Indonesia negara yang menerapkan sistem demokrasi dalam pemilihan umum dan kebebasan berpendapat bagi rakyatnya. Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln menyatakan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Secara konstitusi Indonesia sebagai negara demokrasi tercantum dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar". Selain itu bukti konstitusi lainnya juga tercantum dalam pasal 28 UUD 1945Â yang berbunyi "Kemerdekaan berserikat, dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".
Namun apabila kita melihat realitas yang ada hari ini benarkan demokrasi kita untuk rakyat atau demokrasi hanya untuk pejabat dan para oligarki? Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan indeks penurunan kualitas demokrasi Indonesia yang mendapat skor 73,66 pada tahun 2020, angka ini mengalami penurunan 1,26 dari tahun 2019 dengan skor 74,92. Laporan lainnya dari Indeks Demokrasi Indonesia menunjukan penurunan kebebasan berpendapat yang semula 66,17 di tahun 2018 menjadi 64,29 pada tahun 2019. Selain itu, hasil publikasi Economist Intelligence Unit (EIU) pada tahun 2020 menunjukan laporan menurun nya kualitas demokrasi Indonesia, dimana Indonesia berada di peringkat 64 dari 167 negara.
Dari beberapa survei tersebut menunjukan meskipun Indonesia telah memiliki sistem pemilu yang bebas, adil, dan menghormati kebebasan sipil namun indikator ini belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Penurunan kualitas ini menunjukan  pergesaran pola demokrasi Indonesia, yang semula demokrasi elektoral menjadi demokrasi yang cacat (flowed democracy). Secara pemahaman esensial hal ini menunjukan bahwa pemilu tidaklah menjamin akan melahirkan para pemimpin yang mampu menyejaterahkan rakyat.
Indonesia belum mampu dikatakan mumpuni dalam urusan Good Governance. Hal ini dapat dilihat dari belum memenuhinya asas ideal demokrasi mengenai pembenahan konsep bernegara jika melihat dari peristiwa yang dihadapi saat ini. Penurunan kualitas demokrasi dalam beberapa tahun terakhir, maraknya kejadian kontroversial dan represivitas aparat keamanan yang berkaitan dengan kebebasan berkekspresi masyarakat di muka umum, degradasi moral karena masih adanya korupsi pada tubuh parpol dan juga pemerintahan, serta check and balances pada pemerintah yang semakin berkurang dengan kurangnya pihak oposisi dimana saat ini dalam pemerintahan hanya ada 2 opsisi yakni partai Demokrat dan PKS. Inilah semrawut hal yang mewarnai demokrasi Indonesia hari ini.
Salah satu hal krusial dari penurunan kualitas demokrasi Indonesia adalah korupsi. Dewasa ini korupsi masih menggeroti tubuh parpol, parlemen negara baik itu DPR maupun kementerian dan instansi pemerintah daerah. Diantara penyebab korupsi pada tubuh parpol tidak terlepas dari gurita oligarki yang menguatkan asumsi bahwa parpol gagal dalam melakukan fungsinya sebagai agregator demokrasi. Pada titik yang paling parah parpol menjadikan masyarakat sebagai konstituen yang dianggap sebagai obyek politik lima tahunan semata dengan mendekati rakyat ketika membutuhkan suara dalam pemilu. Setelah menang mereka lupa akan janji-janji kampanye yang pernah digaungkan.
Masif nya korupsi tentu akan menjadi penghambat kemajuan demokrasi di negeri ini. Hasil terbaru pada tahun 2022 yang dikeluarkan oleh Transparency International menunjukan Indeks Korupsi Indonesia mengalami penurunan 4 poin dari tahun 2021 menjadi 34 dan berada pada peringkat 110 dari 180 negara. Penurunan ini merupakan yang terburuk sepanjang era reformasi. Di Asean Indonesia berada di peringkat ke-7. Peringkat Indonesia ini jauh dibawah negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, bahkan Timur Leste. Sungguh ironis memang apabila kita melihat realita ini.
Korupsi juga sudah menggerogoti wakil rakyat negeri ini. DPR yang dipilih rakyat dari demokrasi malah menjadi salah satu lembaga paling korup di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei Global Corruption Barometer (GCB) tahun 2020 oleh Transparency International Indonesia (TII) yang menyatakan DPR adalah lembaga paling korup di Indonesia. Dimana ada 51% responden yang berpendapat demikian.
Dari survei-survei yang ada menunjukan bahwa masih bobroknya sistem demokrasi di Indonesia. Apalagi korupsi yang menjadi salah satu penyakit besar yang menggerogoti demokrasi. Demokrasi seolah hanya menjadi alat untuk mencapai kekuasaan dan kekayaan para pejabat dan oligarki. Mandat rakyat dalam menitipkan aspirasi nya kepada para wakil rakyat dan pejabat harus rela menerima realitas pahit dengan tingginya kasus korupsi. Korupsi yang tinggi tentu dapat menghambat pembangunan dan semakin mengurangi upaya menyejaterahkan rakyat yang hari ini masih banyak mengalami kesulitan ekonomi.
Kontestasi politik menghadirkan calon pemimpin yang membutukan suara rakyat dengan janji-janji yang diobral untuk mencapai kejayaan dalam arena perpolitikan. Setelah kontestasi politik selesai seringkali rakyat dilupakan dan para pemimpin bagai ditelan bumi dengan melupakan janji-janji manisnya. Demokrasi yang harusnya kembali untuk rakyat malah menjadi untuk pejabat dan oligarki. Padahal di pundak para pejabat harapan rakyat begitu besar agar pembangunan di negeri ini dapat berjalan maksimal, bisa membantu upaya memberantas kemiskinan dan meningkatkan kesehjateraan rakyat, serta terciptanya kemajuan kualitas demokrasi.
Namun harapan ini masih jauh dari yang diharapkan. Rendahnya integritas dan moral para pejabat menjadi salah satu faktor juga yang menghambat kemajuan demokrasi. Oleh karenanya demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat menjadi lebih tendensi kepada demokrasi untuk pejabat bukan rakyat itu sendiri. Tentu ini menjadi PR besar bagi pemerintah untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan kita sebagai rakyat harus lebih bijak lagi dalam memilih wakil rakyat ataupun pejabat yang diamanatkan untuk mengemban harapan berjuta manusia untuk kemajuan kualitas demokrasi di negeri ibu pertiwi.
REFERENSI