Mohon tunggu...
Teguh Ari Prianto
Teguh Ari Prianto Mohon Tunggu... Penulis - -

Kabar Terbaru

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pemikiran Ideologis Kultural Dibalik Tutup Kepala Bernama Peci

9 April 2023   15:55 Diperbarui: 9 April 2023   16:00 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersama peci, tersimpan nilai-nilai luhur terutama berkaitan dengan nilai dari akar budaya bangsa mengenai pentingnya kita mengagungkan kepala dan isinya.


Nampak perdebatan panjang itu, mengiringi sebuah pertemuan penting kaum-kaum muda dalam wadah organisasi Jong Java. 

Tahun 1921, debat Ideologi dan paham-paham kebangsaan menjadi sengit terutama bersamaan dengan munculnya suatu realitas anak-anak muda saat itu.

Bagaimana bisa, para intelektualitas muda menilai rendah terhadap sosok mengenakan pakaian dan tutup kepala sebagai ciri kultur masyarakat lokal?

Sebut saja misalnya, blankon dan sarung, seolah jenis-jenis sandang rakyat, pada waktu itu, tergolong sandang kolot dan menunjukan identitas kelompok masyarakat kelas bawah. 

Kaum muda begitu tergila-gila dengan penampilan ala kebaratan, sehingga prilaku merendahkan kekayaan milik bangsa menjadi tak terelakan.

Mewarnai rentang waktu perhelatan Jong Java tersebut, sosok muda bernama Soekarno, membelah paradok kaum-kaum muda lain dalam hal berbusana. 

Dirinya mendorong agar perbedaan cara pandang terhadap nilai budaya terutama saat timbul pertentangan gaya pribumi melawan gaya ala Barat, segera dihentikan.

Soekarno muda mendorong adanya simbol busana bagi kaum-kaum muda dan totkoh-tokoh pergerakan, yaitu berupa tutup kepala khas. 

Simbol busana itu lalu dijadikannya tuah pemersatu berkaitan dengan perlunya identitas perjuangan dalam memperkokoh keinginan menegakkan nilai-nilai kebangsaan.

Kurang lebih, Soekarno muda berkata demikian, bahwa kita memerlukan sebuah simbol untuk menunjukan kepribadian Indonesia. 

Peci, memiliki sifat khas, mirip dengan tutup kepala para buruh bangsa Melayu. Peci ini khas dan asli milik Indonesia.

"Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia merdeka", kata Soekarno dalam pertemuan Jong Java tahun 1921.

Berkat usaha gigih tersebut, secara berkala, peci menjadi penanda khas tutup kepala Bangsa Indonesia. 

Pada awalnya, peci didasarkan kepada kepentingan pelengkap pakaian peribadatan, terutama oleh umat Islam. 

Seiring berjalan waktu, peci telah menjadi identitas resmi kenegaraan.

Memakai peci, tidak didasarkan bagi muslim saja, tetapi lebih meluas kepada berbagai kalangan masyarakat berbagai latar belakang agama.

Setelah penetapan orang memakai peci sebagai atribut resmi dalam ruang-ruang kenegaraan, organisasi atau kelompok masyarakat tertentu, berpeci pun kemudian dikembalikan lagi penggunaan sebagai bentuk tradisi, lekat dengan aktivitas masyarakat biasa lainnnya.

Keleluasaan berpeci tanpa membedakan gender, ada pada setiap peringatan Hari Ulang Tahun Indonesia, tanggal 17 Agustus. 

Pasukan pengibar bendera pusaka atau disebut paskibraka, meletakkan peci sebagai atribut resmi, baik bagi paskibraka laki-laki ataupun paskibraka perempuan.

Peci dalam berbagai sebutan lain yaitu mut dan songkok, dipergunakan dalam melengkapi pakaian dinas ketentaraan, organisasi kemahasiswaan, kelompok pejuang veteran dan banyak lagi.

Bentuknya menjadi sangat variatif, menyesuakan dengan nilai ideologi organisasi atau kesatuan mereka masing-masing.

Ideologis 

Melalui prakarsa pemikiran Soekarno, terutama saat beliau menegaskan bahwa perjuangan kebangsaan dalam rangka mewujudkan Indonesia merdeka, Bangsa Indonesia perlu memiliki ciri khas tutup kepala.

Dalam situasi ini, menghadirkan sebuah atribut atau identitas kebangsaan melalui tutup kepala, menunjukan kepada kita, bagaimana sebuah penutup kepala semacam peci, mampu memberi warna kepada ruang pikir berkebangsaan.

Pilihan kepada peci, bisa saja saat itu diabaikan banyak orang, namun karena dasar kultural dari realitas sebuah kehidupan asli orang Indonesia (khususnya Orang Melayu), menyadarkan para kaum pejuang bangsa untuk selalu mengaitkan akar pemikiran dan ideologi bangsa kepada realitas kultural yang hidup dalam keseharian anak-anak bangsa.

Apalagi, saat peci identik dengan corak perjuangan kaum buruh dari Bangsa Melayu, bagaimana meraka begitu gigih dengan gerak-gerak khas pembelaan terhadap kaumnya, lahir dari pemikiran dan perhatiannya kepada situasi krisis praktek kolonialisasi.

Nilai-nilai perjuangan kaum Bangsa Melayu, sangat kental dengan nuansa keislaman, sehingga praktek-praktek perjuangannya pun nampak terbingkai dalam nuansa religius dan kultural.

Menarik saripati nilai-nilai perjuangan tersebut, kemudian terkristalisasi kedalam sebuah wujud identitas kebangsaan, menjadi sangat relevan bagi Bangsa Indonesia untuk memiliki ciri khas tersendiri mengenai atribut ideologisasi dan perlawanan untuk mewujudkan kemerdekaan.

Tanpa mengecilkan arti atau makna dari penutup kepala adat lain di Indonesia pada saat itu, pada prinsipnya, peci berusaha ditampilkan sekiranya peci bisa menjadi inspirasi melahirkan semangat perjuangan dengan dasar ideologi dan kultural yang mengakar dalam kehidupan Bangsa Indonesia.

Berkaitan dengan kebusanaan pula tentunya, peci dinilai cukup sederhana dan memiliki karakter tersendiri serta kepantasan. 

Bagi para penggunanya, peci memberi rasa nyaman saat dikenakan serta relatif mudah diperoleh dari lingkungan terdekat.

Kultural

Pemakaian peci selalu identik dengan kehidupan kaum muslim kebanyakan, apalagi pada hari atau bulan besar tertentu seperti saat haji atau ramadan.

Dengan berbagai macam kreasi dan inovasi, peci sebagai alat penutup kepala dengan fungsi sama, yaitu menjaga dahi agar tidak tertutupi rambut saat seorang mulim melakukan sujud.

Dari uraian diatas, tradisi beragama orang muslim dengan mengenakan peci, termasuk praktik pengejawantahan aturan atau tindakan dalam sebuah prosesi peribadatan. 

Sebenarnya banyak penutup kepala secara kultural dalam hubungannya dengan pelaksanaan peribadatan tertentu, namun peci terlanjur menyebar luas dan akrab digunakan orang-orang muslim dalam kesehariannya.

Bersama peci, tersimpan nilai-nilai luhur terutama berkaitan dengan nilai dari akar budaya bangsa mengenai pentingnya kita mengagungkan kepala dan isinya.

Tradisi masyarakat Sunda misalnya, menyebut beberapa istilah kepala dan penutupnya kedalam tiga istilah saling berkaitan sesuai dengan situasi dan kondisi dalam penggunaan kepala dan tutup kepala.

Ada sebutan mastaka, bertarti kepala. Dalam hal kepala dengan kandungan organ vital bagi manusia seperti otak dan segala fungsinya untuk mengatur kelangsungan hidup tubuh secara mental dan jasmani, maka mastaka perlu dihias dan dilindungi oleh sesuatu bernama mustika.

Bersama dengan mastaka dan mustika, hiduplah sebuah nilai-nilai kemanusiaan yang senantiasa berhubungan dengan realitas Ketuhanan sebagai Sang Maha Pencipta yaitu realitas mistika.

Mistika, dari kata dasar mystic (Bahasa Inggris) menerangkan kepada kita mengenai suatu keadaan manusia yang terus mencari nilai-nilai kebenaran atau keutamaan (ketuhanan) setiap waktu. 

Pada proses ini, manusia pencari nilai kebenaran ini selalu menyambungkan dirinya bersama dengan keberadaan Tuhan. 

Hal ini menunjukan, bahwa proses pencariannya terhadap kebenaran, senantiasa terus mengingat Tuhan sebagai sang pembimbing.  

Lain halnya apabila proses pencarian manusia dalam kehidupannya tidak menyandarkan kepada nilai-nilai kebenaran, maka niscaya manusia tersebut ada dalam keadaan teralienasi atau terasing dalam proses pencariannya.

Banyak hal bisa ia temukan dalam proses keterasingannya, namun keniscayaan bahwa apa-apa saja yang ditemukan dalam pencarian tersebut akan sulit terkonfirmasi, mendapat petunjuk dari mana.

Dalam konsep budaya Sunda tersebut, tiga hal yang saling berkaitan diantanranya, mastaka, mustika, dan mistika, seyogiannya menjadi satu kesatuan utuh. 

Dalam penegrtian mustika, tutup kepala tentunya menjadi mutlak adanya terutama dalam mengungkap nilai-nilai kebenaran dan implementasinya.

Sampai disini, kita boleh mengambil simpulan, bahwa peci sebagai representasi tutup kepala dalam suatu tradisi kehidupan bangsa. 

Keberadaannya memungkinkan kita terus sadar dengan potensi bangsa sejak lama dan berakar menjadi suatu kekuatan budaya khas.

Khas dalam pengertian ini menjelaskan bahwa kehidupan bangsa Indonesia senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dalam implementasi keberagaman bentuk-bentuk perjuangannya. 

Tutup kepala semacam peci adalah sakral, sekaligus memiliki nilai kultural tinggi dalam kehidupan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun