Pensiunan : Privatisasi Pertamina Diharamkan Berdasarkan Konstitusi Negara
Jakarta, 9 Desember 2014.
Dari tahun ke tahun sejak reformasi, privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) menurut Ketua Umum Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe) Binsar Effendi Hutabarat, semakin meningkat saja. “Privatisasi sebagai bagian dari liberalisasi ekonomi di Indonesia diberlakukan sejak deregulasi dan dikorporasikannya perusahaan negara menjadi perusahaan umum. Menyusul dikenakannya kewajiban Pemerintah untuk melakukan bail out atas hutang bank-bank swasta yang menyebabkan defisit APBN. Maka pemerintah diminta oleh IMF melalui Letter of Intent memberlakukan UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) mengenai privatisasi BUMN sebagai perusahaan publik atau Persero”, katanya dalam siarannya kepada pers (9/12/2014)..
UU Migas ini katanya, kemudian diikuti oleh PP No. 31 Tahun 2003. “Pertamina inilah BUMN yang sejatinya paling awal yang diprivatisasi, dari Pertamina berdasarkan UU No. 8 Tahun 1971 yang diubah menjadi PT Pertamina (Persero) pada tanggal 9 Oktober 2003. Padahal sesuai dengan konstitusi, negara mempunyai kewenangan penuh dalam mengelola sumber daya alam migas demi kemakmuran dan keadilan masyarakat, yang dalam hal ini secara kelembagaan dilimpahkan melalui Pertamina. Bagi negara, keberadaan Pertamina itu memiliki dimensi sosial ekonomi” ungkap Binsar Effendi yang Wakil Ketua Umum FKB KAPPI Angkatan 1966..
Privatisasi ini secara mikro tutur Binsar Effendi yang Komandan Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM), bertujuan meningkatkan produktivitas, profitabilitas, efisiensi, dan pengurangan utang dan menekan beban BUMN. “Hal ini didasari pemikiran bahwa kekuatan pasar paling efisien untuk mengendalikan kegiatan ekonomi, karena itu penyerahan pengelolaan pelayanan publik pada sektor swasta akan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia. Dengan diterbitkan berbagai perundang-undangan seperti UU BUMN, UU Ketenagalistrikan, UU Migas dan sebagainya, diharapkan mampu merubah performa BUMN menjadi lebih profesional dengan mengedepankan keuntungan ekonomis” ujarnya.
Namun pada realitanya sudah banyak pengelolaan sumber daya alam di Indonesia yang dikelola swasta, buktinya kurang bisa proporsional dalam melakukan sharing untuk kuntungan dalam negeri. Belum lagi dampak eksplorasi alam yang merusak lingkungan dan marginalisasi masyarakat lokal di kawasan eksplorasi. Kasus PT Newmont Minahasa, PT Lapindo Brantas, dan Freeport, adalah contoh yang bisa menggambarkan bagaimana potret kelam pengelolaan sumber daya alam yang diserahkan kepada swasta atau perusahaan asing akibat dari privatisasi.
PT Pertamina (Persero) kabarnya mengantongi pinjaman valuta asing senilai US$ 1,8 miliar setara dengan Rp. 21,6 triliun dari sindikasi 12 perbankan lokal dan luar negeri. Berdasarkan informasi, Pertamina meraih pinjaman senilai US$ 1,8 miliar dengan jangka waktu 5 tahun pada Oktober 2014. Fasilitas pinjaman sindikasi 12 perbankan itu secara resmi ditandatangani pada 18 November 2014. Pinjaman tersebut terbagi dua, yakni sebesar US$ 500 juta merupakan onshore, dan siasanya senilai US$ 1,3 miliar adalah offshore secara bertahap..
Meski Pertamina telah meraup fasilitas pinjaman berupa dana dari luar negeri, tapi perolehan tersebut tidak serta merta digunakan. Sebab Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto harus melaporkan rencana penggunan dana hasil global bond itu. Dan sebelum fasilitas pinjaman itu digunakan, tutur Ketua Umum eSPeKaPe, pemerintah meminta dirut yang baru untuk menjelaskan secara rinci. Sehingga Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Pertamina pada 2015 mendatang harus sejalan dengan program-program yang telah dicanangkan oleh Pemerintah. Selain itu, Pemerintah juga akan melakukan evaluasi secara menyeluruh utang valas maupun rupiah yang dimiliki oleh Pertamina.
Pada 1 Desember lalu, Menteri BUMN Rini M Soemarno, meminta kepada Pertamina untuk menerbitkan surat utang perusahaan atau obligasi di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal itu agar terjadi transparansi di tubuh perusahaan pelat merah yang mengurus sektor migas tersebut. Saat ini Pertamina telah mengeluarkan global bond atau obligasi internasional dan telah dianggap sebagai perusahaan publik yang non listed. Jadi utang Pertamina yang diminta Pemerintah terbuka untuk masyarakat luas.
Tapi menurut Ketua Umum eSPeKaPe, dengan tercatatnya utang, Pertamina sudah menjadi perusahaan terbuka di lantai bursa. “Sekalipun Menteri BUMN menyatakan tidak bisa dimiliki sahamnya oleh masyarakat dan untuk mencapai transparansi Pertamina tidak perlu menjadi listed company di lantai bursa, rezim privatisasi sudah mencengkramnya. Artinya, privatisasi Pertamina tinggal tunggu waktu saja. Kami, para pensiunan yang telah merintis, membangun dan membesarkannya, dengan tegas mengatakan, bahwa privatisasi Pertamina diharamkan berdasarkan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945”, pungkas Binsar Effendi Hutabarat tandas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H