Mohon tunggu...
Tegar Putuhena
Tegar Putuhena Mohon Tunggu... lainnya -

Aktivis sosial dan penikmat kopi yang sedang belajar motret tapi sayang tidak punya kamera

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perppu (Karena) Trending Topic

9 Oktober 2014   03:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:48 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SBY dibully di twitter lantaran walk outnya Partai Demokrat dalam paripurna pembahasan RUU Pilkada

[caption id="" align="alignleft" width="420" caption="SBY dibully di twitter lantaran walk outnya Partai Demokrat dalam paripurna pembahasan RUU Pilkada"][/caption] Beberapa waktu lalu publik dikejutkan dengan disetujuinya Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memuat ketentuan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan (DPRD). Tak berapa lama, hujatan demi hujatan yang ditujukan kepada presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membanjiri media sosial. Tanda pagar #ShameOnYouSBY, #WelcomeMrLiar tercatat menjadi trending topic worldwide dalam waktu yang tidak terlalu lama. SBY dipermalukan di media sosial lantaran aksi walk out (WO) Partai Demokrat yang dilakukan sesaat sebelum pemungutan suara dilakukan dan hasilnya Undang-Undang Pilkada yang meniadakan pemilihan langsung. SBY dituding sebagai actor intelektual dibalik aksi partai demokrat ini. Hujatan publik ‘maya’ inipun segera mendapatkan respon presiden. Tak lama, konferensi pers istana digelar, klarifikasi presiden disampaikan. Sebelumnya, melalui juru bicaranya presiden SBY menyampaikan bahwa aksi PD dalam paripurna tanggal 25 September 2014 silam bukanlah  aksi yang berdasarkan perintah SBY. Menarik untuk dicermati, bagaimana desakan publik melalui dunia maya mampu mempengaruhi pengambilan kebijakan oleh presiden. Tak tanggung-tanggung, sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPPU) diterbitkan. Lantas, apakah unsur “kegentingan yang memaksa” yang merupakan prasyarat diterbitannya Perppu, menjadi terpenuhi karena adanya desakan publik maya? Siaga Satu Demokrasi? Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) mengatur bahwa pemerintahan daerah terdiri atas dua tingkatan. Tingkatan pertama adalah provinsi, sementara kabupaten/kota merupakan tingkatan kedua yang wilayahnya sudah tercakup pada wilayah tingkatan pertama tadi. Tidak diatur secara eksplisit di dalam konstitusi mengenai apakah keberadaan tingkatan tersebut bersifat hirarkis atau tidak. Selain itu, konstitusi juga tidak mengatur tentang keberadaan Wakil Gubernur, Wakil Bupati/Wakil Walikota. Dalam prakteknya,  bermunculan berbagai isu penting mengenai pemerintahan daerah, salah satunya berkaitan dengan penerapan pemilihan secara langsung sebagai terjemahan dari ketentuan UUD yang berbunyi “dipilih secara demokratis”. Di dalam ketentuan mengenai pemilihan presiden, frasa yang digunakan oleh konstitusi adalah “dipilih secara langsung”, berbeda dengan frasa yang digunakan untuk menjelaskan mekanisme rekrutmen kepala daerah yang secara demokratis itu. Oleh karena itu, argumentasi yang membedakan mekanisme pemilihan kepala daerah dengan tata cara rekrutmen presiden tentu cukup beralasan. Pengaturan rekrutmen kepala daerah melalui pemilihan langsung dalam UU Nomor 32 Tahun 2004, telah memicu munculnya dua pendapat . Pendapat pertama menyatakan bahwa frasa “dipilih secara demokratis” tidak serta-merta bermakna harus dipilih secara langsung. Dipilih secara demokratis boleh saja dimaknai sebagai pemilihan melalui perwakilan atau dipilih secara langsung. Kedua mekanisme ini memiliki legitimasi yang sama. Sementara di sisi berbeda, ada pula yang berpendapat bahwa pemilihan secara langsung memiliki nilai legitimasi yang jauh lebih tinggi dibanding dengan pemilihan melalui perwakilan. Oleh karenanya, apabila UU sudah mengatur penerapan cara pemilihan yang memiliki nilai legitimasi tertinggi maka penerapan cara yang berkebalikan dengan itu merupakan kemunduran yang cuup drastis. Pembentukan daerah otonom diharapkan mampu memicu kian berkembangnya kehidupan demokrasi pada tingkat lokal. Pada titik ini,  eksistensi pemerintahan daerah akan sangat berkaitan erat dengan efektivitas cara pemilihan kepala daerah. Makin efektif cara pemilihan kepala daerah, makin berpotensi kualitas otonomi daerah kian meningkat. Terlepas dari polemik yang berkembang saat ini, kedua pendapat tersebut berangkat dari pemahaman yang sama, yakni keinginan untuk meletakkan demokrasi pada konteks yang lebih realistis. Oleh karenanya, mempertentangkan kedua pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa pendapat yang satu adalah pro-demokrasi dan lainnya anti-demokrasi merupakan tindakan yang keliru. Jadi, benarkan demokrasi republik ini berada pada kondisi siaga satu? Untuk menjawab pertanyaan ini, simak baik-baik landasan argumentasi yang mendasari munculnya beragam pendapat di atas. Unsur “Kegentingan yang Memaksa” Perppu Pilkada Perppu merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus. Sifat khusus Perppu tersebut dapat ditelusuri dari aspek wewenang pembentukannya yang hanya diberikan kepada Presiden. Selain itu, dapat pula dilihat dari bentuknya yang hanya merupakan Peraturan Pemerintah namun secara hierarki memiliki kedudukan yang sejajar dengan UU. Karena bentuknya yang khusus, tentu Perppu tidak bisa seenaknya dibentuk oleh presiden dalam keadaan negara yang “biasa-biasa saja”. Harus ada “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sehingga ketentuan dalam suatu UU tidak dapat dijalankan dan harus diganti, barulah pembentukan Perppu oleh presiden diperbolehkan. UUD 1945 merumuskan merumuskan ini sebagai prasyarat pembentukan Perppu. Walau demikian, Perppu tersebut tetaplah harus mendapat persetujuan DPR pada masa sidang berikutnya. Lantas, apakah makna frasa hal-ihwal kegentingan yang memaksa yang ada dalam konstitusi tersebut? Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 dapat dijadikan sebagai rujukan makna frasa tersebut, mengingat rumusan pasal tersebut merupakan rumusan asli yang tidak diamandemen. Didalam penjelasan UUD 1945 disebutkan: Pasal ini mengenai "noodberordeningsrecht" Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa Pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, Pemerintah tidak akan terlepas dari Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu Peraturan Pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan Undang-undang harus disyahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kegentingan yang memaksa adalah kondisi genting yang mengancam “keselamatan Negara”. Untuk itu, Perppu hanya dapat dibentuk saat negara sedang dalam kondisi terancam keselamatannya baik ancaman dari luar maupun dari internal negara. Ancaman dimaksud dapat saja berupa invasi bersenjata dari negara lain, kerusuhan, bencana alam, serta peristiwa lain yang mengganggu jalannya pemerintahan. Dalam kondisi yang semacam ini, presiden diperbolehkan mengambil langkah-langkah extraordinary, salah satunya dengan menerbitkan Perppu untuk menyelamatkan negara. Dalam perkembangannya, dapat disaksikan bahwa Perppu seringkali dikeluarkan oleh presiden walaupun dalam keadaan tidak ada ancaman terhadap keselamatan negara. Makna “hal ihwal kegentingan yang memaksa” diperluas menjadi  situasi tertentu yang mendesak. Hal ini diperkuat dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 138/PUU-VII/2009. Pada halaman 19, paragraph [3.10] putusan MK tersebut disebutkan prasyarat diterbitkannya Perppu sebagai berikut:

  1. adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan;

Dari penjelasan MK tersebut, dapat dipahami bahwa pembentukan Perppu diperbolehkan sepanjang telah terjadi suatu kondisi adanya kebutuhan mendesak, terjadi kekosongan hukum, serta untuk menyelesaikan kondisi tersebut tidak cukup waktu membentuk Undang-Undang secara normal. Berdasarkan penjelasan singkat diatas, perlu dijawab apakah Perppu Pilkada yang baru saja ditandatangani oleh presiden SBY telah memenuhi prasyarat sebagaimana tercantum di dalam ketentuan UUD 45 maupun tafsir konstitusional Mahkamah Konstitusi? Sebagaimana diketahui, sejak awal disetujuinya UU Pilkada oleh DPR, demonstrasi cyber dilancarkan, paling gencar dapat dilihat di situs microblogging twitter. Alhasil, tanda pagar seperti #ShameOnYouSBY, kemudian disusul #WelcomeMrLiar menduduki tangga topik populer dunia di twitter. Publik maya bukan saja berhasil mempermalukan presiden Indonesia, kebijakan pemerintah terkait pilkada pun berhasil dibelokkan. Perppu pilkada ditandatangani dan hasilnya kembali tanda pagar #TerimakasiSBY mencapai puncak trending topic dunia. Bangga bercampur khawatir. Di satu sisi, ada kebanggaan bahwa suara publik ternyata  sangat didengar. Sungguh suatu kemajuan demokrasi yang berarti di negeri ini. Kedepan, hal ini dapat menjadi referensi pengambil kebijakan. Kemajuan ini patut diapresiasi. Di lain sisi, timbul kekhawatiran seandainya negara ini dikelola dengan lebih dominan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan kegaduhan cyber yang tengah terjadi, bukan tidak mungkin presiden mendatang dapat membentuk satu Perppu tanpa pertimbangan matang dengan menggunakan legitimasi “protes publik dunia maya”.  Bukan hal yang sulit untuk melakukan mobilisasi publik di dunia maya. Kehadiran jasa-jasa cyber penambah follower maupun jasa pembuat trending topic dengan menggunakan metode tertentu pun bisa saja dilirik. Sangatlah naïf jika suatu Perppu yang begitu penting ini dikeluarkan hanya berdasarkan pertimbangan tingginya protes publik melalui twitter yang validitasnya sulit dikonfirmasi. Di bulan Januari 2014, situs online merdeka.com merilis hasil penelusurannya tentang validitas follower twitter sejumlah akun resmi pejabat negara salah satunya milik presiden SBY. Hasilnya, hanya 36 persen atau sekitar 972 ribu pengikut akun resmi @SBYudhoyono yang aktif. Sisanya, sebesar 29 persen pengikutnya adalah akun pasif dan 35 persen diduga akun palsu. Walaupun dapat dipastikan tidak akan ditemukan pertimbangan "kegaduhan maya" ini dicantumkan dalam konsideran Perppu Pilkada, namun jika dirunut kronologi penerbitan perppu ini, cukup rasional untuk mengambil kesimpulan penerbitan Perppu pilkada tak lepas dari pengaruh publik maya di media sosial twitter. Terlepas dari polemik yang ada, kehadiran Perppu Pilkada yang merupakan jalan tengah yang dihadirkan presiden SBY ini layak untuk didukung. Hal ini mengingat konten Perppu yang cukup akomodatif terhadap setiap pendapat dan kepentingan. Mengenai cara pemilihan kepala daerah dalam Perppu ini, disediakan dua opsi yakni pemilihan secara langsung di tingkat kota/kabupaten, dan pemilihan perwakilan di tingkat provinsi. Selain itu terdapat pula sejumlah ketentuan yang ditujukan untuk meminimalisir praktek politik uang dan kecurangan-kecurangan sistemasis dalam pemilihan kepala daerah secara langsung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun