Sejak kelahirannya, Islam telah berkembang melintasi waktu yang panjang dan menjangkau ruang-ruang yang jauh. Tidak terelakkan, perbedaan ruang dan waktu itu memengaruhi corak interpretasi, baik metodologi maupun hasilnya. Kalangan ulama yang rāsikh umumnya cukup toleran dan akomodatif terhadap perbedaan interpretasi, setajam apa pun, sepanjang hanya pada tataran furuk (cabang).
Jadi, menurut hemat saya, penolakan terhadap "ajaran baru" itu sah-sah saja. Yang perlu dikelola secara arif ialah modus penolakannya. Jika penolakannya cukup diekspresikan dengan tidak hadir di forum dakwah "ajaran baru" itu, kiranya dunia akan tetap damai dan tenteram. Lain halnya jika penolakannya dimanifestasikan dengan mengalangi kehadiran pendakwah di lokasi tertentu, niscaya akan pecah konflik antarjemaah pemeluk agama yang sama.
Memberikan kesempatan kepada pendakwah "ajaran baru" menjalankan misinya di tengah-tengah komunitas yang mayoritas pengikut "ajaran lama" memang menuntut sikap terbuka dan legawa. Sikap toleran ini mudah ditumbuhkan jika tidak ada pihak yang mendaku sebagai pemilik wilayah dakwah dan penguasa objek dakwah di lingkungannya.
Bukankah dahulu nabi-nabi kepercayaan Tuhan juga diutus di tengah-tengah masyarakat yang sudah memegang "agama" secara turun-temurun?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H