Mohon tunggu...
Tedi Hendratno
Tedi Hendratno Mohon Tunggu... -

Contac Email : tedicoy@yahoo.com Setiap kehidupan memiliki sebuah cerita, memahami makna dari cerita cerita itu menjadi sebuah Tugas dari tiap Insan yang melewatinya, dan disinilah hakikat itu terbentuk.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sosial Anomali

20 September 2014   22:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:06 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebaikan itu bukan sesuatu  yang Objective, dia menjadi sudut pandang yang semakin unik sama seperti keunikan dari sisi yang sangat terdeferensisasi bagi si human nya, hal ini kemudian menyebabkan orang harus kembali mencoba untuk membuka semua wawasan dan pikiran tentang apa yang menjadi sesuatu yang baik itu baik dan benar adanya sehingga bisa pantas di sebut sebagai sebuah kebaikan.

Mungkin inilah konsekuensi logis dari kemajuan sebuah era informasi, patokan nilai dan norma bukan lagi pada landasan Primordial yang pernah ada ( Agama dan norma kemasyarakatan sesuai dengan adat dari kebhineka tungal ika-an) tetapi berganti pada sebuah arus besar sebuah informasi yang menjejali manusia setiap harinya,inilah Anomali bagi sebagian dari kita tentang sesuatu nilai .

"Mencaci orang lain" agama apapun itu dan adat suku apapun itu pasti akan melarang perbuatan tersebut, apalagi bila mencacinya dengan penuh kebencian dan kebohongan dan dilakukan di ranah public' . Tapi kondisi ini kemudian menjadi sesuatu baik dan pantas serta dilakukan tanpa rasa malu dan kasihan, entah atas dasar apa itu kemudian menjadi sesuatu yang baik untuk dilakukan, dan penulispun sangat miris ketika itu di lakukan dengan alasan oleh kebebasan berpendapat yang di lindungi undang undang.

“Mengambil hak orang Lain” yang bukan menjadi haknya, atau mungkin dengan istilah yang lebih familiar " Korupsi" . Korupsi dalam pengertian secara etimologi yang saya kutip dari Wikipedia adalah Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Kegiatan ini di tinjau dari sudut pandang apapun adalah sesuatu yang salah, bahkan konstitusipun telah menetapkan sebuah jeratan hukum bagi mereka yang melakukan tindakan tersebut, tapi yang menjadi persoalan kemudian mengapa praktek dari tindakan haram ini terus terjadi, bahkan terdapat kecenderungan angkanya semakin naik dari tahun ketahun? Apabila pertanyaan ini di lontarkan dalam sebuah forum diskusi yang didalamnya diikuti oleh berbagai expert, maka kita akan menemukan berbagai opini pula yang timbul mengapa sampai fenomena ini muncul. Tapi kembali lagi dari topik tulisan ini, pertanyaannya adalah mengapa sampai ini terus terjadi ? apakah tatanan nilai tentang yang baik itu adalah sesuatu yang benar adanya sudah tidak ada lagi, berganti dengan sesuatu yang baik adalah sesuatu yang bisa mendatangkan manfaat bagi diri seseorang dan mengabaikan manfaat bagi orang lain ? pertanyaan ini kemudian akan menjadi mengambang dan akan terus menjadi sebuah dialektika dari zaman kezaman, dan dari rezim ke rezim, sampai ketahap pada upaya menghilangkan atau meminimalkan praktek Korupsi itu sendiri.

Sebuah degradasi nilai yang terjadi dalam sebuah tatatanan sitem pemerintahan atau berbangsa adalah keniscayaan ketika aturan dalam interkasinya telah dilanggar dan point ini merupakan sesuatu persoalan yang tidak hanya masuk dalam ranah individu tetapi lebih ke tatanan kemasyarakatan, tidak adanya nilai luhur yang kuat yang adapat dijadikan patokan utama dalam memegang prinsip sesuatu yang baik itu adalah sesuatu yang benar dan di amalkan tanpa terkecuali, menyebabkan masyarakat kita berda pada kondisi anomali dan cenderung melalukan hal hal yang sifatnya irasional.

Agama Sebagai Kontrol Sosial

Peran agama sebagai kontrol sosial harusnya menjadi sesuatu yang sangat efektif, hal ini dikarena peran agama yang sifatnya transendental, harusnya mampu menjaga manusia untuk senantiasa pada koridor yang senantiasa baik, terutama dalam penguatan toleransi dan menjunjung tinggi tanggung jawab sosial, nilai nilai agama ini tentunya harus mampu terinternalisasi pada setiap individu, jika kita berbicara dalam konteks ke-Indonesiaan! sebab Undang Undang sudah menjamin setiap warganya bebas dan dan bahkan melindungi untuk memeluk agama yang di yakininya, sehingga tidak ada halangan bagi siapapun untuk mengkaji lebih dalam serta mengamalkan agama sebagai sebuah pedoman nilai yang dapat dijadikan panutan dalam bermasyarakat.

Hal lain yang menjadi sorotan adalah, peran agama itu sendiri yang ternyata menjadi terbiaskan , oleh orang orang yang tidak bertanggung jawab, dengan memanfaatkan atribut atribut agama untuk kepentingan kepentingan yang sebenarnya di luar esnsi fundamental dari ajaran agama itu sendiri, kondisi inilah yang nantinya bisa menimbulkan gesekan horisontal yang tentu pada akhirnya adalah kegagalam agama itu sendiri menjadi sebuah kontrol sosial.

Media Massa dan Kapitalisme

Media yang memegang peran strategis dalam kehidupan bernegara menjadi satu wadah untuk mengkomunikasikan sebuah informasi kepada masyarakat yang tidak lagi berpegang pada prinsip tanggung jawab sosial, bukan bermaksud untuk melakukan generalisasi pada semua media tetapi terdapat sebuah kecenderungan dimana arus informasi yang di sebarluaskan oleh media massa, baik itu cetak, elektronik maupun digital lebih kepada upaya propaganda yang sifatnya tendensius untuk kepentingan kapitalisme, iklan yang dibalut dengan informasi informasi apik sehingga terkesan apapun itu adalah sesuatu yang baik untuk kita terima, dan di saat yang sama masyarakat kita yang cenderung konsumtif dan kurang kritis terhadap arus informasi yang masuk justru menelan mentah mentah arus informasi yang ada tersebut. Yang pada akhirnya sebuah proses demonstration effect dari pola hidup diluar tatanan nila dari masyarakat Indonesia terjadi, banyak atau mungkin mari kita lihat di sekitar kita, di rumah kita sendiri bagimana pengaruh yang di timbulkan oleh arus informasi itu pada anggota keluarga kita, bagaimana pola barat menjejali dan berjibaku menggantikan cara pandang masyarakat kita tentang sesuatu yang baik bagi kehidupan ini. Dari fenomena ini, kita kemdian bisa mengambil satu point untuk dijadikan sebuah perenungan tentang betapa bahayanya arus informasi yang kita terima begitu saja tanpa memilah tentangbaik buruk dari konten yang ada di dalamnya, terutama bagi cara berpikir serta bersikap kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun