GNM Sosialisasikan Gerakan Nasionalisasi Migas :
“Pilih Capres 2014 Yang Berani dan Bertekad Laksanakan Nasionalisasi Migas”
oleh Teddy Syamsuri, Ketua Umum Lintasan ’66.
DR. Bernhard Limbong, S.Sos. SH. MH, mantan Ketua Inkopad dalam pengantar cover belakang buku ‘Ekonomi Kerakyatan dan Nasionalisme Ekonomi’ menuliskan bahwa sebuah pertanyaan klasik yang selalu kita dengar: mengapa Indonesia yang kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia hingga hari ini sekitar 200 juta rakyatnya masih hidup dalam kemiskinan, kebodohan, penyakit menular, ketimpangan sosial, ketakutan akan tindakan kekerasan dan penggusuran, kecemasan akan masa depan, serta ancaman gerakan separatis akibat kekecewaan daerah. Jawabannya: kekayaan sumber daya alam negara kita dikeruk setiap hari dan sebagian besar dinikmati oleh segelintir elit politik / birokrasi dan orang kaya raya di negeri ini, korporasi-korporasi multinasional, dan negara-negara maju.
Ditengah perdebatan pertanyaan dan jawaban klasik tersebut, tahun 2014 yang tahun pemilihan umum (pemilu). Baik pemilu legislatif untuk DPR, DPD dan DPRD Provinsi, Kabupaten, Kota (Pileg), maupun pemilu untuk pasangan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Hal yang menyangkut menguasai hajat hidup orang banyak dan sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, nyaris terkuburkan oleh hingar bingar panasnya politik jelang pemilu. Padahal amanat konstitusi negara tersebut apabila dilaksanakan dengan semangat para aparatur negara dan yang secara konsisten dijalankan oleh Pemerintah yang diberi kewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, panasnya politik jelang pemilu tidak akan ramai dan menyedot energi bangsa kita.
Baik rakyat kebanyakan di kalangan bawah dan tinggal dipedesaan, serta rakyat jelata yang berada diperkotaan, maupun kaum buruh, petani, nelayan, pedagang asongan, dan kaum marjinal, sejatinya belum bahkan tidak mengerti apa itu demokrasi, apa itu supremasi hukum, dan apa pula itu hak asasi manusia (HAM). Pasalnya yang mereka mengerti hanya bagaimana bisa hidup di negeri yang sudah 68 tahun merdeka dengan ‘kampung tengah’ yang terpenuhi dan terhindar dari kelaparan, dengan kesehatannya yang tetap baik kendati hanya dengan asupan gizi buruk, dengan pendidikan anak-anaknya yang tidak putus sekolah meskipun hanya dibangku sekolah dasar, baik untuk kehidupan dirinya maupun rumahtangganya masing-masing disetiap harinya. Hanya itu!
Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional Prof. DR. Amien Rais, MA. yang mantan Ketua MPR pada 3 Agustus 2013 di Hall A Basket, Senayan, Jakarta, pernah melarang calon presiden (Capres) yang tidak bisa memutus dominasi asing di negeri sendiri untuk maju dalam Pemilu 2014. Menurut dia, Indonesia butuh pemimpin yang berani melawan dominasi asing sehingga tidak menjadi jongos atau pembantu di tanahnya sendiri. Amien tegaskan, apakah Hatta Rajasa, Prabowo, Dahlan Iskan, Megawati, Mahfud MD atau siapapun. Presiden yang berani dan bertekad melakukan negosiasi ulang terhadap kontrak karya migas dan bagi hasil non migas, dia akan dukung, siapa pun orangnya.
Tokoh reformasi ini juga menyatakan slogan dan janji kampanye penegakan hukum, sekolah gratis, revitalisasi pasar, peningkatan olahraga dan lainnya hanya kata-kata kosong yang tidak bisa diukur nyata. Tugas berat Presiden 2014 nanti adalah untuk membebaskan cengkeraman ekonomi asing di sektor pertambangan, perbankan, pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perhubungan. "Jadi kalau ada Capres tak bisa memutus dominasi asing ini lebih baik jangan pernah nyapres. Hanya akan jadi beban negara", kata Amien. Beberapa dominasi yang menjadi perhatian Amien adalah kontrak tambang emas oleh PT Freeport di Papua. Kontrak ini dinilai sebagai sebuah penghinaan karena Indonesia sebagai pemilik dan tuan rumah hanya menerima 1% per tahun dari produksi perusahaan tersebut. "Itu tambang terbesar di muka bumi. Kita jadi negara yang sepenuhnya dungu," tandasnya.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) DR. Abraham Samad, SH. MH. saat memberikan materi di Rakernas III PDI Perjuangan di Hotel Ecopark, Ancol, Jakarta, pada 7 September 2013, mengaku prihatin dengan banyaknya potensi pemasukan negara yang hilang akibat kebijakan Pemerintah yang tidak jelas. Untuk itu, Samad mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersama-sama dengan KPK bergerak secara progresif memberantas korupsi. Samad yang mantan aktivis pergerakan antikorupsi di Makassar itu menyoroti banyak kebijakan impor yang tidak perlu dilakukan karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang jauh dari sekedar cukup. "Kita ini dibodoh-bodohi terus, impor-impor itu bohong karena KPK sudah mempelajarinya," kata Samad.
Samad juga menyoroti perihal lemahnya regulasi untuk melindungi sumber daya energi Indonesia. Samad mengatakan, dari 45 blok minyak dan gas (migas) yang saat ini beroperasi di Indonesia, sekitar 70% di antaranya dikuasai oleh kepemilikan asing. Kondisi semakin parah karena banyak pengusaha tambang di Indonesia yang tidak membayar pajak dan royalti kepada negara. Dalam perhitungan, potensi pendapatan negara sebesar Rp. 7.200 triliun hilang setiap tahun karena penyelewengan tersebut. Bila ditotal, kata Samad, pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batubara, dan nikel di setiap tahunnya dapat mencapai Rp. 20.000 triliun. Namun, pendapatan sebesar itu tergerus karena Pemerintah tidak tegas dalam regulasi dan kebijakan. "Bila dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp. 20 juta," ujar Ketua KPK ini.
Atas semua itu, Samad mendorong agar Pemerintah menasionalisasikan semua blok migas dan potensi sumber daya alam yang kini dikuasai oleh asing. Ia juga mendesak Pemerintah wajib memperketat izin pada pengusaha tambang dan harus patuh pada pembayaran royalti serta pajak menyusul adanya rencana membuka 144 sumur migas baru di Indonesia pada 2013. "Supaya tak ada lagi anak putus sekolah, supaya Indonesia kembali ke kejayaannya," begitu kata Ketua KPK.
Samad dalam dialog kebangsaan di Istora, Senayan, Jakarta, pada 21 Oktober 2013 juga mangatakan, bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah korupsi. Menurut perhitungannya, jika tidak ada korupsi, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia mencapai puluhan juta rupiah per bulan. Dari sektor migas saja, menurutnya, hampir 50% perusahan tambang di Indonesia itu tidak membayar royalti ke Pemerintah. Angka tersebut jika dirupiahkan mencapai Rp. 20 ribu triliun. "Coba dibagi dengan 241 juta jiwa. Maka kita akan menemukan angka pendapatan terendah adalah Rp. 30 juta per bulan," kata Samad. Ironisnya menurut Ketua KPK ini, para pengusaha itu bukan tanpa alasan tidak membayar royalti ke Pemerintah. Mereka justru menghabiskan uangnya lebih banyak untuk menyuap oknum aparat. Sebab itu Samad mengajak kaum buruh untuk tetap bersatu menjaga kekayaan negeri ini supaya tidak lagi dirampok oleh penguasa dan pengusaha hitam.
Menyusul pernyataan Capres Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Jenderal TNI (Purn) Wiranto, dalam acara deklarasi Majelis Cendikiawan Republik Indonesia (MCRI) di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sabtu 14 Desember 2013 yang menyebutkan, bahwa Indonesia saat ini tengah kehilangan kedaulatan. Salah satu penyebabnya, kekayaan migas yang dimiliki Indonesia justru banyak dikuasai perusahaan asing. Karena itu, jika dipercaya rakyat, Wiranto siap melakukan nasionalisasi terhadap tambang migas yang banyak dikuasai asing. Menurutnya, itu adalah amanat UUD 1945 Pasal 33. Karena itu pula, pemimpin wajib mengembalikan kedaulatan migas untuk dikelola untuk kemakmuran rakyat. “Minyak? Kita kembalikan saja pada Pasal 33. Para pemangku jabatan harus melaksanakan Pasal 33 tanpa ditawar-tawar. Harus benar-benar untuk kesejahteraan,” ujar Wirantor yang mantan Panglima ABRI/Menhankam di era Presiden Suharto.
Menurut Wiranto, Indonesia telah kehilangan kedaulatan atas migas. Negara kaya, tetapi yang menikmati negara lain. Banyak Undang-Undang (UU) terkait migas diakali untuk kepentingan kapitalis dari luar. Pernyataan itu dilontarkan Wiranto menanggapi tantangan Presiden Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) Ugan Gandar. Menurut Ugan, perut bumi Indonesia memproduksi minyak 830 ribu barel per hari. Namun hanya 120 ribu barel atau 15% yang dikelola Pertamina, dan selebihnya dikuasai perusahaan asing. Wiranto juga mengemukakan, memudarnya semangat kebangsaan dan persatuan disebabkan bangsa kehilangan musuh bersama. Disaat yang sama, globalisasi melumat nilai-nilai luhur dan budaya bangsa. “Globalisasi menjadi malapetaka bagi negara yang tidak siap karena menyebarkan budaya baru yang mereduksi nilai yang ada, membuat masyarakat merasa menjadi masyarakat dunia. Peran pemerintah dilemahkan dengan sistem liberalisasi,” ujar Ketua Umum DPP Partai Hanura ini.
Dari statemen ketiga tokoh nasional, Amien Rais, Abraham Samad dan Wiranto, dapat ditarik kesimpulan, bahwa hanya dengan nasionalisasi migas dan tambang, negeri kita ini akan menjadi negara yang benar-benar kaya bahkan bisa menjelma menjadi Macan Asia, sesuai dengan potensi kekayaan sumber daya alam anugerah Tuhan yang berlimpah. Sebab itu Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) yang di inisiatori oleh Binsar Effendi Hutabarat (Ketua Umum eSPeKaPe), Muslim Arbi (Koordinator Eksekutif GarpU), Teddy Syamsuri (Ketua Umum Lintasan ’66), dan Yasri Pasha (Kepala Kominfo GALAK), serta yang merupakan aliansi strategis civil society yang diparakrasi oleh eSPeKaPe (Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina) dan GarpU (Gerakan Perubahan), yang dibentuk bersamaan dengan Acara Deklarasi Nasionalisasi Migas di Tugu Proklamasi, Jakarta pada 18 Maret 2013, bertepatan memperingati HUT Satu Dasarwarsa FSPPB, berkeyakinan hanya dengan nasionalisasi migas Indonesia akan bangkit dan berjaya.
Agar keyakinan GNM dapat terwujudkan, kata kuncinya adalah dengan terpilihnya Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dalam Pilpres 2014 yang berani dan bertekad untuk melaksanakan nasionalisasi migas dan tambang. Hanya itu. Sebab itu, GNM hanya memberi syarat Capres 2014 harus punya komitmen untuk menasionalisasi migas dan tambang secara konsisten. Dengan Capres 2014 berani dan bertekad nasionalisasi migas dan tambang, maka jika rakyat berjumlah sekitar 240 juta dilibatkan untuk melunasi utang negara yang setiap jiwa dikenakan sekitar Rp. 9,1 juta, tidak akan lagi jadi beban rakyat. Sebaliknya dengan pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp. 20 juta, bahkan dari sektor migas saja jika dibagi dengan 241 juta jiwa, menurut Ketua KPK Abraham Samad akan ditemukan angka pendapatan terendah Rp. 30 juta per bulan. GNM tentu menaruh kepercayaan atas keterangan Samad itu, termasuk atas statemen Amien Rais yang kalau ada Capres tidak bisa memutus dominasi asing ini lebih baik jangan pernah nyapres, karena hanya akan jadi beban negara. Begu pula atas statemen Wiranto yang siap melakukan nasionalisasi terhadap tambang migas yang banyak dikuasai asing yang menurutnya adalah amanat Pasal 33 UUD 1945.
Maka dalam agenda GNM memasuki tahun 2014, sudah mulai melakukan nasionalisasi migas dengan seruan: “Pilih Capres 2014 yang berani dan bertekad melakukan nasionalisasi migas dan tambang”. Hanya dengan keberanian dan tekad Presiden terpilih dalam Pilpres 2014 berkomitmen melaksanakan nasionalisasi migas dan tambang, maka pertanyaan klasik yang dijadikan kata pengantar buku Bernhard Limbong dimana Indonesia yang kaya sumber daya alam dan sumber daya manusia hingga hari ini sekitar 200 juta rakyatnya masih hidup dalam kemiskinan, kebodohan, penyakit menular, ketimpangan sosial, ketakutan akan tindakan kekerasan dan penggusuran, kecemasan akan masa depan, serta ancaman gerakan separatis akibat kekecewaan daerah. Dimana kekayaan sumber daya alam negara kita itu juga dikeruk setiap hari dan sebagian besar dinikmati oleh segelintir elit politik / birokrasi dan orang kaya raya di negeri ini, korporasi-korporasi multinasional, dan negara-negara maju. Semua akan dapat terselesaikan jika nasionalisasi migas dan tambang benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah mendatang.
Lilitan utang negara yang begitu besar dan mengkhawatirkan, akan terlunasi dan Indonesia terbebas dari utang. Pembangunan infrastruktur yang stagnan dan banyak yang rusak, akan terbangun cepat dan bisa mendongkrak kemajuan negara yang modern. Begitu pula peta kemiskinan yang memperihatinkan, akan terentaskan dan Indonesia terselesaikan atau terbebas dari peta kemiskinan, kebodohan, kekumuhan, ketertinggalan, kesehatan buruk dan pengangguran. Termasuk karena masyarakat hidup adil dan makmur, rakyat hidup aman dan sentosa, kaum tani, buruh, nelayan dan pedagang asongan hidup sejahtera, aparatur negara dan birokrasi pemerintahan hidup serba berkecukupan dengan semangat menjalankan amanat konstitusi negara. Maka tertutup peluang akan terjadinya tindak kejahatan korupsi yang sudah menjadi musuh bersama (common enemy) bangsa Indonesia ini. Indonesia pun akan segera berjaya dan bisa menjelma menjadi Macan Asia. Sekali lagi, syarat Capres 2014 adalah Capres yang berani dan bertekad melaksanakan nasionalisasi migas dan tambang. Mudah-mudahan syarat mutlak ini dijadikan pegangan bagi setiap warga negara yang sudah punya hak pilih untuk tidak salah pilih. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan jalan. Amin.
Jakarta, 3 Januari 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H