Menarik menyimak berita yang dirilis serambi Indonesia (2/10/15) yang berjudul “Qanun Aceh di Gugat ke MA”. Dalam berita tersebut dikutip pernyataan Supriyadi Widodo Supriyono, CEO dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menjelaskan bahwa ada beberapa alasan yang menyebabkan qanun tersebut harus dijudical review ke Mahkamah Agung. Pertama Supriady mendakwa bahwa qanun tersebut menyasar kelompok rentan yang secara spesifik disebut yaitu anak, perempuan, dan LGBT. Seharusnya menurut Supriyadi qanun ini mengisi kekosongan ketentuan yang ada dalam KUHP, bukan menciptakan aturan baru yang menurut Supriady bertentangan dengan KUHP.
Kedua, Supriady juga mempermasalahkan subtansi pemidanaan qanun jinayah yang diklaim merendahkan martabat manusia. Lebih lanjut jelasnya hal tersebut disebabkan karna menggunakan corporal punishment yang menurutnya disamakan dengan cambuk. Hukuman cambuk juga diklaim bertetangan dengan system sanksi dalam KUHP. Serta jumlah uqubat ta’zir yang menurutnya terlalu besar jumlahnya.
Ketiga, Qanun Jinayah dianggap akan memicu atau berpeluang memunculkan fair trial bagi tersangka dan terdakwa karna menurutnya dilihat jika dilihat dari sisi implementasi qanun tersebut bersifat selektif, diskriminatif, serta tidak sesuai dengan hukum acara berdasarkan standard KUHP. Sehingga berdasarkan alasan-alasan tersebut Supriyadi mengkhawatirkan jika kemudian qanun jinayah ini akan menjadi persoalan baru dalam system hukum Indonesia, baik dari sisi system, serta isu pidana dan HAM. kejanggalan yang dipaparkan Supriyadi tersebutlah yang membuat ICRS dan SP (Solidaritas Perempuan) inging menguji materil qanun ini.
Namun penulis dalam hal ini tidak setuju dengan apa yang didakwakan oleh Supriadi. Penulis melihat Supriadi memahami fenomena qanun Jinayah atau “acara jinayah” terlalu subjektif, dan kurang mempertimbangkan aspek lain dalam berargumentasi. Padahal pada hakikatnya hukum yang baik adalah hukum yang hidup atau bisa hidup dalam masyarakat, dan untuk dapat hidup serta berjalan dalam masyarakat sudah selayaknya hukum tersebut digali dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. sehingga aspek sosiologis antropologis seharusnya mutlak harus menjadi pertimbangan Supiyady dalam menilai.
Qanun jinayah pada hakikatnya adalah bentuk dari respon pemerintah dalam mengakomodasi perjuangan masyarakat Aceh yang salah satu tujuannya adalah menginginkan berjalannya Syariat Islam secara kaffah di Aceh. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat salah satu butir MOU Helsinki yang merupakan representasi maksud dan tujuan perjuangan bangsa Aceh selama bertahun-tahun. Tepatnya dalam pasal 1.1.2, poin (a) disebutkan “Aceh will exercise authority within all sectors of public affairs, Which will be administered in conjunction with its civil and judicial administration. Except in the fields of foreign affairs, external defence, national security, monetary and fiscal matters, justice and freedom of religion, the policies of which belong to the government of the Republic of Indonesia in conformity with the constitution” dikuatkan juga oleh pasal 1.1.6 yang menyebutkan bahwa “Kanun Aceh will be re-established for Aceh respecting the historical traditions and customs of the people of Aceh and reflecting contemporary legal requirements of Aceh”.Perjanjian ini kemudian dipositifkan dalam bentuk undang-undang, yaitu undang-undang no. 11 tahun 2006 dikenal dengan undang-undang Pemerintahan Aceh yang merupakan produk hukum yang diakui secara legal di negara kesatuan Republik Indonesia.
Dalam UU tersebut, terdapat pasal yang secara khusus membahas mengenai hal ini yaitu bab XVII, pasal 125, ayat (1), (2), dan (3). Bahkan jika qanun jinayah tidak di munculkan atau dilahirkan maka hal tersebut justru menjadi perbuatan melanggar hukum karena tidak menjalankan apa yang telah di perintahkan oleh undang-undang.
Dilihat dari sisi konstitusional pun, qanun tersebut secara spesifik. Tidak melanggar norma-norma umum yang telah diatur dalam UUD, bahkan UUD melegitimasi qanun tersebut hal ini terlihat jelas terutama dalam pasal 18B ayat (1) dan ayat (2) mengenai satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus, juga didukung oleh Pasal 28I ayat (3) mengenai identitas budaya dan masyarakat tradisional. Serta pasal 32, ayat (1) mengenai kebudayaan nasional.
Jika kemudian Supriyadi mengarahkan pemikiran bahwa qanun Jinayah ini melanggar KUHP atau membandingkan qanun jinayah dengan KUHP. Hal ini sungguh-sungguh naïf. Mengingat qanun jinayah adalah instrument hukum khusus yang hanya berlaku di Aceh disebabkan karna perintah undang-undang, serta dilegitimasi oleh undang-undang dasar sehingga qaidah hukum “lex spesialis derogate legi generali” berlaku. Selain itu didalam qanun ini secara subtantif termuat azas personalitas ke-Islaman, dan azas territorial. Sehingga tidak akan menjerat non-Muslim yang tinggal di Aceh kecuali jika dia memilihnya sendiri, maupun Muslim namun tidak tinggal di wilayah Aceh.
Dalam tataran implementasi qanun jinayah ini pun menggunakan hukum acara sendiri yang juga telah disahkan oleh DPRA pada tanggal 13 Desember 2013 lalu sehingga tidak ada permasalahan dalam tataran implementasi, yang menjadi masalah adalah jika kemudian qanun jinayah ini dijalankan dengan KUHAP yang tidak mengenal system sanksi yang disebutkan dalam hukum jinayah.
Dari sisi materi hukum, sebenarnya juga tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari keberadaan qanun ini. Dakwaan Supriyadi yang menyatakan bahwa qanun ini menyasar kelompok minoritas serta melanggar norma hak asasi manusia adalah anggapan kosong yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Materi qanun sejauh pengamatan penulis tidak ditemukan adanya pasal yang hanya secara spesifik mengeker kepada wanita dan anak-anak seperti yang dituduhkan Supriadi.
Adapun dakwaan melanggar HAM juga tidak tepat untuk disematkan terhadap materi qanun jinayah ini disebabkan sebuah hukuman yang dibebankan kepada seseorang yang telah melalui proses hukum yang fair maka hal tersebut dianggap tidak melanggar HAM. disisi lain harus dipahami bahwa HAM secara umum dibagi menjadi dua, ada yang disebut HAM universal dan ada yang disebut dengan HAM partikuler.