Selama pandemi Covid-19 ini saya sangat merasakan bagaimana pentingnya keberadaan seorang guru dan sekolah. Sudah lebih dari 1 tahun anak saya belajar dari rumah atau istilahnya pembelajaran jarak jauh (PJJ). Terus terang sebagai orang tua yang bekerja, sangat sulit membagi waktu hanya untuk sekedar mendampingi anak saya untuk zoom dengan guru dan teman-temannya.
Pernah suatu hari saya cuti dari kantor untuk mendampingi anak saya PJJ. Baru 15 menit mendampingi, emosi saya sudah luar biasa terkuras. Ternyata membimbing anak sendiri lebih sulit dibanding, mungkin guru ketika membimbing anak orang lain.
Bukan orang tua saja yang kesulitan membimbing anak, ternyata anak pun merasa tidak nyaman ketika PJJ harus dibimbing oleh orang tua. Menurut survei yang saya lansir dari (Republika, 04 Oktober 2020) 58% anak merasa tidak menyenangkan dibimbing oleh orang tuanya karena orang tua cenderung lebih galak dalam membimbing ketika belajar.
Berdasarkan survei tersebut, bisa kita simpulkan bahwa anak tidak nyaman ketika belajar bersama orang tua dalam PJJ. Dalam pikiran saya, bagaimana pelajaran yang kita ajarkan akan bisa mudah di mengerti oleh anak kita, ketika suasana belajarnya tidak nyaman.
Padahal, emosi berhubungan dengan kognitif. Menurut EP Selligman (kompas.id,12 Agustus 2021) kognisi dan emosi saling berhubungan. Ketika emosi tertekan maka kognisi bisa melambat.
Agar emosi positif terbangun ketika melakukan pembelajaran. Pembelajaran harus dilakukan dengan hati yang gembira. Sehingga emosi anak kita tidak tertekan dan diharapkan pelajaran yang kita jelaskan akan mudah diserap oleh anak kita.
Untuk membangun suasana hati anak yang bahagia, diperlukan pembelajaran yang menyenangkan ketika PJJ di rumah. Kita tidak bisa memaksakan pola pengajaran yang akan kita gunakan. Bagaimanapun, pola pengajaran yang menurut kita menyenangkan, belum tentu menyenangkan untuk anak kita.
Pembelajaran yang menyenangkan terjadi jika adanya interaksi dua arah. Interaksi kita sebagai orang tua dengan anak kita dalam melakukan proses pembelajaran. Interaksi dua arah dalam pembelajaran ini sesuai dengan teori belajar behaviorisme Throndike.
Dalam (kompas.id, 12 Agustus 2021), menurut teori behaviorisme Throndike, proses pembelajaran didasarkan pada hubungan antara rangsangan (stimulus) dan balasan (respons).
Rangsangan (stimulus) yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan anak kita ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan.
Sehingga kita sebagai orang tua bisa mencoba memberikan berbagai macam rangsangan (stimulus) dalam belajar. Dengan banyaknya rangsangan (stimulus) diharapkan akan timbul respon yang maksimal. Karena memang sejatinya Teori Throndike adalah teori "trial dan error".