politik sepertinya merupakan hal yang sulit dilakukan di negeri ini. Hampir setiap menjelang pemilu pasti ada saja isu-isu yang muncul terkait pihak-pihak yang turut berkontestasi di dalamnya. Sejak Indonesia mulai memberlakukan pemilihan langsung pada tahun 1955, rakyat dapat berkontribusi dalam menentukan masa depan bangsa melalui suara yang diberikan lewat pemilu, baik itu pemilihan umum eksekutif maupun pemilihan umum legislatif.
Menjaga situasi agar tetap kondusif dan damai menjelang tahunNamun sistem pemilihan langsung yang dikenal dengan nama pemilu (pemilihan umum) ini ternyata menyisakan masalah yang terus diturunkan hingga hari ini. Timbulnya politik uang, politik identitas, kecurangan dalam pemilu, saling serang antara peserta pemilu menggunakan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), hingga korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), masih saja terus terjadi secara bergiliran. Masing-masing tahun politik memiliki kekhasannya masing-masing beserta isu-isu yang melekat padanya.Â
Masyarakat tentu sudah tidak ingin lagi melihat timbulnya rivalitas politik yang meruncing saat diselenggarakannya pemilihan umum (pemilu), baik itu sebelum pelaksanaan maupun sesudahnya. Kita masih ingat rivalitas cebong versus kampret yang mewarnai pemilihan presiden (pilpres) tahun 2014 dan muncul kembali pada kontestasi berikutnya, yaitu pada tahun 2019. Saling serang pun terjadi antara pendukung masing-masing capres dan cawapres. Saat itu pun mulai banyak muncul isu-isu yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya (hoaks) yang digunakan sebagai alat politik untuk saling menjatuhkan satu dengan yang lainnya. Tujuan adalah untuk mengikis kepercayaan masyarakat terhadap salah satu pasangan calon (paslon) sehingga diharapkan suara-suara masyarakat tersebut mengalir ke salah satu paslon lainnya.
Selain itu, peristiwa politik besar lainnya yang turut banyak menyita perhatian masyarakat di tanah air adalah pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017 antara Ahok-Djarot vs Anies-Sandi. Pada masa itu tensi politik di tanah air meningkat karena timbulnya dugaan praktik-praktik politik identitas yang berujung demonstrasi besar-besaran yang kita kenal dengan Aksi 212. Saat itu Calon Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dinilai melakukan tindakan penodaan agama sehingga dirinya terpaksa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di mata hukum. Dengan tekanan situasi politik yang sudah sulit dikendalikan, akhirnya aparat penegak hukum memutuskan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus menjalani hukuman penjara akibat perbuatannya.
Pemilu 2024 sudah semakin dekat. Isu-isu politik yang akan mewarnai kontestasi pilpres 2024 sudah mulai tampak dan mulai jadi perhatian masyarakat dan media-media di Indonesia. Isu itu semakin menguat ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan terkait batas usia pencalonan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Putusan MK tersebut dinilai sebagian kalangan dapat memuluskan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka, untuk ikut berkontestasi dalam pemilihan presiden dan calon presiden tahun 2024. Sebagian kalangan ada yang menilai bahwa Presiden Jokowi telah melakukan praktik politik dinasti. Sebetulnya isu tersebut sudah muncul sejak Gibran Rakabuming Raka masih menjabat sebagai Wali Kota Solo. Isu tersebut semakin menguat ketika ketika keluarga Presiden Jokowi banyak yang mengikuti jejaknya terjun ke dunia politik.
Dengan dicalonkannya Gibran sebagai calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto, hal itu semakin menarik  ke permukaan isu politik dinasti yang dinilai dilakukan oleh Presiden Jokowi. Namun, apakah tepat jika isu tersebut dikaitkan dengan seseorang yang berkontestasi dalam politik melalui cara-cara yang dikehendaki konstitusi. Hal tersebut tentu akan menjadi pertanyaan besar yang tidak boleh dijawab secara sembarangan dan hanya menggunakan sudut pandang sebagian pihak. Dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: www.mkri.id, bahwa politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih identik dengan kerajaan. sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun temurun dari ayah kepada anak. agar kekuasaan akan tetap berada di lingkaran keluarga.
Jika kita merujuk pada definisi tersebut, secara sekilas memang tampak yang dilakukan oleh Presiden Jokowi adalah tindakan politik dinasti karena ada sebagian anggota keluarganya yang menduduki jabatan publik dalam pemerintahan. Namun, jika dikaji lebih dalam kondisi tersebut menjadi tidak relevan karena anggota keluarga Presiden Jokowi yang terjun ke dalam dunia politik telah mengikuti prosedur sesuai kehendak konstitusi dan dipilih secara langsung oleh rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Artinya, rakyat telah menyerahkan kedaulatannya melalui suara yang diserahkan melalui pemilihan umum secara langsung, tanpa ada unsur paksaan dan tekanan dari pihak manapun. Rakyat tentu bebas menentukan pilihan sesuai dengan hati nuraninya. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi, rakyat juga tidak akan mudah untuk dibodohi ataupun digiring dengan mudah oleh pihak-pihak tertentu.
Kemudian tuduhan politik dinasti tersebut semakin tidak relevan, karena dalam definisi di atas, dikatakan bahwa politik dinasti itu identik dengan kerajaan. Seperti yang umum diketahui bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi yang menekankan kepada kedaulatan rakyat. Pemimpin yang dilantik di negara demokrasi adalah pemimpin yang dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab secara langsung kepada rakyat. Pemimpin di negara demokrasi juga tidak bisa menunjuk anggota keluarganya untuk menduduki jabatan publik tanpa kehendak rakyat. Kata-kata politik dinasti sangat tidak relevan apabila dikaitkan dengan kondisi keluarga presiden yang sebagian anggota keluarganya menduduki jabatan publik dalam pemerintahan. Keluarga politik akan lebih tepat untuk mendefinisikan kondisi sebuah keluarga yang sebagian besar anggota keluarganya berprofesi sebagai politisi (pejabat pemerintahan) baik di ranah eksekutif maupun legislatif.
Jika kita ambil contoh lain, misalnya ada sebuah keluarga yang mayoritas anggota keluarganya berprofesi sebagai kuli bangunan, apakah keluarga tersebut disebut sebagai dinasti kuli bangunan? Atau ketika dalam sebuah keluarga mayoritas anggota keluarganya bekerja sebagai petani, apakah keluarga tersebut disebut sebagai dinasti petani? Kemudian juga kepala keluarganya dapat disebut sebagai pihak yang melakukan tindakan dinasti? Jawabannya tentu tidak, karena setiap orang sebagai individu memiliki kehendaknya masing-masing sesuai jalan hidup yang dipilihnya. Maka jika ada sebuah keluarga yang mayoritas anggotanya menjadi politisi, itu merupakan hal yang sah-sah saja sepanjang jabatan yang diperolehnya diraih dengan cara-cara yang sesuai dengan kehendak konstitusi dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku.
Dengan demikian, marilah kita menilai kondisi politik yang terjadi di tanah air secara komprehensif dan tidak melihatnya hanya dari bagian permukaan saja. Sebelum melakukan penilaian, sebaiknya cari tahu terlebih dahulu informasi yang lengkap dan terpercaya. Dengarkanlah pendapat dari pihak-pihak yang netral sebagai bahan masukan untuk memikirkan penilaian yang akan diberikan. Menjelang tahun politik ini, mari belajar untuk tidak mengulangi situasi-situasi yang menimbulkan permusuhan, perselisihan, perpecahan antarmasyarakat yang dapat  mengganggu stabilitas politik di tanah air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H