Rilis GarpU, 19 Januari 2014.
Jangan Korbankan Rakyat Dalam Semangat Perubahan
Dalam Pilpres 2014
Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra pada 13 Desember 2013, mengajukan Pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (PIlpres) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pakar Hukum Tata Negara ini mengakui, memang UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) ini sudah pernah beberapa kali diuji di MK. Akan tetapi, permohonannya kali ini berbeda dengan beberapa permohonan sebelumnya, sehingga tidak terjadi pengulangan atau nebis bin idem. Sebab yang dimohon untuk diuji adalah norma Pasal 3 ayat 4, Pasal 9, Pasal 14 ayat 2 dan Pasal 112 UU Pilpres terhadap Pasal 4 ayat 1 pasal 6a ayat 2, Pasal 7c, Pasal 22e ayat 1 2 dan 3 UUD 1945.
Seperti diketahui menurut Yusril, bahwa dalam sistem republik itu pemilihan presiden lebih dulu diadakan, baru kemudian diadakan pemilihan legislatif atau pemilihan presiden dan legislatif dilakukan bersamaan. Tidak mungkin pemilihan legislatif diadakan lebih dulu, baru kemudian diadakan pemillihan presiden. Itu hanya ada dalam sistem parlementer. Lebih lanjut Yusril katakan, sistem presidensial itu diatur dalam Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 7c dari UUD 1945. Lalu kemudian apakah sebenarnya maksud rumusan Pasal 6a ayat 2 dan Pasal 22e ayat 1, 2 dan 3 UUD 1945 yang didalam Pasal 6 ayat 2 itu mengatakan, bahwa pasangan calon presiden (Capres) dan wakil presiden (Cawapres) diusulkan oleh partai politik (Parpol) peserta pemilihan umum (Pemilu) sebelum pelaksanaan Pemilu dilaksanakan. Kemudian, lanjut Yusril, Pasal 22 e ayat 1, 2 dan 3 mengatakan bahwa Pemilu dilaksanakan sekali dalam lima tahun. Pemilu itu, ujar dia, adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD dan DPD serta Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Yusril menafsirkan pasal-pasal itu adalah ketentuan Pasal 6a ayat 2, bahwa Parpol harus mencalonkan pasangan Capres sebelum pelaksanaan Pemilu seperti dikatakan oleh Pasal 6a ayat 2 UUD 1945. Yang dimaksudkan pemilihan tersebut adalah Pemilu anggota DPR, DPRD dan DPD (Pileg). Itu di dalam Pasal 22e UUD 1945 dikatakan, bahwa Pemilu yang pesertanya adalah Parpol, adalah untuk memilih anggota DPR dan DPRD. Jadi bukan Pemilu yang lain.
Yusril meyakini bahwa jadwal Pemilu 2014 tak akan terganggu, jika MK mengabulkan gugatannya tersebut. Karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemudian hanya mengundurkan pelaksanaan Pileg menjadi sama dengan Pilpres. Selain itu, kata dia, hal itu pun tak mengganggu persoalan logistik Pemilu 2014, sebab rencananya Pileg dilaksanakan bulan April dan Pilpres dilaksanakan bulan Juli. Pileg itu yang diundurkan ke bulan Juli serentak, walaupun surat suara sudah dicetak tidak ada masalah.
Capres Partai Hanura Wiranto, mengaku mendukung langkah Yusril menggugat UU Pilpres di MK. Dirinya menambahkan, persyaratan Parpol dalam mengajukan Capres dengan persyaratan 25% suara sah nasional partai dinilainya tidak mewakili rakyat, dan menyalahi UUD 1945. Wiranto mengapresiasi keinginan Yusril ini, karena kalau MK mengabulkan, maka semua partai bisa mengajukan capres sendiri. Komisioner Komnas HAM, Maneger Nasution memberi apresiasi dan dukungan juga atas langkah yang diambil Yusril dan hal itu adalah hak asasi setiap warga negara yang dijamin UUD 1945 dan UU 39 Tahun 1999 tentang HAM. Namun demikian, ia menyatakan, selanjutnya berpulang pada kearifan MK. Harapan apapun hasilnya harus segera diputuskan agar tidak mengganggu tahapan Pemilu.
Ketua Komisi II DPR, Agun Gunandjar Sudarsa menyatakan, jika MK akhirnya mengabulkan gugatan Yusril tentang permohonan Pileg dan Pilpres secara serentak, mau tidak mau putusan MK yang bersifat final dan mengikat itu harus dilaksanakan. Namun, Agun mengingatkan bahwa tetap harus ada perangkat hukum untuk melaksanakan Pileg dan Pilpres secara bersamaan. Karenanya Agun mengatakan, jika putusan MK justru menimbulkan kekacauan, maka sebaiknya diabaikan saja. Sebab, harus ada hal yang lebih diutamakan, yaitu kepentingan bangsa dan negara. Sebab logikanya, hukum itu untuk ketertiban.
Alasan Agun kalau putusan MK itu berpotensi bikin keributan dan tidak usah dijalankan, karena belum tentu bermanfaat untuk bangsa dan negara. Lebih lanjut politisi Partai Golkar itu menjelaskan, dari sisi ketersediaan waktu, untuk Pileg sudah tidak mungkin lagi dilaksanakan secara serentak dengan Pilpres jika MK mengabulkan permohonan Yusril. Agun menyebut Pemilu serentak baru bisa dilakukan pada 2019. Kecuali untuk Pillkada serentak, itu sangat mungkin dimulai dalam tahun 2015. Tapi untuk Pemilu serentak, peluangnya ada di Pemilu tahun 2019.
Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar, Akbar Tandjung, mengenai Pemilu serentak dari sisi Capres diutarakan, salah satunya adalah penundaan Pileg tapi akan muncul 12 pasang Capres dan Cawapres, karena Parpol peserta Pemilu 2014 bisa mengajukan jagoannya masing-masing. Ini konsekuensinya. Menurut Akbar, dari dihapusnya Parliementary Treshold (PT) kalau MK kemudian penuhi gugatan Yusril, secara teoritis pelaksanaan Pemilu serentak itu bisa saja, tapi secara teknis sulit dilaksanakan. Kemungkinannya Pileg bisa ditunda, tapi Pilpres tidak mungkin ditunda. Pileg disiapkan setelah Pilpres, karena pelantikan Pileg itu bulan Oktober. Sementara pelantikan Presiden dan Wapres terpilih harus dilakukan sebelum pelantikan anggota DPR terpilih.
Ketua Fraksi PDI Perjuangan di MPR, Yasonna H Laoly katakan bila gugatan Yusril disetujui MK, maka agenda Pileg dan Pilpres akan molor dan kacau. Ini berakibat pada penundaan pelantikan anggota DPR, DPD, dan pelantikan Presiden dan Wapres. Molornya pelantikan anggota DPR, DPD dan Presiden dari jadwal yang ditentukan, berkonsekuensi pada pelanggaran Konstitusi karena jabatan anggota DPR, DPD dan jabatan Presiden hanya lima tahun. Karena hal ini juga menyangkut peralihan elit-elit kepemimpinan nasional, maka potensi kekacauan dan kegaduhan politik sangat besar. Menurut Laoly, jangan kita menganggap sepele soal ini yang berpotensi munculkan kegaduhan yang tidak perlu, dan mungkin saja terjadi konflik politik dari keputusan MK.