Mohon tunggu...
Teguh Ari Prianto
Teguh Ari Prianto Mohon Tunggu... Penulis - -

Kabar Terbaru

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Separatis (50k)

27 Januari 2011   04:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:09 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Namaku Jefery. Begitu orang-orang memanggilku selama ini. Kulitku putih. Berbeda dengan orang-orang yang hidup denganku selama ini. Mereka hitam. Aku adalah anak keturunan luar kampung adat ini. Secara pasti darimana, tak ada orang yang bisa membantuku menelusuri asal sejarahku. Saat aku bayi, aku ditemukan dalam sebuah reruntuhan rumah yang hampir ludes terbakar. Aku dan keluargaku adalah korban perang sipil militer yang kerap terjadi di tempat ini hingga sekarang.

Edward, bapak angkatku, Dia juga hitam. Aku saksikan dia mati ditembak tentara. Edward telah dicurigai sebagai salah satu kawanan pemberontak negara. “Separatis”,begitu kata yang diperdengarkan tentara itu pada Edward sebelum butir peluru panas menembus jantung dan kepalanya. Ya, Peluru yang meluncur dari moncong senapan laras panjang yang menempel di dada dan di pelipis Edward. Nyawanya lepas seketika itu.

Selama hidup bersama dengannya, Edward belum banyak bercerita tentang keberadaan diriku. Saat itu aku tidak merasa penting dengan asal sejarahku. Berbeda dengan halnya sekarang, dengan keras aku mencoba terus menelusuri semua itu. Tetapi tak ada lagi orang yang bisa mengetahuinya selain Edward. Aku selalu sangat berhutang budi kepada Edward selama hidupku. Sejak kematiannya, aku hidup dengan sebuah keluarga baru, Daniel.

Aku belajar banyak dari keluarga Daniel bagaimana cara bertahan hidup di pedalaman hutan. Dengan tekun Daniel mengajariku memanah, menangkap hewan buruan sampai memelihara babi, hewan yang paling mereka banggakan selama ini. Tidak ada perlakuan membeda-bedakan yang dilakukan Daniel dalam membesarkan aku dan anak-anak kandungnya. Keadaan alam yang ganas membuat fisikku sangat kuat. Tumbuh dan besar sampai saat ini.

Usiaku kini 16 tahun. Aku sudah mahir memanah atau menggunakan alat-alat lain yang biasa dipakai berburu. Hidup di tanah ini cukup sederhana. Asalkan ada babi untuk disantap atau ubi untuk dibakar, hatiku sudah cukup tenang.

“Jefery, sudah tumbuhkah ubi yang kau tanam?” tanya Daniel pada suatu hari. “Sudah, Bapak! Kuncup daun baru sudah mulai muncul di tangkai pohon ubi yang kutanam!” kata Jefery. “Bagus, kau sudah bisa bercocok tanam!” kata Daniel. “Iya, Bapak, berkat Bapak!” kata Jefery.

Pembicaraan yang hangat siang itu didalam rumah gubuk ditengah hutan.“Bapak, boleh aku bertanya sesuatu kepadamu?” tanya Jefery. “Kau mau tanya apa, tanyalah!” Kata Daniel. “Bapak, aku ingat Edward!” Jefery menoleh ke wajah Daniel. “Edward sudah mati, tak usah kau ingat-ingat lagi!” Danielmenyela. “Bukan kematiannya yang aku ingat, Bapak! Aku ingat Edward tentang sesuatu sebelum Edward ditembak tentara!” kata Jefery. “Apa yang kau ingat itu?” tanya Daniel lagi. “apa artinya separatis, Bapak?” tanya Edward.

Daniel mengernyitkan keningnya. Sebuah istilah yang sesungguhnya sudah sangat akrab di telinganya sejak lama. Tapi yang dia heran dari mana Jefery mengenal istilah itu. Selama dia hidup dan membesarkan Jefery di pedalaman, tak sekali pun Daniel pernah mengajarkan kata-kata itu kepada Jefery. “Tahu dari mana kau tentang kata-kata itu, Jefery?” Daniel balik bertanya. Jefery hanya terdiam. Ingatan dalam pikirannya telah membuat hatinya tercabik-cabik. Persis kata “Separatis” itulah tepatnya yang kemudian menghentak tangis Jefery.

“Sebaiknya jangan kau sebut-sebut lagi kata-kata itu, karena bisa membuatmu celaka, Jefery! Kata Daniel berpesan dan sekaligus mengingatkan. “Seandainya saja aku dapat sekolah, aku pasti akan tanyakan semua itu pada guruku. Guru itu pasti akan tahu segalanya, kan, Bapak?” kata Jefery. Daniel nampak tersinggung dengan kata-kata Jefery karena anak itu menganggap dirinya tak bisa mengerti dengan pertanyaan yang diajukannya tadi. Tapi Daniel masih bisa menahan dirinya agar tidak marah, karena khawatir akan menambah kesedihan anak itu. “Aku bukannya tidak tahu tentang apa yang kau tanyakan. Tetapi seandainya kau pun tahu, tidak akan memberi manfaat apa pun bagi kau!” kata Daniel mencoba menjelaskan dan sambil meredam kesedihan Jefery.

Ditengah kesedihannya lalu Jefery bertutur, “Bapak, Erward mati dulu karena dia dikata-katai Separatis oleh tentara itu. Padahal didepan tentara saat itu Edward hanya berkata agar diberikan haknya, budayanya, diterangkan latar belakang sejarahnya dan menuntut keadilan karena realitas sekarang yang belum banyak berpihak kepadanya, itu saja. Tetapi tentara itu biadab sekali, dia tembak Edward. Sampai saat ini aku tidak bisa mengerti dengan apa yang di katakan oleh Edward itu. Aku pasti akan menangis setiap teringat hal itu walaupun aku tak tahu apa yang dikatakan Edward itu sebenarnya. Bapak, tak adakah orang yang tahu tentang arti semua itu, Bapak?”

“Sudahlah, belum cukup umurmu untuk mengetahui itu, seharusnya kau bermain sajalah dulu sampai kau puas dan tidak memikirkan hal itu lagi!” kata Daniel. Kali ini Daniel berkata dengan nada agak meninggi. Mendengar nada bicara Daniel yang meninggi semacam itu, Jefery menjadi takut dan sedikit aneh. Tidak biasanya Daniel bisa semarah itu. Jefery menundukan kepalanya. Tak berani dia menatap mata Daniel lagi. Sejenak mereka berdua terdiam tak saling bicara.

Daniel menatapkan matanya jauh keluar rumah.Hatinya sekarang mengguncang. Kata-kata Jefery yang mengulang apa yang di katakan Edward sebelum ajalnya itu cukup mengingatkan Daniel pada sebuah peristiwa bersama Edward. Tak hanya Edward, dirinya pun adalah korban penembakan juga. Namun Daniel dapat lolos dari sergapan tentara setelah dia berpura-pura mati saat sebuah peluru menembus perutnya dalam sebuah tragedi kejar-kejaran didalam sebuah hutan. Untung saja tentara itu tidak memenggal kepalanya pada sat dia sedang berpura-pura mati. Yang membuat Daniel menjadi sasaran tembak tentara saat itu adalah karena ucapan-ucapan Daniel tentang empat hal yaitu hak, budaya, latar belakang sejarah dan realitas sekarang, persis sama dengan yang di ucapkan Jefery tadi. Mungkin hadirnya perasaan marah Daniel kepada Jefery tadi itu, rupanya karena tersulut memori akan ucapan-ucapan itu.

Kini pikiran Daniel betul-betul telah kembali larut dalam masa lalu yang kelam itu. Pikirannya benar-benar terlena oleh sebuah halusinasi. Mendadak Daniel seperti seseorang yang sedang mengigau. Suaranya keluar dengan dua suara yang berbeda. Seperti orang yang sedang terlibat dalam sebuah pembicaraan.

Pada saat segalanya berlangsung, Daniel seperti dikagetkan oleh datangnya sebuah sosok laki-laki di depan matanya. Daniel mengenal betul siapa laki-laki itu, Edward. Ya, Edward datang dengan muka marah, lalu berkata-kata dihadapan Daniel, “Kenapa kau membuat hati anak itu luka. Seharusnya kau ajarkan saja dan berikan penjelsan tentang apa yang tadi dia tanyakan. Jangan berpikir karena kulitnya putih, berbeda dengan kulit bangsa kita, tetapi anak itu bernasib sama seperti kita. dia juga memiliki darah separatis. Bapaknya dulu menitipkannya kepadaku agar aku dapat mengajarinya dan mendorongnya untuk meneruskan perjuangan bangsanya. Bapak anak itu adalah seorang pelarian dari pulau lain di barat pulau kita ini. Tentara memburunya karena pekik merdeka yang kerap dia ucapkan ditengah-tengah kehidupan bangsanya. Bapak anak itu pun adalah salah seorang bagian dari kelompok pemberontakan yang sama-sama menuntut kemerdekaan. Dia juga Separatis...”

“Tapi Edward, aku takut aku akan salah bicara, aku takut mengajari dia tentang hal-hal yang selama ini kita rahasiahkan. Ya, tetang kemerdekaan itu. Aku merasa anak itu belum cukup umur mengetahui segalanya tentang hal itu. Dia masih banyak bermain bersama-sama temannya. Aku khawatir jika aku mengajarinya sekarang, bagaimana jadinya kalau nanti dia membicarakannya dengan kawan-kawan mainnya. Aku masih ingin hidup, Edward, sementra disekitar kita ini masih banyak tentara berkeliaran yang tak akan segan-segan menembaki siapa saja yang tercium menjadi bagian kelompok separatis!” kata Daniel.

Tak lama dari itu, Edward terdengar berkata-kata lagi, “Sampaikan saja semua itu. Umur anak itu sudah menjelang dewasa. Kau ajak pergi dia dari tempat ini. carilah tempat yang lebih aman ditengah hutan agar kau dapat lebih leluasa menyampaikan segala sesuatunya kepada anak itu sebelum umurnya benar-benar menginjak dewasa. Ajarkan dia agar dapat berpikir bagaimana seharusnya membalaskan dendam atas kematian ayahnya beberapa tahun lalu itu...”

“Edward... Edward..., kemana kamu, aku belum selesai bicara. Hah, dia sudah menghilang! Hai sedang apa aku ini?” Daniel tersentak, menyadari sudah terjadi sesuatu dengan dirinya. Daniel menoleh ke kiri dan ke kanan, dia tak lagi mendapati Jefery duduk disampingnya. Daniel lalu berdiri kemudian berteriak-teriak memanggil Jefery. Bergegas Daniel keluar rumah sampai akhirnya dia mendapai lagi Jefery sedang terlihat murung dibawah sebuah pohon.

Jefery menyaksikan kejadian tadi itu dengan mata kepalanya sendiri, bahkan apa yang dibicarakan Daniel dan Edward dalam keadaan yang seperti sedang mengigau itu semuanya Jefery bisa mendengarnya sendiri. Dari kejauhan dihadapa Jefery, seorang bapak berkulit putih dengan lantang memekikan “merdeka” sambil langkahnya terus mendekat kearah Jefery. Jefery kaget juga dibuatnya, tetapi tanpa sadar Jefery mengikuti kata-kata yang dipekikan orang itu. “Merdeka... Merdeka... Merdeka!” berkali-kali suara itu keluar dari mulut Jefery yang sesaat lalu nampak tiba-tiba berdiri. Daniel menyaksikan semua itu dengan pandangan heran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun