GNM Akan Uji Materi UU Penanaman Modal Ke MK
Rilis GNM, 20 Juni 2014.
Dilatarbelakangi oleh adanya Pasal 7 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menyatakan, pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang. Ayat (2) yang menyatakan, dalam hal pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan, pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Dan ayat (3) yang menyatakan, jika diantara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi, penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.
Dalam salah satu konsiderannya, karena dalam menghadapi perubahan perekonomian global serta keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional, perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional.
Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM) dalam kesimpulan sementara hasil dialog silaturahmi “Tekad Mewujudkan Ketahanan Energi Nasional” hari Kamis, 19 Juni kemarin di Galeri Cafe TMI Jakarta Pusat, mencatat UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 yang dalam Pasal 7 ayat (1) secara eksplisit mengharamkan tindakan nasionalisasi yang juga berdasarkan konsideran sesuai dengan amanat TAP MPR No. 16 Tahun 1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, kebijakan penanaman modal selayaknya selalu mendasari ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, dengan mengingat Pasal 33 UUD 1945, sangatlah kontraproduktif.
“UU Penanaman Modal yang disahkan Presiden SBY pada 26 April 2007 itu, dan dalam penjelasannya disebut cukup jelas. Khusus untuk investasi di sektor minyak dan gas bumi (migas). Kekayaan alam seperti migas yang dikuasai oleh negara, terbukti lebih 70 persen dikuasai korporasi asing. Begitu pula yang harusnya hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, justru masih banyak menyisakan angka penduduk miskin yang kian meningkat” ungkap Komandan GNM yang Ketua Umum Solidaritas Pensiunan Karyawan Pertamina (eSPeKaPe) dalam keterangannya kepada pers (20/6/2014).
Disamping itu menurut Binsar Effendi yang juga Wakil Ketua Umum FKB KAPPI Angkatan 1966, kita pada realitanya tidak banyak yang tahu, bahwa Indonesia memiliki tak kurang 67 perjanjian investasi bilateral (Bilateral Investment Treaties/BIT) dengan negara lain hingga kini. “Sebenarnya keberadaan BIT sangat relevan pada masa-masa awal pembangunan sebagai salah satu pemanis agar investor asing mau menanamkan modal. BITyang memuat komitmen pemerintah untuk melindungi investor asing dan investasinya dari berbagai gangguan dan kerugian yang bersifat nonkomersial. Termasuk dari gangguan keamanan akibat perang, kerusuhan sosial, atau yang serupa. Maka pemerintah dilarang melakukan tindakan nasionalisasi dalam arti luas (expropriation)”, bebernya.
Manakala pemerintah, misalnya, lalai atau sengaja melakukan nasionalisasi atau gagal menjaga keamanan sehingga menyebabkan kerugian investor asing, investor itu dapat menuntut pemerintah membayar kompensasi. Bahkan, sangat terbuka bagi investor asing itu membawa tuntutannya ke arbitrase internasional. “Inilah sejatinya yang kemudian dijadikan alasan pemerintah mengharamkan nasionalisasi, dan Presiden SBY sendiri mengancam tidak akan mendukung calon presiden (Capres) dalam Pilpres 2014 yang menyuarakan nasionalisasi aset” imbuh Binsar Effendi.
Koordinator Eksekutif GNM yang Koordinator Eksekutif Gerakan Perubahan (GarpU) Muslim Arbi menjelaskan jika BIT pada prinsipnya hanya memuat dua hal, yaitu kewajiban pemerintah melindungi investor asing dan investasinya, serta hak-hak investor asing dan investasinya. “Itulah sebabnya pemerintah mengaturnya dengan salah satunya menuangkan Pasal 7 pada UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007.
Padahal bentuk perlindungan sangat luas. Tidak hanya yang disebutkan sebelumnya, tetapi juga perlakuan yang ‘adil dan sama rata’ (fair and equitable treatment), dan pemberian perlindungan dan keamanan sepenuhnya (full protection and security). Jadi, tidak ada batasan jelas bagi kedua provisi tersebut. Artinya, baik UU No. 25 Tahun 2007 maupun BIT sebagai turunannya sama sekali tidak merujuk amanat Pasal 33 UUD 1945, khususnya di ayat (2) dan (3)” cetusnya.
Investasi yang dilindungi pemerintah mencakup seluruh jenis, baik berwujud (tangible), seperti aset, maupun tidak berwujud (intangible), seperti hak cipta, merek, dan paten. Cakupan perlindungan yang sangat luas terhadap jenis investasi yang nyaris tak terbatas itu, menurut Muslim Arbi, sangat membuka peluang bagi investor asing untuk menggunakan BIT sebagai dasar menyelesaikan sengketa yang timbul dengan pemerintah.
“Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) telah mencatat, perkembangan sengketa antara investor asing dan pemerintah host country semakin meningkat. Jika pada tahun 1990-2000 hanya tercatat 37 kasus, pada tahun 2000-2010 tercatat 355 kasus, baik yang statusnya masih dalam proses atau sudah diputuskan” katanya.
Penyelesaian sengketa pada umumnya melalui lembaga arbitrase seperti International Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID) ataupun ad-hoc, seperti United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL). BIT menjadi dasar pengajuan sengketa beberapa perusahaan. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi asing sejak 2010 sampai 2012 meningkat cukup tajam, masing-masing sekitar US$ 16 miliar (2010), US$ 19,5 miliar (2011), dan US$ 25 miliar (2012). Kuartal I-2013 tercatat US$ 7 miliar realisasi investasi asing langsung. Lebih dari separuh (US$ 4 miliar) berasal dari Jepang, AS, Korea Selatan, Singapura, dan Inggris.
“Adapun sektor yang paling diminati adalah pertambangan (19,5 persen), industri kimia dasar, barang kimia dan farmasi (17,4 persen), industri logam dasar, barang logam, mesin dan elektronik (14,8 persen), industri alat angkutan dan transportasi lainnya (12,3 persen), industri kertas, barang dari kertas, dan percetakan (8,2 persen), industri lainnya (27,8 persen). Namun, realitasnya jauh lebih besar karena BKPM tidak mencatat investasi di sektor migas, keuangan, dan rumah tangga. Itulah sebabnya dinilai oleh pengamat migas banyak kebocoran” kata Muslim Arbi.
“Tragisnya jika di jaman Presiden Soeharto segala ijin penanaman modal asing lewat satu pintu dengan satu tandatangan presiden, sekarang seorang deputy BPKM pun bisa menandatangani perijinan sekalipun asal disesuaikan dengan BIT” lanjutnya.
Seiring jumlah investasi asing yang semakin meningkat tiap tahun, seharusnyalah tutur Muslim Arbi, pemerintah semakin mewaspadai potensi dari implikasi perlindungan kepada investor asing. Sebagai negara yang ikut menandatangani konvensi ICSID, anggota UNCITRAL, dan pemilik 67 BIT, Indonesia harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Beberapa kasus bisa dijadikan pelajaran. Sebut saja kasus Amco Asia Corporation (1980-an), Karaha Bodas Company (1990-an), dan yang terbaru, Churcill (2012). Kasus terakhir ini menggunakan BIT Indonesia-Inggris tahun 1976 sebagai rujukan atas gugatan kepada pemerintah US$ 2 miliar. BIT Indonesia-Inggris 1976 itu juga digunakan Rafat Ali untuk menggugat pemerintah dalam kasus Bank Century.
“Beberapa kasus itu bisa dirujuk pemerintah dalam meninjau kembali perjanjian investasi yang dimiliki, termasuk BIT. Salah satu yang dapat dilakukan, menegosiasi ulang BIT. Misalnya, menambah beberapa pasal pengaman dalam BIT, antara lain mengecualikan kebijakan pemerintah demi kepentingan publik, termasuk kebijakan memelihara kestabilan sistem keuangan dan perlindungan konsumen. Sehingga ada keseimbangan dan sikap saling menghormati antara investor asing sebagai pemilik modal dan pemerintah sebagai tuan rumah yang berdaulat” katanya tegas..
Jika mengacu pada Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) sejak 2012, sergah Binsar Effendi, Lemhanas sudah menilai kondisi energi Indonesia saat ini dalam keadaan rentan terhadap ancaman. “Berdasarkan studi yang dilakukan Lemhanas, ketahanan energi Indonesia terancam menuju tahun 2020. Dan Dewan Pakar Labkurtannas Lemhanas, Dadan Umar Daihani dalam Dialog Energi Tahun 2012 Ketahanan Energi Nasional Menuju 2050 di Jakarta pada 24 Oktober 2012 pun mengatakannya demikian”.
Salah satu penyebab rentannya ketahanan energi, menurut penilaian GNM, karena tingginya ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi impor. “Produksi minyak bumi dalam negeri pada 2012 rata-rata 900 ribu barel per hari, sudah tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan minyak bumi yang telah mencapai 1,35 juta barel per hari. Oleh karena itu, Indonesia terpaksa mengimpor minyak bumi dengan volume yang terus bertambah.
Selain itu GNM menilai proses diversifikasi energi yang lamban membuat posisi Indonesia semakin terjepit. Diversifikasi energi dari semula minyak bumi harus segera digantikan dengan sumber energi lainnya, terutama dari sumber energi terbarukan yang sebenarnya jumlahnya sangat berlimpah. Sehingga diversifikasi energi harus cepat karena ketergantungan kita akan minyak bumi harus segera dihentikan” ungkap Binsar Effendi.
Dalam forum dialog GNM memang terungkap bahwa pemerintah diharapkan agar dapat memberikan insentif kepada para pelaku bisnis di sektor energi terbarukan. Anggota Wantim Kadin Indonesia Imron Rosyidhi sebagai salah seorang narasumber menegaskan agar subsidi energi fosil seperti BBM, secara bertahap harus segera dihapus agar masyarakat perlahan-lahan dapat beralih kepada penggunaan energi terbarukan. Terkait hal itu, Imron menyatakan bahwa Kadin kerap mendorong arah kebijakan energi nasional itu untuk mengurangi subsidi energi.
“Akan tetapi, pemerintah selaku pengambil keputusan tidak dapat melakukan hal itu. Semestinya subsidi dikurangi secara bertahap, Kadin sudah dorong secara moral, tapi pengambil keputusan ada di pemerintah yang begitu kuat kepentingannya di dalam pemerintah sendiri untuk tidak mencabut subsidi energi”, membuat Anggota Wantim Kadin ini agak curiga bahwa kemungkinan ada campur tangan pihak asing agar kondisi politik energi nasional tidak stabil.
Senada dengan Imron, Pendiri Parindo Panji RH dan Direktur Global Development RDK Erianto yang juga narasumber dialog GNM, mengkritisi anggaran negara menjadi habis untuk subsidi yang bersifat konsumtif dan menggerus anggaran infrastruktur. Kedua pemerhati ini mencurigai jangan-jangan infiltrasi asing juga kuat agar kita tidak stabil, maka dana itu habis untuk konsumtif tanpa ada pembangunan infrastruktur.
Sebab itu, GNM juga patut memperingatkan kepada kedua capres, baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo (Jokowi), agar hati-hati dalam menerapkan kebijakan soal ketahanan energi nasional, meningkatnya anggaran subsidi BBM, tapi tanpa harus menghapuskan subsidi BBM bagi masyarakat yang kemampuan daya belinya lemah, jika salah satunya terpilih menjadi presiden 2014-2019.
Dalam penutup resume sementaranya GNM tetap menegaskan bahwa nasionalisasi migas adalah suatu keniscayaan, karena hal ini terkait dengan paradoknya kekayaan migas yang seharusnya dikuasai negara tapi realitanya dikuasai oleh asing. “Termasuk yang mestinya untuk dipergunakan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat, buktinya menyisakan penduduk miskin yang makin meningkat. Sebab itu sumber masalah harus diberhentikan, Pasal 7 UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 harus dihapus, dan semua isi BIT yang berisi perlakuan tidak adil dan tidak sama rata serta pemberian perlindungan dan keamanan yang tidak sepenuhnya wajib diperjuangkan pemerintah.
“Semangat inilah yang sejatinya disebut nasionalisasi, yang bukan utopis atau tidak realistis. Tapi demi kedaulatan perekonomian negara atau berdikari dibidang ekonomi atas ketahanan energi nasional, nasionalisasi migas bukan barang haram. Siapapun yang terpilih menjadi presiden, GNM tuntut untuk melaksanakannya, untuk benar benar mewujudkan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang hakiki” kata Binsar Effendi tegas dalam mengakhiri keterangannya..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H