Ageng Mangir, Gong Gumbeng dan Sungai di Balik Punggung Kita

24 Desember 2015   11:21 Diperbarui: 24 Desember 2015   11:21 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pertempuran memperebutkan tanah metaok di kaki bukit merapi, Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan dan patih Janurwendo mengalami kekalahan parah dari musuhnya Ki Ageng mangir. Demi selembar nyawa dan harapan bertiga mereka melarikan diri. Dalam pelarian mereka beristirahat di bukit tak jauh dari sebuah telaga.

Tiba-tiba sebuah suara berbisik bahwa jika Ki Ageng Mangir ingin terbunuh, maka Senopati harus mengorbankan putri sulungnya, Angkrong Sekar Pembayun untuk menjadi tledek, dan Ki Ageng Pemanahan disuruh membuat Gong Gumbeng untuk pergi ke Merapi. Bahannya dari bambu wulung, angklungnya 12 serta kendang dan gong bonjor.

Konon, seluruh kesaktian Ki Ageng Mangir hilang setelah menikahi tledek yang tak lain adalah Angkrong Sekar Pembayun. Pada akhirnya Ki Ageng mangir dibunuh oleh mertuanya, ketika mengantarkan istri dan anaknya ke Keraton Mataram.

Nan jauh dari alas mentauk, akhirnya gong gumbeng mengembara hingga ke bumi Wengker di bawa oleh eyang Irobiri, seniman Mataram yang mengungsi desa Wringinanom, Sambit, Kabupaten Ponorogo.

Bagi penduduk desa Wringinanom, Sambit, Gong Gumbeng ini sudah tidak asing serta dianggap bernuansa magis pada masa silam. Kesenian ini telah ada di daerah tersebut sejak ratusan tahun yang lalu, tepatnya tahun 1837 M. Kesenian Gong Gumbeng ini harus dimainkan minimal satu tahun sekali dalam acara puncak bersih desa yang biasa dilaksanakan pada hari Jum’at terakhir bulan Sela atau Dzul Qo’dah dalam kalender hijriyah.

Tradisi ini sudah turun temurun sejak kepemimpinan Demang Anggoduwo. Upacara puncak bersih desa ini diadakan di Telaga Matilirejo dusun Banyuripan. Mata air yang menghidupi aliran sungai di desa itu.  Sebelum acara puncak, biasanya diadakan ritual penyembelihan kambing dan kenduri di dua tempat yang dianggap keramat yaitu di sumber tambang dan di Jatoroso.

Lagi-lagi masyarakat mempunyai cara unik menjaga mata air dan sungai. Indonesia memiliki sedikitnya 5.590 sungai utama dan 65.017 anak sungai. Dengan panjang total sungai utama mencapai 94.573 km dan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) mencapai 1.512.466 km2. Selain mempunyai fungsi hidrologis, sungai juga mempunyai peran dalam menjaga keanekaragaman hayat, nilai ekonomi, budaya, transportasi, pariwisata dan lainnya. Menjadi penting bagi kita untuk selalu menjaga dan memperhatikan sungai.

Sehingga 5.590 sungai utama dan 65.017 anak sungai di Indonesia tidak lagi mendatangkan bencana buat kita semua. Justru sebaliknya, sungai-sungai tersebut membawa manfaat dan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia.

Sebelum terjadi perubahan-perubahan pada permukaan bumi karena ulah manusia. Sungai pernah menjadi berkah bumi sebagai sarana transportasi yang menggerakkan kendaraan. Meski saat ini sungai masih menjadi sarana transportasi juga di berbagai wilayah tanah air. Sungai menjadi saksi awal peradaban dimana ketersediaan air menjadi nadi utama kehidupan manusia.

Masyarakat Mesir membangun pemukiman sepanjang sungai Nil, masyarakat India memuliakan dan membangun peradaban sepanjang sungai Gangga. Masyarakat China sangat bergantung pada sungai Kuning (Hwang Ho). Sepanjang sungai Euphrat dan Tigris bangsa-bangsa yang dilewatinya memanfaatkan optimal untuk pemenuhan hajat kehidupan. Begitu halnya dengan Amazon di Amerika Selatan dan Rhein di daratan Eropa.

Di Tanah-Air, kerajaan-kerajaan besar masa lalu juga membangun peradaban di sekitar muara sungai seperti Srwijaya di muara sungai Musi, Majapahit di antara bengawan Solo dan sungai Brantas, dan berbagai kota-kota besa modern lain banyak yang tumbuh berkembag di kawasan daerah airan sungai seperti Banda Aceh, Jambi, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, Kutai Kertanegara, Samarinda, Pallu dan sebagainya, temasuk Jakarta yang dulu dikenal dengan nama Batavia mengambil muara sungai Ciliwung sebagai lokus awal membangun kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun