Kemudian adanya pernyataan Menteri ESDM Sudirman Said yang cukup mengejutkan, karena mengakui dalam rapat bersama Komisi VII DPR pada 3 Februari 2015, yang berkeluh kesah bahwa hingga saat ini Pertamina belum lepas dari intervensi politik, sehingga tidak semua kebijakan yang dilakukan Pertamina diapresiasi. Maka menurut Sudirman Said, jika kondisi ini terus berlangsung, Pertamina bisa bubar dan kembali kepada transaksi yang tidak bersih. Lalu Sudirman pun berharap, Komisi VII DPR bisa menjaga Pertamina lepas dari intervensi politik. “Ini menjadi kekanak-kanakan. Sebagai menteri, tidak seharusnya Sudirman said mengatakan demikian”, kata Binsar Effendi ketus.
“Saat Dirut Pertamina Karen Agustiawan memohon agar Pertamina tidak di intervensi, kami di eSPeKaPe mendukung pernyataan Bu Karen. Tapi jika oleh Menteri ESDM Sudirman Said dikatakan Pertamina bisa bubar apabila kondisi intervensi terus berlangsung, jelas menyinggung perasaan pensiunan Pertamina yang sudah susah payah merintis, membangun dan membesarkan Pertamina” ujarnya seraya menyesalkan jika seorang menteri tak pantas mengatakan demikian, karena tugas menteri juga diantaranya untuk mengawasi Pertamina. “Ada wakil Kementerian ESDM yang menjabat komisaris Pertamina”.
Belakangan target lifitng minyak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 turun dari 849 ribu barel per hari (bph) menjadi 825 ribu bph. Usulan lifting minyak pada 28 Januari 2015 lalu ini disepakati oleh semua fraksi, setelah Pemerintah memberikan angka realistis raihan antara 810 ribu hingga 825 ribu bph yang oleh Kepala SKK Migas, Amin Sunaryadi, mengatakan angka itu diformulasikan berdasarkan hitungan engineering dan data di lapangan sebelum dilaporkan kepada Menteri ESDM pada akhir November 2014.
Bahkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) mengubah target dengan menurunkan produksi hingga 15 ribu bph. Selain itu ada kontraktor yang menunda operasi yang diperkirakan akan turun lagi 10 ribu barel. Padahal produksi lifiting minyak sebenarnya masih dapat digenjot pada kisaran lebih dari 840 ribu barel per hari. Menurut Binsar Effendi, “Raihan target lifting minyak bergantung pada keseriusan Pemerintah”.
Sebab Pasal 22 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2001 sepanjang mengenai kata-kata “ paling banyak”; yang berbunyi “BU atau BUT wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri” dinyatakan dalam Putusan MK bertentangan dengan UUD 1945. Dari bunyi pasal tersebut bahwa BU atau BUT wajib menyerahkan paling banyak 25% bagiannya dari hasil produksi migas untuk memenuhui kebutuhan dalam negeri, dapat mengakibatkan pihak BU atau BUT tidak melaksanakan tanggungjawabnya untuk turut memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri sebagaimana diamanatkan Pasal 1 angka 19 dalam rangka penjabaran Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu prinsip untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri.
MK sendiri menilai bahwa prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam cabang produksi migas mengandung pengertian bukan hanya harga murah maupun mutu yang baik, tetapi juga adanya jaminan ketersediaan BBM dan pasokan bagi seluruh lapisan masyarakat. Dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU Migas No. 22 Tahun 2001 yang mencantumkan kata-kata “paling banyak”, maka hanya ada pagu atas patokan persentase tertinggi tanpa memberikan batasan pagu terendah, hal ini dapat saja digunakan oleh pelaku usaha sebagai alasan yuridis untuk hanya menyerahkan bagiannya dengan persentase serendah-rendahnya.
Oleh karena itu, MK menganggap kata-kata “paling banyak” harus dihapuskan karena bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Selanjutnya, pengaturan mengenai pelaksanaan penyerahan 25% bagiannya yang dimaksud, dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 ayat (2) UU Migas. “Dengan demikian turunnya target lifting, nampaknya karena Pemerintah tidak sungguh-sungguh mengikuti putusan MK alias tidak bertanggungjawab”, kata Binsar Effendi tandas.
Dalam usia Sudirman Said menjabat Menteri ESDM belum seratus hari kinerjanya, tata kelola migas bukan semakin membaik malah memburuk. Sehingga untuk tidak berlarut-larut dan menjadi carut marut, menurut Binsar Effendi, eSPeKaPe menuntut Sudirman Said sebaiknya mundur. “eSPeKaPe dengan demikian akan menuntut mundur Sudirman Said dari jabatan Menteri ESDM karena selain mindsetnya cenderung neolib, juga tak mampu meningkatkan lifting minyak, termasuk menumpas mafia migas yang dikehendaki oleh rakyat”, pungkas Ketua Umum eSPeKaPe Binsar Effendi Hutabarat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H