Mohon tunggu...
Teddy Syamsuri
Teddy Syamsuri Mohon Tunggu... lainnya -

Ketua Umum Lintasan '66, Wakil Sekjen FKB KAPPI '66, Pendiri eSPeKaPe, Direktur Kominfo GNM dan GALAK, Inisiator AliRAN.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Lintasan ’66 : Tanpa Petani Tidak Ada Swasembada Pangan

18 April 2015   16:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:57 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Lintasan ’66 : Tanpa Petani Tidak Ada Swasembada Pangan

Jakarta, 18 April 2015.

Dalam dialog silaturahmi Lembaga Informasi dan Komunikasi Pembangunan Solidaritas Angkatan 1966 (Lintasan ’66) bertema “Kedaulatan Pangan Wujudkan Ekonomi Berdikari” hari Senin sore (17/4) yang diadakan di Hotel Sofyan Betawi, Jl. Cut Mutiah, Jakarta Pusat, tercetuskan pernyataan dari organisasi independen yang didirikan oleh aktivis KAPPI Angkatan 1966 ini, adalah bahwa sesungguhnya tanpa petani tidak akan ada swasembada pangan.

Ketua Umum Lintasan ’66 Teddy Syamsuri menegaskan, tidak cukup bagi pemerintah untuk melindungi konsumen dan petani dari permainan harga maupun satuan komoditas impor pangan yang diciptakan mafia perdagangan dengan menyerahkan pada optimisme petani dan kebijakan pemerintah kemudian menetapkan peraturan presiden (perpres), yang merupakan amanat dari Undang-Undang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2013 tanpa pemerintah menaruh keberpihakan kepada petani. “Tidak cukup pada perpres” tegasnya.

Ketua Tetap Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) bidang pangan, Fransiscus Welirang (Franky), usai menjadi pembicara dalam diskusi Lintasan ’66 itu membenarkan akan hal itu. Franky yang juga CEO PT Indofood Sukses Makmur Tbk. mengakui jika kedaulatan pangan perlu disuarakan terus menerus agar terbangun nasionalisme dan revolusi mental petani, sesuai dengan yang diharapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) semasa kampanye Pilpres 2014.

Tetapi sayangnya menurut Franky, “Kedaulatan pangan itu masih pada tataran jargon belaka. Pemerintah belum mampu memposisikan kedaulatan pangan secara pasti, saat hakikat kedaulatan itu adalah hak konstitusi petani untuk menentukan masa depannya”.

Ketika Franky memberi pemarapan, ia lebih menyoroti data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, dimana datanya diduga banyak penggelembungan. Seperti luas lahan pertanian, serta produksi gabah dan jagung. Produksi padi 70 juta ton gabah kering panen (GKP), menghasilkan keuntungan atau kelebihan pendapatan (rendemen) jenis katul 40% sejumlah 28 juta ton dan beras 60% sejumlah 42 juta ton. Dengan produksi padi 5 ton perhektar dari luas tanam 14 juta hektar, dihubungkan dengan populasi penduduk tahun 2014 seputar 250 juta jiwa, berarti kebutuhan beras 168 kilogram perorang pertahun.

Akan tetapi komitmen data BPS justru tercatat rata-rata pertahun dengan dua setengah panen adalah seluas 5,6 juta hektar. Padahal, ujar Franky, dari seluas tanam atau sawah 5,6 juta hektar itu terdiri dari lahan beririgasi hanya 3 juta hektar dan 60% beririgasi rusak seluas 1,2 juta hektar. “Artinya hanya 4,2 juta hektar luas tanam itu, tapi dalam data BPS digelembungkan 1,4 juta hektar menjadi 5,6 juta hektar. Pantas saja jika data impor beras tahun 2014 sebanyak 830 ribu ton beras”, ujarnya.

Begitu juga dalam menyoroti konsumsi beras penduduk yang realitanya membutuhkan 168 kilogram perorang pertahun. Tetapi data BPS kata Franky, menghitung kebutuhan beras secara bulat itu 466,7 gram perorang perhari untuk sekali makan membutuhkan beras 156 gram perorang, atau untuk 3 kali makan membutuhkan 225 gram perorang perhari. “Disini konsumsi beras dari data BPS justru digelembungkan 141,7 gram perorang perhari”, ungkapnya.

Untuk jagung, lanjut Franky, data BPS mencatat produksinya 18 juta ton pipil kering pertahun. Tapi untuk 40 juta orang yang makan jagung hanya membutuhkan 14 juta ton pertahun, terdapat penggelembungan 4 juta ton pertahun. “Sehingga pantas jika data impor jagung tahun 2014 sejumlah 3,254 ton, karena produksi dari luas lahan 3,6 juta hektar hanya menghasilkan 5 ton perhektar. Ketika data itu dikejar, yang hasil survey kemudian ditutup dan tidak lagi dipublish”, tutur Franky seraya mengeluhkan, “Wajar saja jika petani tak akan pernah kaya”.

Sementara itu Ketua Umum DPP Serikat Tani Islam Indonesia (STII) DR Ir Abdullah Puteh sebagai narasumber juga, mengakui concern terhadap 30% populasi penduduk yang kaum petani tapi tidak bisa hidup sejahtera. Sementara menurut hematnya, pemberian bantuan berupa hand traktor dari pemerintah tidak akan mampu menyelesaikan masalah, karena lahan sawah pertanian di Indonesia tidak semua datar. Begitu pula menurut hemat mantan Gubernur NAD, membangun banyak bendungan sudah jelas tidak akan mampu mengaliri lahan sawah yang letaknya dibukit-bukit atau dilereng pengunungan. “Pola subik yang ada di Bali mestinya dijadikan acuan saja, dimaksud agar berlakunya sistem pertanian yang komprehenship”, ujarnya.

Abdullah Puteh juga mengkritisi dengan masih diterapkannya sistem pembangunan pertanian yang sentralistik, dimana kebijakannya tidaklah memperhatikan realita adanya perbedaan sifat lahan di setiap daerah. “Saya masih berharap implementasi otonomi daerah berlaku juga untuk diterapkan dalam pembangunan pertanian di daerah. Tanpa ini, tentunya pembangunan pertanian akan berjalan timpang dan kurang adil. Pasalnya tidak cukup bagi kelompok petani hanya diberi hand traktor dan dengan membangun banyak bendungan, apabila lahan pertanian di daerah tidak dilakukan dengan cara pendekatan otonomi daerah yang hakiki”, tandas Puteh jang juga mantan Ketua Umum BPP FKB KAPPI Angkatan 1966.

Kemudian Franky mengeluhkan duduk persoalan pupuk bersubsidi yang pada realitanya, menurutnya, petani itu tidak mempersoalkan jika pupuk tidak disubsidi. “Yang dibutuhkan petani jika musim tanam dan butuh pupuk, harusnya tersedia. Tapi karena satu dan lain hal saat petani butuh pupuk, tiba-tiba tidak tersedia, malah terjadi kelangkaan. Tentu, jajaran direksi PT Pupuk Indonesia harus bertanggungjawab pada konteks ketersediaan pupuk saat petani membutuhkan. Nampaknya tidak ada persoalan pupuk disubsidi atau tidaknya, petani hanya minta ada pupuknya”, katanya seraya perlunya peran koperasi dalam rangka pengadaan pupuk bagi petani.

“Tapi koperasi harus dibenahi. Selama legalitasnya cuma dikeluarkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM dan bukan dari Kementerian Hukum dan HAM, azas legal standingnya tentu tidaklah kuat berdasarkan hukumnya. Koperasi menjadi illegal”, imbuh Franky.

Dalam diskusi yang diikuti oleh sebagian besar aktivis pergerakan yang peduli soal pangan dan pertanian, diperoleh kesimpulan agar pihak pemerintah berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap nasib petani secara tepat dan benar. Pada tataran realita jika suatu daerah sedang membangun kawasan industri, para petani di daerah itu lalu berpindah kerja ke industri tersebut, yang akibatnya jumlah petani semakin tergerus karena tidak lagi mampu mempertahankan dirinya sebagai petani dari kesulitan hidup.

“Maka cetusan tanpa petani janganlah bermimpi ada swasembada pangan, sebagai pernyataan tegas dari diskusi yang kami gelar ini. Hendaknya dijadikan evaluasi pihak pemerintah terkait”, pungkas Ketua Umum Lintasan ’66 Teddy Syamsuri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun