Pola pergerakan politik dengan pendekatan percekcokan (paradok), menjadikan abad XXI sebagai puncak pelampiasan energinya karena sadar, pengaruh modernisme segera berakhir.
Optimis
Kebudayaan Nusantara sebaiknya hidup mandiri karena sejak awal pembangunan peradabannya, berada diluar pusaran konflik percekcokan.
Jika saja ada elemen memperlihatkan karakteristik percekcokan di Nusantara, sesungguhnya mereka adalah kaum-kaum hidup dalam ketercerabutan akar budaya Nusantara, lalu melacur dan menjadi bagian pengaruh dari luar budaya mandiri bangsanya.
Catatan Rd. Dyna Ahmad, mewakili Badan Kebudayaan Nasional Jawa Barat PDI Perjuangan, dalam Seminar Pembangunan Berbasis Budaya: Revitalisasi dan Aplikasi Nilai-Nilai Budaya Sunda dalam Pembangunan Daerah, diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kebijakan Publik dan Pengembangan Daerah Universitas Padjadjaran beberapa waktu lalu, menyebutkan bahwa kegelisahan kita dalam menjaga keutuhan nilai budaya bangsa semakin hari semakin berat, karena pengaruh modernisme yang terus menggerogoti akar budaya bangsa.
Keyakinan dirinya, dalam pertemuan lanjutan pembahasan budaya, Lingkar Pare (Lingkung Karahayatan & Paguneman Rebo Pasosore) di Bandung, bahwa cara-cara modern dengan merecoki budaya bangsa melalui cipta kondisi percekcokan diantara anak-anak bangsa, akan berakhir dengan sendirinya seiring semakin memudarnya pengaruh modern dalam perputaran perubahan peradaban Nusantara.
Sikap-sikap optimis semacam ini menjadi sebuah tanda, bahwa perubahan yang bergulir selama ini sudah dirasa menjenuhkan oleh sebagian besar orang.
Kerinduan kepada corak hidup harmonis berbasis budaya luhur Nusantara, kini semakin tumbuh.
Praktek dalam mewujudkan gagasan pun semakin ditunjukan dalam kehidupan sehari-hari.
Semakin banyak corak pemikiran dan kegiatan anak-anak bangsa menunjukan keseriusan mereka untuk membangun kembali tata nilai budaya luhur yang sempat pudar.