Mohon tunggu...
Teddi
Teddi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Perjuangan di Tanah Perantauan Sebagai Anak Kos-kosan

15 Februari 2019   12:51 Diperbarui: 15 Februari 2019   13:21 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Setelah tamat SMA, tekat yang kuat untuk kuliah menghantarkanku pada kerasnya kehidupan ditanah perantauan. Saat itulah pertama kali aku jauh dari orang tua, tetapi apa daya, demi kehidupan yang lebih baik aku rele meninggalkan kampung halaman agar bisa membanggakan orang tua.

            Berubahlahlah status kependudukanku dari semula anak rumahan menjadi seorang anak kos-kosan. Disinilah aku belajar arti dari sebuah kemandirian, bertahan hidup diakhir bulan, bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, segenap pemikiran dikeluarkan bagaimana cara supaya bisa makan. Karena aku tak ingin menambah beban orang tua dengan selalu mengirimkan uang.

            Jauh dari orang tua bukanlah hal yang menyenangkan bagiku, aku harus bisa untuk disiplin agar hidupku lebih baik. Tetapi setiap perjuangan pasti memerlukan pengorbanan. Aku selalu membayangkan wajah orang tuaku. Ku terbayang bagimana kerja kerasnya agar bisa menyekolahkanku. Setiap hari bajunya basah oleh air keringat agar hidup anaknya tak sepertinya. Karna itulah aku selalu semangat, dan berjuang. Perjuanganku tak sebanding dengan perjuangan mereka, usahaku tak sebesar usaha mereka.

            Karena penghasilan orang tua yang pas-pasan menuntuku untuk hidup hemat ditanah perantauan. Makan apa adanya, yang penting perut tak bersuara. Pernah selama seminggu berturut-turut aku hanya makan kangkung yang kupetik dari saluran got. Memang agak jijik rasanya tapi dari pada perut ini dilanda bencana lapar, ya langsung aku makan. Banyak argumen yang berbicara bahwa anak kos-kosan identik dengan mi instan. Kebanyakan dari anak kos saat akhir bulan bertahan menggunakan mi instan, tapi tidak denganku. Menurutku banyak alternatif makanan yang lebih murah dari itu seperti telur misalnya. Tapi itu semua tergantung pada selera anak muda. Ingin makan mewah tapi murah ya mi instan.

            Sebagai anak kos hal yang paling aku sukai adalah makan gratisan, tidak hanya makan semua hal yang berbau gratisan aku idamkan, dengan ini aku bisa menekan pengeluaran bulanan, tanpa harus banyak pemikiran. Suka duka anak kosan telah aku rasakan selama beberapa bulan, ku anggap itu semua sebagai pengalaman untuk masa depan yang gemilang. Hari-hari sebagai anak kos-kosan masih sangat panjang untuk dirasakan. Aku tak tau kapan pensiun akan datang, tapi aku yakin suatu saat masa-masa ini akan aku rindukan. Terus berjuang sampai akhir bulan itulah motto hidupku sebagai anak kos-kosan. Masih banyak lagi pengalaman sebagai anak kos-kosan yang belum sempat aku tuliskan, berdoa sajalah agar hidup anak kos-kosan semakin sejahtera dan bahagia . keep strong anak kos-kosan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun