Aku terperanjat mendapat kabar pamanku sakit keras malam ini. Dan sekarang beliau ada di rumah sakit. Kabar itu aku dapat dari salah seorang teman lamaku yang juga mengenal paman saat menelpon dan mengabarkan tentang berita itu. Pamanku dikabarkan menderita stroke dan kandungan kolesterol dalam tubuhnya yang terus meninggi. Aku coba pastikan dengan menelpon keluarga paman dan ternyata benar. Aku menjadi gelisah dibuatnya. Ingin rasanya aku segera pergi saat ini juga dan berada disisi paman. Tetapi sayang, tempat tinggalku kini jauh dari kota dimana pamanku tinggal.
“Kita pergi besok saja, pak! Lagipula kita mau naik kendaraan apa malam-malam begini” kata istriku yang sedari tadi memerhatikanku yang sedang gelisah. “Iya, bu! Kita tidur saja dulu, besok pagi kita berangkat!” kataku sambil berdiri dan bergegas menuju kamar tidur. “Jangan lupa minta ijin ke tempat kerja!” kata istriku mengingatkan sambil mengikuti langkahku. Malam itu kami berdua benar-benar dirundung gelisah.
Aku tahu persis siapa pamanku. Dia seorang yang sederhana, bijak dengan prilakunya yang baik. Dulu paman banyak mengajariku tentang filsafat. Sebuah ilmu yang sukar sekali aku pahami. Paman juga pintar tentang ilmu logika sehingga banyak orang yang belajar atau hanya sekedar berdiskusi sampai larut malam dengannya. Pamanku menulis buku. Sudah banyak buku yang diterbitkan dari hasil pemilkirannya. Luar biasanya paman, honor atau royalti dari menulis buku-buku itu tak pernah ia ambil tetapi selalu disumbangkannya kepada orang lain yang membutuhkan atau diberikannya ke pengelola-panti-panti sosial. “Ilmu menurut paman tak akan ada habisnya jika kita mau untuk terus membaginya!” begitu paman berpesan kepadaku suatu hari. Alasan itu yang kemudian membuat paman senang berbagi dengan sesama terutama dalam hal berbagi ilmu yang dia miliki.
Aku membayangkan paman sekarang tengah berbaring di rumah sakit. Menjelang tidur, pikiranku tak bisa ku cegah lagi untuk menemui paman. “Paman, aku datang untuk menjengukmu!” aku sapa paman yang sedang memjamkan matanya. Tenang sekali wajahnya. Pancaran raut mukanya membuat batinku menjadi silau. Wajah tenang itu perlahan membuka matanya. Bola matanya yang hitam masih nampak tajam menyoroti setiap sisi yang dia lihat. Sampai akhirnya pandangan dia beradu dengan pandanganku. Aku tak kuasa menatap sorot mata itu lalu aku menundukan kepalaku sejenak.
“Sudah lama kamu disini, Budi?” tanya paman dengan suaranya yang berat. “Sudah paman, selagi paman tidur tadi!” jawabku. “syukurlah kamu cepat datang, saya mau ngobrol dengan kamu. Kamu sendirian saja, bibimu kemana?” kata paman. “Bibi tadi ijin pulang kerumah sebentar, katanya mau mengambil berkas untuk menyelesaikan persyaratan-persyaratan ke rumah sakit!” kataku lagi. “Oh, begitu, tidak mengapa, lah! Sekarang paman hanya tinggal bersama kamu disini.
Paman senang kamu datang, paman ingin berbicara dengan kamu tentang banyak hal!” kata paman sambil sedikit mengangkat tubuhnya hingga bisa sediki t agak tegak dengan posisi bersandar pada ujung sisi ranjang besi rumah sakit. Aku pun sama, kursi yang aku duduki aku geserkan lebih mendekati lagi ranjang itu. Aku pastikan dapat mendengar suara paman dengan jelas dalam jarak dekat. “Paman ingin berbicara apa?” tanyaku memulai lagi percakapan. “Kamu tahu, Budi, sebetulnya paman sudah bosan ada diruang ini. Rasanya paman sudah seperti lama saja ada di sini!” kata paman sambil menarik nafas panjang. “Paman, kan, biasa beraktivitas diluar ruangan dan ketemu banyak orang, jadi wajar saja kalau paman merasa bosan dengan ruangan ini!” kataku yang coba menebak kebosanan paman itu.
“Hmmm, bukan itu yang membuatku bosan, Budi! Sejak paman mulai sering sakit-sakitan semacam ini, sering datang ke hadapan paman seroang tua bijak yang baik. Mengajak paman bicara tentang banyak hal yang paman belum ketahui sebelumnya. Orang tua itu sudah seperti orang dekat dengan paman sekalipun paman tidak tahu siapa dia itu sebenarnya. Sapaannya yang hangat membuat hati paman terasa sejuk setiap kali mendengarnya. Setiap kali dia akan mengajak paman bicara, terlebih dahulu paman selelu dijaknya terlebih dahulu menuju sebuah tempat yang indah, sejuk dan penuh kedamaian.
Paman sendiri tidak tahu dimana dan apa nama tempat itu. Orang tua bijak itu tak pernah memberi tahu paman tentang segala hal yang nampak indah itu termasuk memberi kabar tentang siapa dia sesungguhnya. Tapi orang tua itu seolah tidak peduli dengan rasa penasaran paman itu. Namun anehnya rasa penasaran itu selalu saja menghilang perlahan seiring dengan cerita yang selalu dia sampaikan. Kau ingin tahu apa ceritanya?” kata paman setelah panjang lebar bercerita.
Aku yang sedari tadi menyimak kata-kata paman, mulai terbawa pula pada sebuah alam imajinasi. Menerka bagaimana sosok orang tua bijak itu. Kemudian bagaimana pula tempat indah yang sering dijumpai paman dan orang tua itu. Semua menjadi semakin menarik dan betul-betul telah mengundang rasa penasaranku untuk terus mendengar kelanjutan ceritanya.
“Hai, apa ceritanya mau diteruskan?” tanya paman yang tak kunjung mendengar jawaban dari pertanyaannya tadi. Aku pun berkata lagi kapada paman, “oh, iya paman, dilanjutkan lagi. tapi sebelum cerita ini paman lanjutkan, aku juga ingin paman bawa ketempat indah itu paman, dan mengajak aku bertemu dengan orang tua bijak itu, bisa kan paman?” kataku. “He...he...he..., sifatmu masih saja ada dari dulu, selalu ingin ikut setiap kali paman mau pergi, ya! Ya, sudah ikut saja...!” kata paman dengan senyum yang menghias bibirnya.
“Oh, aku siap-siap dulu untuk pergi bersama!” kataku sambil duduk lebih merapat lagi kearah paman. “Paman lanjut lagi ceritanya, ya... pernah suatu hari yang menurut orang-orang jasad paman sedang tertidur pulas atau bahkan pingsan. Tetapi paman sendiri tidak mendapati paman sedang pingsan. Paman berjalan mengikuti setiap langkah orang tua itu.
Pandangan mata paman dihadapkan dengan sebuah bukit batu yang tinggi. Diatas bukit batu itu terdapat sebuah rumah yang sederhana namun begitu indahnya. Paman mendekat kerumah bersama dengan orang tua itu. Setiba di depan rumah, mata paman dibimbingnya melihat sebuah pemandangan menghampar luas. Luas sejauh mata memandang. Angin yang tenang telah mengantarkan pada sebuah impian yang selama ini selalu hadir dalam hari-hari hidup paman. Dapat disaksikan pula didalam rumah itu, perempuan-perempuan cantik nan menarik seperti telah mempersiapkan diri menyambut kedatangan paman.
Aroma segar tetumbuhan dan bau sajian makanan yang membangkitkan selera siapaun orang yang sanggup menghirupnya, semua itu paman rasakan dengan hati yang riang. Diatas bukit itu diajarinya paman tentang hakikat hidup, tentang arti dalam berbagi bersama semua manusia oleh si orang tua itu. Sungguh, paman tak bisa melupakan semua itu dan semenjak itu, semua selalu saja nampak dipelupuk mata paman hingga hari ini. Terutama perlakuan dari para perempuan-perempuan cantik itu, sungguh sangat membuat hati paman sangat terpesona.
Sepertinya tak ada kecantikan yang dapat mengimbangi kecantikan para perempuan itu sejauh perempuan cantik yang pernah paman temukan. Dari telapak tangan perempuan itu bisa mengeluarkan apapun yang kita inginkan. Dan semua itu betul-betul bisa paman dapatkan ketika waktunya tiba nanti. Tetapi paman tidak pernah diberi tahu kapan waktu yang dijanjikan orang tua bijak itu bisa paman temui. Nah bagaimana,Budi, Pasti kamu juga senang, kan!” kata paman menghentikan sejenak ceritanya. “iya, paman, aku benar-benar ingin pula bertemu denga perempuan-perempuan itu!” kataku.
“Ah, kamu tahunya perempuan saja, he...he..he..he..! tapi tidak apa-apa, kamu laki-laki, jadi normal saja!” kata paman sedikit bercanda. “Tentu, paman!” kataku singkat karena tak mau lagi berbicara panjang karena tak sabar ingin mendengar kelanjutan cerita. “Kepada paman orang tua itu berpesan, ini semua akan dia berikan sepenuhnya kepada paman sebagai hadiah pemberian yang pantas paman terima. Paman sendiri masih belum tahu kenapa harus paman yang menerimanya. Tapi paman senang dengan rencana pemberian itu, dan paman betul-betul ingin segera mendapatkannya. Tetapi semua masih harus menunggu, dan karena alasan harus menunggu itu, sehingga waktu yang paman lewati saat ini menjadi terasa panjang saja. Nah begitu, Budi, cerita indah paman, meski tak semua dapat paman sampaikan kepadamu, tapi mudah-mudahan kamu bisa mengambil hikmah dari ceritaitu dan tak sekedar menghayati indahnya saja, kamu musti tahu juga bagaimana awal keindahan itu bisa datang!” kata paman mengakhiri ceritanya. “wah, seru ya paman, aku juga ingin bisa merasakan semua cerita indah paman itu!” kataku lagi.
Pak, bapak..bangun, Pak..!” tiba-tiba istriku membangunkan tidurku pada dini hari. “Ada apa, Bu, seperti orang kaget begitu?” tanyaku sambil menggosok mataku perlahan. “Ibu terima SMS, coba deh bapak sendiri baca isi pesannya!” kata istriku sambil menyodorkan ponselnya ke tanganku. Aku segera memmbacanya perlahan. Hampir setiap kata kau perhatikan isi pesan singkat itu berikut siapa pengirimnya.
Aku sendiri tak menyangka dengan isi pesan itu, lalu aku baca sekali lagi agar lebih jelas. Usai membaca isi pesan itu, istriku terlihat menitikan air matanya. Dia tak berkata sedikit pun. Tak lama dari itu pecahlah tangisnya, membelah dingin malam menuju subuh. Sebetulnya sejak pesan SMS itu kubaca satu kali, aku pun tak kuasa menahan sedih. Tapi setelah yakin dengan apa yang kubaca setelah dua kali mengulangnya, rasa haruku mulai memenuhi dada. Paman tak tertolong lagi, kini keluarganya tengah mengurus jasadnya untuk di bawa kerumah kediaman keluarga dari rumah sakit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H